"KAMU! SALAH KAMU!
SEHARUSNYA, KAMU SAJA YANG MATI! DASAR ANAK SIALAN!" hardiknya dengan
mendorong tubuhku keras hingga sikuku membentur sudut meja
"Ashh.." erangku pelan
"PERGI KAMU!"
Aku segera berlari ke
kamarku yang berada di dekat pintu belakang dan menguncinya. Takut-takut
kalau ibu tak sengaja membukanya dan aku kembali menerima segala
perlakuannya.
Ya, ibu. Dia ibuku.
Wanita yang telah melahirkanku ke dunia fana ini hampir 16 tahun lalu.
Wanita yang selama 8 bulan mengandungku dan memberikan cintanya. Wanita
yang akan selalu kupuja dan kuhormati sepanjang umurku, sesuai ucapan
baginda Nabi. Wanita yang akan selalu kucari keridhaannya.
Kini, tak pernah lagi kurasakan belai kasihnya.
Selama 6 tahun ini, yang
selalu ia berikan padaku hanya ucapan-ucapan kasarnya dan perilaku
kejamnya. Setiap hari kulalui tanpa pernah lepas dari luka di tubuh dan
hatiku. Namun tak mengapa, asal aku tak berlaku kasar padanya. Aku
ikhlas jika dia berbuat kasar padaku, asal aku masih tetap
menghormatinya.
Perilakunya berubah
semenjak kematian adik semata wayangku, Ali. Ia meninggal dalam
kecelakaan yang terjadi di depan sekolah kami dulu.
Saat itu, kami hendak
pulang sekolah. Aku yang masih kelas 6 SD dan Ali yang masih kelas 3 SD.
Umur kami hanya terpaut 2 tahun dan kami sama-sama murid berprestasi
disekolah yang sering lompat kelas. Saat itu, aku dan Ali sedang
berjalan di sisi trotoar seperti biasa. Namun hari itu, Ali melihat
kerumunan temannya yang sedang sibuk bermain kelereng di pinggir jalan,
dekat sebuah lapangan dan meminta izinku untuk bermain sebentar. Tentu
aku mengizinkannya karena hari itu adalah hari Sabtu, hari terakhir kami
sekolah di minggu tersebut, yang tak ku tahu bahwa hari itu adalah hari
terakhir adikku tersayang.
Aku menunggunya bermain
sambil duduk dibawah pohon di pinggir lapangan sambil membaca buku
pengetahuan umum. Mungkin aku terlalu larut dalam bacaan hingga tak
waspada menjaga Ali. Aku tersadar saat ada suara teriakan yang sangat
aku kenal. Suara yang selalu memecahkan suasana rumah saat
berlari-larian di halaman rumah. Aku mendongak dan melihat tubuh Ali
yang dihantam sebuah mobil pick-up.
Dengan kecepatan
maksimal, aku berlari menghampiri tubuhnya yang berlimpah darah tepat
didepan mobil tersebut. Aku menepuk pipinya pelan dan terus memanggilnya
namun tak dijawabnya. Aku masih terlalu kaget untuk bereaksi lain
hingga kerumunan disekitarku meraih tubuh Ali dan membawanya ke dalam
mobil.
Ali meninggal ditempat. Dokter bilang, pembuluh darahnya pecah saat berbentur badan mobil.
Aku kehilangan adik laki-lakiku serta ibuku. Ali yang sudah pulang ke sisi-Nya, dan ibu yang tak lagi menganggapku.
Bagaimana pun, aku
hanyalah seorang anak perempuan berumur 10 tahun yang tak lebih kuat
dari mobil itu. Tapi kuterima segala tuduhan ibu yang mengatakan bahwa
aku yang menyebabkannya kehilangan sosok lucu Ali.
Aku menatap foto
keluarga kami yang tergantung di dinding kamar kecilku ini dan air
mataku menetes karena melihat sosok Ali. Air mata yang tak pernah
menetes dihadapan ibu saat ia berlaku kasar padaku ataupun saat
kepergian Ali.
Aku meringkuk di
belakang pintu, diatas lantai dingin ini sambil menangis dan mengabaikan
nyeri luka-lukaku. Luka tubuhku ini tak seberapa jika dibandingkan luka
hatiku yang selalu menangis.
Maafin kak Ai, Li.
***
No comments:
Post a Comment