Friday, April 1, 2016

Twist of Life

Part One

5 tahun lamanya, aku meninggalkan bunda sendiri disini untuk study di luar negeri. Setelah 5 tahun gak pernah pulang, kini aku takjub melihat keadaan rumah tempatku dibesarkan hingga berumur 15 tahun. Setelah turun dari taksi dan melirik rumah ini, aku bertanya pada supir taksi sekali lagi untuk meyakinkan diri ini rumahku, tapi sangat berbeda.
Rumah yang kini berdiri besar dan kokoh didepanku ini memiliki balkon dilantai 2 dan sebuah taman mini di sebelah halaman. Rumah ini terdiri dari 3 lantai, dilantai 3 aku tidak berfikir itu adalah sebuah ruangan, entah apa, aku penasaran. Aku menekan bel yang ada di pagar setelah menurunkan barang-barangku dari taksi dan taksi pergi. Kini, tempat ini menjadi perumahan yang damai.
Sebelum aku pergi study abroad, rumah ini hanyalah rumah biasa yang terdiri dari halaman, 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Hanya satu lantai. Aku hanya tinggal disini bersama ayah dan bundaku. Kami tidak memiliki pembantu karena keadaan keluargaku saat itu tidak tergolong orang kaya. Bunda adalah ibu rumah tangga yang selalu menyambut anak dan suaminya dengan pelukan hangat setiap hari. Ayah adalah seorang arsitek muda, dia juga bertugas dilapangan untuk mengarahkan para pekerja bangunan. Saat itu umurku 14 tahun. Malam sebelumnya, ayah tidur larut karena harus membuat design tambahan. Pagi itu, ayah tampak lusuh, terlihat lebih tua dari umurnya. Ayah berangkat pagi-pagi ke lapangan untuk mengejar target waktu pembangunan rumah yang sedang ayah tangani. Disekolah, perasaanku sangat tidak enak. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku tiba-tiba saja sangat ingin memeluk dan tidur sama ayah. Aku pulang. Ternyata bukan hanya aku, bunda juga sedang cemas. Bunda bilang padaku "Hari sudah sore tapi ayah belum menelfon ke rumah sekalipun. Bunda coba telfon ke HP ayah tapi gak aktif". Tiba waktu makan malam, aku dan bunda baru akan memulai makan malam tanpa ayah ketika pintu diketuk dengan tergesa. Aku dan bunda berlari ke pintu. Saat kami buka ternyata teman kerja kerja, air mukanya sangat berduka.
"Ada apa?" tanya bunda. Bunda menggenggam tanganku erat. Aku berdiri sambil menahan hebatnya degup jantungku
"Pak Guntoro... kecelakaan di lapangan" ujar orang tersebut
Bunda lemas dan langsung jatuh terduduk, "Dimana ayah?" tanyaku dengan suara bergetar
"Beliau sedang dalam perjalanan kesini..." orang itu menggantungkan kalimatnya. Aku sedikit lega tapi perasaan mencekam menghantuiku. "Kami akan mambantu ibu dan adik menyiapkan segala sesuatunya. Sekarang bisa ambil tempat tempat tidur kayu tanpa kasur?" tanya orang tersebut lirih. Ia permisi masuk ke dalam rumah dengan beberapa orang lainnya.
Sekitar 15 menit kemudian terdengar bunyi ambulans. Semua hal yang diperlukan sudah dipersiapkan oleh teman-teman ayah karena aku dan bunda masih shock. Bunda yang sedari tadi membeku, saat melihat jasad ayah dibawa keruang tamu langsung meledak tangis. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Ayah, yang sangat aku sayangi. Aku yang tersadar, aku belum mengetahui kronologi kecelakaan ayah.
Aku menghampiri teman ayah yang tadi memberitahukan keadaan pada kami, "Om... ayah kenapa bisa kecelakaan?" tanyaku disela isakan tangisku
Orang itu menatapku dengan mata sendu, "Ayahmu sedang mengarahkan kami-para pekerja-saat tiba-tiba ada batu yang jatuh menimpa kepalanya" ia berhenti dan menarik napas panjang. Aku berusaha menyimak dan mencerna cerita ini. "Kepala.. ayahmu.. bocor.. kami langsung.. membawanya ke rumah sakit.. tapi.. terlambat.. ayahmu sudah kehilangan banyak.. darah.. diperjalanan" jelasnya dengan tersendat-sendat
***
"Maaf, non teh siapa?" tanya seorang wanita tua dibalik pagar
Aku menoleh, "Ada ibu Tera?" tanyaku
"Ada, non, silahkan masuk" dibukanya pagar dan dibantunya aku membawa koper-koperku ke dalam. "Non mau minum apa? Saya panggilkan nyonya sebentar" tawarnya
"Kalau boleh air putih" pintaku lalu dia pergi
Aku mengamati sekeliling, rumah ini sangat besar. Ruang tamu ini menghadap ke ruang makan dan tangga. Saat aku sedang memperhatikan pajangan-pajangan yang ada di meja dan di lemari, aku merasa ada orang lain. Aku menoleh dan mendapati sosok bunda yang berdiri memandangiku dengan tangan bergetar dan mata ditumpuk oleh airmata yang siap tumpah ke pipinya. Aku tersenyum dan berdiri, tanpa aba-aba bunda langsung memelukku dan menumpahkan airmatanya di pundakku. Kami-ibu dan anak-hanya berpelukan tanpa suara. Wanita tua yang sepertinya pembantu rumah tangga kembali sambil memandang heran, aku hanya tersenyum padanya.
"5 tahun kamu tinggalin bunda tanpa kabar. Kemana kamu? Kamu gaktau bunda tuh stres, bunda kangen kamu, Dhe" omel bunda di sela-sela isak tangisnya.
"Aku ngejar tahun ajaran, bun. Aku berusaha cepet pulang untuk nemenin bunda. Disana aku mengambil akselerasi dan aku pulang dengan gelar S1 untuk bunda" jawabku. Bunda melepas pelukannya dan menciumi kedua pipiku. Aku tersadar, "Bunda naik pangkat ya? Hebat pasti jabatannya sekarang ya. Rumah kecil kita dulu bunda sulap jadi rumah sebesar ini" ujarku takjub
Bunda memandangku dengan rasa bersalah dan kikuk, "Maaf, Dhe, bunda mau bilang sama kamu, tapi kamu gak bisa dihubungi dan berita ini gak bisa lewat surat" ujar bunda lirih. Aku diam, menunggu. "Bunda... sudah... menikah lagi" lanjut bunda akhirnya. Aku membeku seketika. Berita ini seperti petir. "Rumah ini dia yang bedah karena saat ia ajak pindah, bunda menolak. Bunda tau kamu akan pulang. Bunda bertahan disini untuk kamu. Bunda sudah menyiapkan kamar untuk kamu. Ayo!"
Bunda membawaku ke lantai 2 sambil membawa barang-barangku. Bunda membuka sebuah pintu kamar yang bertuliskan nama "DHEA" aku sempat melihat pintu lain yang bertuliskan satu nama, "JORDAN". Who is he? Kamarku bernuansa peach. Mulai dari cat tembok, tirai, kasur, hingga pernak-pernik. Bunda meninggalkanku sendiri di kamar baruku agar aku beristirahat.
Ini terasa asing. Sangat asing, bahkan lebih asing dari saat aku pertama kalinya melihat apartmentku di Inggris. Tapi ini rumahku. Tanah peninggalan ayah, hanya saja dengan bangunan yang berbeda. Aku lebih menyukai design ayah. Design kamarku ini begitu buruk, mati. Aku harus mendekorasi ulang kamar dan pernak-perniknya. Targetku adalah melanjutkan S2 di Indonesia dan mencari pekerjaan yang bagus.
***
"Misi, non, dipanggil nyonya untuk makan malam" panggil mbok Ati-bunda bilang panggil dia seperti itu
Aku menatap kamarku, better setelah kupadukan dengan beberapa barang-barangku. Aku keluar dan tersenyum pada mbok Ati yang bengong dan turun ke bawah. Sampai malam ini aku belum tahu, ada apa di lantai 3. Saat aku memasuki ruang makan, semua mata menatapku bingung. Aku tersenyum dan duduk di sebelah bunda. Suami baru-ya menurutku masih baru-bunda duduk didepan, memimpin. Disampingnya ada bunda dan didepan bunda ada seorang cowok yang sepertinya lebih tua dariku.
Pria itu-ayah tiriku-berdeham, "Sebelum perkenalan, maaf sebelumnya, Dhea. Saya menetapkan peraturan dirumah ini. Dilarang mengenakan pakaian tidur saat makan malam ataupun dalam keadaan sangat berantakan, sepertimu sekarang"
Aku menatap penampilan yang lainnya lalu menunduk, "Maaf" kataku
"Baiklah. Ini yang terakhir. Perkenalkan, saya adalah Joshua. Kamu bisa panggil saya, papa. Ini Jordan, anak saya. Kamu bisa memanggilnya abang" jelas om Joshua, ups, papa
Kami memulai makan malam. Pada awalnya aku hanya memandangi hidangan dimeja. Di Inggris jarang ada nasi walau sesekali aku pasti makan nasi. Tapi selama ini aku hanya makan salad untuk makan malam. Aku merasakan pandangan yang lain, tapi aku acuhkan. Tidak ada salad tapi aku menemukan sejenisnya, capcay. ***
Selesai makan malam ternyata kami berkumpul di ruang keluarga. Peraturan. Awalnya mereka membicarakan pembahasan ringan lalu beralih padaku. Aku sedari tadi hanya diam karena aku tidak mengerti apa yang mereka bahas.
"Dhea, kamu sudah memiliki rencana di Jakarta?" tanya papa. Pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan oleh teman-temanku sebelum aku kembali ke Jakarta
"Aku berencana melanjutkan S2 disini dan mencari pekerjaan" jawabku santun
Sepertinya papa tipikal orang yang tegas namun lembut, "Kuliah disini baru akan dimulai di bulan September yang artinya masih 4 bulan lagi. Pekerjaan seperti apa yang kamu cari? Dalam bidang design atau administrasi atau sastra?" tanya papa lagi
Aku mengedikkan bahu, "Entahlah. Apa saja pekerjaan baik disini aku terima selama aku mampu"
Papa tersenyum, "Kamu bisa bekerja di perusahaan papa. Perusahaan milik papa berbidang arsitektur dan design. Besok Jordan gakada acara, dia akan mengantar kamu keliling Jakarta, kemanapun kamu mau seharian" papa meilirik Jordan yang memasang senyum terpakasa. "Jordan dua tahun lebih tua dari kamu. Dia juga sudah selesai kuliah dan baru wisuda minggu depan. Dia lulusan arsitektur juga" jelas papa
Acara "talk show" malam selesai. Aku kembali ke kamar. Kembali pada pekerjaanku untuk mendekorasi ulang kamarku. Kamarku terlihat sangat berantakan. Aku melihat buku tabunganku. Lebih dari cukup untuk mendekorasi ulang kamarku ini. Uang ditabungan ini kudapatkan dari hasil kerja part time dan praktek lapanganku selama di Inggris. Yang membuatku heran adalah mengapa bunda mendekorasi kamarku dengan warna seterang matahari? Bunda tahu, sejak kecil aku menyukai warna redup yang menenangkan, tapi lihat kamarku bagaikan disorot matahari langsung. I hate it!

***

Please kindly open https://www.wattpad.com/65085397-twist-of-life-satu to read the complete story

No comments:

Post a Comment