Kesibukan kantor
terlihat jelas di jam-jam setelah makan siang seperti saat ini. Orang
hilir mudik di pintu masuk kantor dan sibuk dengan kesibukannya
masing-masing. Di lobby kantor itu, penuh manusia dengan beraneka ragam
bentuk pikiran.
Seorang perempuan muda
duduk dibalik meja dengan mata terfokus penuh pada layar komputernya,
juga kening berkerut. Kesibukan disekitarnya tidak ia acuhkan. Sesekali
tangannya memainkan keyboard, selain mouse.
Ponselnya yang berada
disebelah mousenya bergetar. Ia tidak acuhkan dulu beberapa saat getar
ponselnya dan tetap fokus pada pekerjaannya, ia berniat untuk
menghubungi kembali sang penelpon nanti. Namun sang penelpon enggan
memutuskan sambungan telpon sebelum diangkat. Geram pekerjaannya
terganggu karena getaran ponselnya, ia pun meraih ponselnya dan melihat
sang penelpon. Kelvin. Muncul sebuah gambar di layar kaca yang
menampakkan sosok wajah tampan seorang lelaki dan seorang anak kecil.
"Halo" sapanya
"Kamu sedang sibuk?" tanya suara disana langsung
Perempuan itu melirik komputernya, "Sedikit. Ada apa?"
"Aku harus mengurus
pekerjaan di Bandung sore ini dan aku gak mungkin membawa Damon
bersamaku karena kemungkinan besar aku gak pulang malam ini"
Helaan napas pelan terdengar dari mulut perempuan itu, "Baiklah. Antar dia kesini"
"Aku sudah di café bawah. Turunlah"
"Tunggu aku sebentar"
Telpon diputus dan perempuan itu menghela napas letih. Ia pun segera merubah mode komputernya menjadi stand-by
agar ia masih bisa menyelesaikan pekerjaannya lagi nanti. Ia berdiri
dan beranjak menuju sebuah pintu dan mengetuknya dua kali. Pintu ruangan
bosnya.
"Masuk" jawab suara didalam
Perempuan itu mendorong
pintu kaca yang berat tersebut dan masuk melewatinya. Ia melangkah
mendekati meja bosnya yang terlihat sedang sibuk mempelajari isi
kertas-kertas dari map yang ada didepannya.
"Permisi, pak Gibran"
Bosnya pun mendongak, "Ya, ada apa, Zara?" tanyanya sambil bersandar dikursinya
"Saya ingin izin sebentar. Saya ingin menjemput anak saya dibawah"
Alis Gibran naik keduanya, "Anakmu main ya. Apa suamimu sedang sibuk?"
Zara mengangguk, "Beliau ada pekerjaan diluar kota, pak"
Gibran mengangguk paham, "Baiklah. Bawa dia kemari"
"Saya permisi, pak" Zara mengangguk sambil tersenyum dan berlalu
Gibran mengamati
sekertarisnya sampai ia keluar. Gibran tersenyum melihat penampilan
sekertarisnya itu. Semakin hari semakin modis. Sudah sangat berbeda
dengan penampilannya setahun yang lalu, saat ia baru mulai bekerja.
Dulu, ia sering sekali memakai celana bahan atau jeans yang dipadu dengan kemeja atau kaus dan blazer. Rambutnya hanya akan diikat seperti ekor kuda tanpa pulasan make-up selain bedak dan lipgloss serta eyeliner. Ia pun suka memakai flatshoes.
Namun penampilannya belakangan ini berbeda, seperti hari ini. Ia mengenakan kemeja chiffon putih berkerah tanpa kancing dan rok span hitam selutut dengan wedges rendah. Wajahnya dipulas make-up tipis yang menegaskan wajah manisnya yang tidak pernah membuat bosan.
***
Di café kantor
yang berada dilantai dasar, Kelvin sedang sibuk dengan ponselnya sambil
melirik putranya yang sedang duduk disebelahnya, meminum susunya dengan
semangat. Ia sedang menunggu istrinya yang akan menjemput putra tampan
mereka.
Kurang dari waktu
seperempat jam, istrinya muncul dari balik pintu. Matanya tampak
mencari. Kelvin mengangkat tangannya untuk memberi tanda keberadaannya
dan sang istri kemudian melangkah ke arah mereka lalu segera menggendong
putra kecil mereka.
"Halo, Damon" sapanya sambil mengecup pipi putranya yang tembam
"Maaf aku harus menyusahkanmu. Aku harus ke Bandung dan baru akan kembali besok"
Zara tersenyum, "Gapapa. Jangan lupa makan, Kel"
Kelvin mengangguk dan
mencium kedua pipi putranya dan pipi istrinya serta keningnya.
Setelahnya, ia segera pergi untuk mengemban tugasnya. Dan ketika ia
teringat sesuatu, ia kembali menghampiri istrinya yang masih berdiri
ditempat.
"Ada apalagi?" tanya Zara bingung
"Aku lupa bilang. Aku pergi dengan mobil jadi maaf karena kamu harus pulang sendiri" ujarnya dengan tangan dibahu istrinya
Zara mengangguk, "Baiklah. Gapapa kok"
Kelvin menatap istrinya, "Taksi, oke?"
Zara tertawa pelan, "Iyalah. Aku kan bawa Damon. Mana aku tega bawa dia naik kendaraan umum seperti bus dan mikrolet"
Kelvin kembali mengecup
keningnya dan tersenyum lalu melangkah pergi. Zara mengamatinya lalu
menghela napas pendek dan membawa putra kecilnya ke tempatnya bekerja
dengan beragam pikiran akan suasana disana nanti.
***
Zara keluar dari lift
dengan menggendong Damon yang telah habis meminum susunya dan bertemu
dengan teman kerjanya yang usianya tidak berbeda jauh dengannya. Ia
tersenyum dan mulai melangkah. Temannya mengikuti dan mencubit pipi
anaknya.
"Hai, Damon. Udah lama nih gak main kesini"
"Selesaikan dulu pekerjaanmu, Lu. Aku juga sedang sibuk"
Lulu menepuk tangannya
sekali dan seperti mendapatkan ide, "Nahh... kamu bisa selesaikan dulu
pekerjaanmu, ibu sekertaris, sementara Damon akan aku ajak bermain"
"Tidak usah repot-repot"
"Enggak kok. Sini Damon sama tante. Kita main ya"
Lulu mengambil alih
menggendong Damon yang sudah menyambutnya dengan uluran tangan dan tawa
renyah lalu membawanya pergi ke ruangannya yang masih bisa diawasi dari
meja Zara. Ia menggeleng dan akhirnya kembali pada sisa pekerjaannya
sambil sesekali melirik putranya.
Suara-suara heboh mulai
terdengar beberapa waktu kemudian. Hal itu selalu terjadi ketika putra
tampannya ikut bersamanya. Rekan-rekan kerjanya senang karena kedatangan
hiburan akibat terlalu keras bekerja. Dan Damon adalah anak yang mudah
bergaul, ia pun mensyukurinya.
Beberapa waktu
berikutnya berlalu dan akhirnya, pekerjaannya selesai. Ia menyandarkan
tubuhnya di kursi karena merasa pegal dan menyimpan file
tersebut. Ia menoleh pada kerumunan yang tadi mengelilingi anaknya
dengan heboh, kini diam terpaku ditempat mereka berdiri masing-masing.
Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Damon?, batinnya.
Ia segera berdiri dan
melangkah mendekati kerumunan dengan langkah lebar. Ia sangat khawatir.
Dipinggir kerumunan, ia malah ikut tertegun dengan pemandangan yang
dilihatnya. Bosnya sedang menggendong anaknya sambil tersenyum dan
tertawa. Ia terpaku saat dilihatnya kerumunan membelah karena sang bos
akan lewat, ia tersadar dan ikut menyingkir.
"Oh, Zara! Anakmu boleh bermain dengan saya?"
Zara hanya mengangguk
dan tertegun melihat bosnya membawa anaknya ke ruangannya. Setelah pintu
tertutup, barulah yang lain mulai kasak-kusuk. Zara sendiri malah
kembali ke mejanya dan merebahkan kepalanya di meja. Lulu
menghampirinya.
"Zara, betapa
beruntungnya dirimu. Kamu seorang sekertaris muda yang berprestasi dan
ibu serta istri dari dua lelaki tampan di hidupmu. Kamu membuat kami
semua-terutama aku-sangat iri padamu"
Zara mengangkat kepalanya, "Aku sangat tidak enak pada pak Gibran"
Lulu tertawa kecil, "Sepertinya dia menyukai anakmu. Lagipula pak Gibran sudah pantas kok umurnya untuk menikah"
"Kau tidak bersiap? Sebentar lagi jam pulang kantor"
"Oh astaga, kamu benar! Bye, ibu muda. See ya tomorrow!" serunya dan pergi
Zara menghela napas dan
membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Mejanya tampak berantakan dan
ia menatanya terlebih dulu kemudian pergi ke toilet untuk merapikan
penampilannya dan absen pulang.
Setelahnya, ia mengambil
tasnya dan berjalan ke ruangan bosnya lalu mengetuknya dua kali-seperti
biasa, ciri khasnya-dan mendengar sahutan dari dalam yang
mengizinkannya masuk. Ia melihat bosnya yang sedang sibuk dengan
komputernya dan ia melihat sosok putranya yang tertidur pulas di sofa
dengan berselimutkan jas sang bos yang ternyata kini hanya memakai
kemeja biru.
"Sepertinya dia lelah dan mengantuk"
Zara tersenyum dan
menarik jas bosnya yang menyelimuti tubuh anaknya untuk diganti dengan
jaket milik anaknya sendiri yang ia bawa. Dengan pelan, ia pakaikan
jaket anaknya agar tidak membangunkan putra tercintanya. Gibran yang
dari mejanya melirik semua itu tertegun. Kemudian Zara menggendong
putranya dan berdiri.
"Terima kasih, pak. Maaf merepotkan. Saya permisi. Sebaiknya bapak juga segera pulang"
"Terima kasih kembali. Hati-hati, Za"
Zara tersenyum dan
melangkah keluar dari ruangan sang bos. Gibran menatap punggung
sekertarisnya yang menghilang dibalik pintu lalu mengusap wajahnya.
Beragam pikiran berkecamuk di kepalanya. Ia menggeleng dan bersiap untuk
pulang.
***
Zara berdiri di trotoar
didepan kantornya, menunggu taksi. Damon berada di pelukannya, sedang
tertidur pulas. Taksi yang lewat selalu berisi penumpang. Begitu pula
kendaraan umum lainnya yang padat penumpang dan sesak. Ia tidak tega
membuat anaknya terbangun karena ketidaknyamanan keadaan.
Setengah jam sudah ia
berdiri disana hingga hari telah gelap. Sangat tidak nyaman dengan rok
pendek ketat berdiri seperti ini. Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah
berhenti tepat didepannya yang membuat langkahnya mundur tanpa sadar.
Kaca mobil turun dan menampakkan wajah bosnya.
"Kamu sedang apa disini?" tanya Gibran dari dalam mobil
"Saya sedang menunggu taksi"
Gibran membuka pintu mobilnya, "Masuklah. Biar saya antar"
Zara menggeleng, "Tidak usah, pak"
"Sudahlah, cepat masuk. Jalanan macet dan kasihan Damon tertidur dengan menghirup debu polusi begitu"
Dengan ragu akhirnya
Zara masuk ke dalam mobil. Gibran pun segera melajukan mobilnya di
kepadatan kota di senja hari. Perjalanan sunyi tanpa obrolan karena rasa
sungkan yang dirasakan Zara.
"Ohya, rumahmu dimana?" tanya Gibran membuka suara ketika mereka berada di persimpangan jalan
"Eh... hm saya tinggal di apartment di kawasan Jakarta Selatan"
Wajah Gibran tampak terkejut, "Kamu tinggal di apartment?"
Zara mengangguk. "Kenapa tidak dirumah? Suamimu orang berada, bukan?
Yang saya tahu, suamimu adalah direktur di salah satu perusahaan
kontraktor, benar?"
Zara kembali mengangguk, "Kami lebih nyaman tinggal di apartment karena kami juga sangat jarang berada dirumah, karena kesibukan kerja"
"Weekend?"
"Kami biasa berkunjung ke rumah ayah saya di Bogor"
Gibran mengangguk paham, "Dan kenapa kalian tidak menyewa jasa pengasuh anak?"
Zara menggeleng, "Hm... suami saya memiliki trauma dengan pengasuh anak, pak"
Gibran berdecak, "Dan bukankah biasanya kebanyakan perempuan dilarang untuk bekerja oleh suami?"
Zara tersenyum, "Syukurnya suami saya memberikan keputusan pada saya. Apakah bapak salah satu diantaranya?"
Gibran mengedikkan
bahunya, "Entahlah. Saya sempat berpikiran seperti itu, namun melihatmu,
saya kembali berpikir. Kamu masih bisa membagi waktumu untuk anak.
Bukankah kebanyakan wanita karier hanya menyempatkan sedikit waktu
mereka atau bahkan tidak sama sekali untuk keluarga?"
"Tidak semua seperti itu"
"Itulah yang baru saya ketahui. Dan kamu ibu muda yang hebat"
Zara menoleh pada bosnya, "Apa bapak tidak berpikiran, maaf, untuk menikah muda?"
"Ya, tentu saja. Bahkan saya kira saya sudah tidak muda lagi"
Zara tertawa, "25 masih usia muda yang cukup matang, pak"
"Sedikit tua, kalau begitu" jawab Gibran tak acuh
"Memang tipikal perempuan yang bapak pilih seperti apa? Jika mungkin saya bisa membantu-"
Ucapan Zara terputus
oleh tawa Gibran yang terbahak-bahak hingga air mata keluar dari
matanya. Belum pernah Zara melihat bosnya tertawa selepas ini. Ia
menatap bosnya bingung.
"Saya seperti ikut ajang
perjodohan" Zara hanya tersenyum. "Saya kagum dengan kamu. Sepertinya
saya akan mencari sosok wanita sepertimu"
"Eh..."
"Yang bisa mengimbangi karier, anak, suami dan kehidupan"
"Tidak ada wanita yang sama dan sempurna. Saya hanya berharap bapak bisa menemukan yang terbaik secepatnya"
Tak terasa perjalanan panjang menjadi singkat atas perbincangan mereka. Mobil Gibran tiba didepan lobby sebuah apartment mewah yang ternama. Gibran mengamati gedung pencakar langit disampingnya dan kemudian menoleh pada perempuan disebelahnya.
"Baiklah. Homey?"
Zara tersenyum, "Terima kasih, pak Gibran. Hati-hati dijalan. Maaf kami merepotkan"
Zara pun keluar dari
mobil Gibran dengan menggendong putra tunggalnya yang masih tertidur
pulas dipundaknya dengan wajah bagai malaikat. Gibran menatap kepergian
sekertarisnya yang menghilang dibalik pintu lobby. Gibran tersenyum dan kembali melajukan mobilnya menuju rumah.
Zara membaringkan
putranya diatas tempat tidurnya dengan nyaman dan menyelimutinya. Ia
membelai wajah putra tampannya dengan sayang dan beranjak ke kamar mandi
untuk membersihkan diri dari kepenatan.
Usai mandi, ia melakukan
rutinitasnya sebagai seorang istri; membersihkan rumah, mencuci pakaian
dan menyetrika pakaian. Setelahnya ia merebahkan dirinya di sofa
diruang keluarga dengan televisi menyala menemaninya. Sejenak otot
tubuhnya meregang dan bunyi telpon menyentakkannya.
***
No comments:
Post a Comment