Friday, April 1, 2016

Should Be Him

Part One

Kesibukan kantor terlihat jelas di jam-jam setelah makan siang seperti saat ini. Orang hilir mudik di pintu masuk kantor dan sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Di lobby kantor itu, penuh manusia dengan beraneka ragam bentuk pikiran.
Seorang perempuan muda duduk dibalik meja dengan mata terfokus penuh pada layar komputernya, juga kening berkerut. Kesibukan disekitarnya tidak ia acuhkan. Sesekali tangannya memainkan keyboard, selain mouse.
Ponselnya yang berada disebelah mousenya bergetar. Ia tidak acuhkan dulu beberapa saat getar ponselnya dan tetap fokus pada pekerjaannya, ia berniat untuk menghubungi kembali sang penelpon nanti. Namun sang penelpon enggan memutuskan sambungan telpon sebelum diangkat. Geram pekerjaannya terganggu karena getaran ponselnya, ia pun meraih ponselnya dan melihat sang penelpon. Kelvin. Muncul sebuah gambar di layar kaca yang menampakkan sosok wajah tampan seorang lelaki dan seorang anak kecil.
"Halo" sapanya
"Kamu sedang sibuk?" tanya suara disana langsung
Perempuan itu melirik komputernya, "Sedikit. Ada apa?"
"Aku harus mengurus pekerjaan di Bandung sore ini dan aku gak mungkin membawa Damon bersamaku karena kemungkinan besar aku gak pulang malam ini"
Helaan napas pelan terdengar dari mulut perempuan itu, "Baiklah. Antar dia kesini"
"Aku sudah di café bawah. Turunlah"
"Tunggu aku sebentar"
Telpon diputus dan perempuan itu menghela napas letih. Ia pun segera merubah mode komputernya menjadi stand-by agar ia masih bisa menyelesaikan pekerjaannya lagi nanti. Ia berdiri dan beranjak menuju sebuah pintu dan mengetuknya dua kali. Pintu ruangan bosnya.
"Masuk" jawab suara didalam
Perempuan itu mendorong pintu kaca yang berat tersebut dan masuk melewatinya. Ia melangkah mendekati meja bosnya yang terlihat sedang sibuk mempelajari isi kertas-kertas dari map yang ada didepannya.
"Permisi, pak Gibran"
Bosnya pun mendongak, "Ya, ada apa, Zara?" tanyanya sambil bersandar dikursinya
"Saya ingin izin sebentar. Saya ingin menjemput anak saya dibawah"
Alis Gibran naik keduanya, "Anakmu main ya. Apa suamimu sedang sibuk?"
Zara mengangguk, "Beliau ada pekerjaan diluar kota, pak"
Gibran mengangguk paham, "Baiklah. Bawa dia kemari"
"Saya permisi, pak" Zara mengangguk sambil tersenyum dan berlalu
Gibran mengamati sekertarisnya sampai ia keluar. Gibran tersenyum melihat penampilan sekertarisnya itu. Semakin hari semakin modis. Sudah sangat berbeda dengan penampilannya setahun yang lalu, saat ia baru mulai bekerja.
Dulu, ia sering sekali memakai celana bahan atau jeans yang dipadu dengan kemeja atau kaus dan blazer. Rambutnya hanya akan diikat seperti ekor kuda tanpa pulasan make-up selain bedak dan lipgloss serta eyeliner. Ia pun suka memakai flatshoes.
Namun penampilannya belakangan ini berbeda, seperti hari ini. Ia mengenakan kemeja chiffon putih berkerah tanpa kancing dan rok span hitam selutut dengan wedges rendah. Wajahnya dipulas make-up tipis yang menegaskan wajah manisnya yang tidak pernah membuat bosan.
***
Di café kantor yang berada dilantai dasar, Kelvin sedang sibuk dengan ponselnya sambil melirik putranya yang sedang duduk disebelahnya, meminum susunya dengan semangat. Ia sedang menunggu istrinya yang akan menjemput putra tampan mereka.
Kurang dari waktu seperempat jam, istrinya muncul dari balik pintu. Matanya tampak mencari. Kelvin mengangkat tangannya untuk memberi tanda keberadaannya dan sang istri kemudian melangkah ke arah mereka lalu segera menggendong putra kecil mereka.
"Halo, Damon" sapanya sambil mengecup pipi putranya yang tembam
"Maaf aku harus menyusahkanmu. Aku harus ke Bandung dan baru akan kembali besok"
Zara tersenyum, "Gapapa. Jangan lupa makan, Kel"
Kelvin mengangguk dan mencium kedua pipi putranya dan pipi istrinya serta keningnya. Setelahnya, ia segera pergi untuk mengemban tugasnya. Dan ketika ia teringat sesuatu, ia kembali menghampiri istrinya yang masih berdiri ditempat.
"Ada apalagi?" tanya Zara bingung
"Aku lupa bilang. Aku pergi dengan mobil jadi maaf karena kamu harus pulang sendiri" ujarnya dengan tangan dibahu istrinya
Zara mengangguk, "Baiklah. Gapapa kok"
Kelvin menatap istrinya, "Taksi, oke?"
Zara tertawa pelan, "Iyalah. Aku kan bawa Damon. Mana aku tega bawa dia naik kendaraan umum seperti bus dan mikrolet"
Kelvin kembali mengecup keningnya dan tersenyum lalu melangkah pergi. Zara mengamatinya lalu menghela napas pendek dan membawa putra kecilnya ke tempatnya bekerja dengan beragam pikiran akan suasana disana nanti.
***
Zara keluar dari lift dengan menggendong Damon yang telah habis meminum susunya dan bertemu dengan teman kerjanya yang usianya tidak berbeda jauh dengannya. Ia tersenyum dan mulai melangkah. Temannya mengikuti dan mencubit pipi anaknya.
"Hai, Damon. Udah lama nih gak main kesini"
"Selesaikan dulu pekerjaanmu, Lu. Aku juga sedang sibuk"
Lulu menepuk tangannya sekali dan seperti mendapatkan ide, "Nahh... kamu bisa selesaikan dulu pekerjaanmu, ibu sekertaris, sementara Damon akan aku ajak bermain"
"Tidak usah repot-repot"
"Enggak kok. Sini Damon sama tante. Kita main ya"
Lulu mengambil alih menggendong Damon yang sudah menyambutnya dengan uluran tangan dan tawa renyah lalu membawanya pergi ke ruangannya yang masih bisa diawasi dari meja Zara. Ia menggeleng dan akhirnya kembali pada sisa pekerjaannya sambil sesekali melirik putranya.
Suara-suara heboh mulai terdengar beberapa waktu kemudian. Hal itu selalu terjadi ketika putra tampannya ikut bersamanya. Rekan-rekan kerjanya senang karena kedatangan hiburan akibat terlalu keras bekerja. Dan Damon adalah anak yang mudah bergaul, ia pun mensyukurinya.
Beberapa waktu berikutnya berlalu dan akhirnya, pekerjaannya selesai. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi karena merasa pegal dan menyimpan file tersebut. Ia menoleh pada kerumunan yang tadi mengelilingi anaknya dengan heboh, kini diam terpaku ditempat mereka berdiri masing-masing.
Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Damon?, batinnya.
Ia segera berdiri dan melangkah mendekati kerumunan dengan langkah lebar. Ia sangat khawatir. Dipinggir kerumunan, ia malah ikut tertegun dengan pemandangan yang dilihatnya. Bosnya sedang menggendong anaknya sambil tersenyum dan tertawa. Ia terpaku saat dilihatnya kerumunan membelah karena sang bos akan lewat, ia tersadar dan ikut menyingkir.
"Oh, Zara! Anakmu boleh bermain dengan saya?"
Zara hanya mengangguk dan tertegun melihat bosnya membawa anaknya ke ruangannya. Setelah pintu tertutup, barulah yang lain mulai kasak-kusuk. Zara sendiri malah kembali ke mejanya dan merebahkan kepalanya di meja. Lulu menghampirinya.
"Zara, betapa beruntungnya dirimu. Kamu seorang sekertaris muda yang berprestasi dan ibu serta istri dari dua lelaki tampan di hidupmu. Kamu membuat kami semua-terutama aku-sangat iri padamu"
Zara mengangkat kepalanya, "Aku sangat tidak enak pada pak Gibran"
Lulu tertawa kecil, "Sepertinya dia menyukai anakmu. Lagipula pak Gibran sudah pantas kok umurnya untuk menikah"
"Kau tidak bersiap? Sebentar lagi jam pulang kantor"
"Oh astaga, kamu benar! Bye, ibu muda. See ya tomorrow!" serunya dan pergi
Zara menghela napas dan membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Mejanya tampak berantakan dan ia menatanya terlebih dulu kemudian pergi ke toilet untuk merapikan penampilannya dan absen pulang.
Setelahnya, ia mengambil tasnya dan berjalan ke ruangan bosnya lalu mengetuknya dua kali-seperti biasa, ciri khasnya-dan mendengar sahutan dari dalam yang mengizinkannya masuk. Ia melihat bosnya yang sedang sibuk dengan komputernya dan ia melihat sosok putranya yang tertidur pulas di sofa dengan berselimutkan jas sang bos yang ternyata kini hanya memakai kemeja biru.
"Sepertinya dia lelah dan mengantuk"
Zara tersenyum dan menarik jas bosnya yang menyelimuti tubuh anaknya untuk diganti dengan jaket milik anaknya sendiri yang ia bawa. Dengan pelan, ia pakaikan jaket anaknya agar tidak membangunkan putra tercintanya. Gibran yang dari mejanya melirik semua itu tertegun. Kemudian Zara menggendong putranya dan berdiri.
"Terima kasih, pak. Maaf merepotkan. Saya permisi. Sebaiknya bapak juga segera pulang"
"Terima kasih kembali. Hati-hati, Za"
Zara tersenyum dan melangkah keluar dari ruangan sang bos. Gibran menatap punggung sekertarisnya yang menghilang dibalik pintu lalu mengusap wajahnya. Beragam pikiran berkecamuk di kepalanya. Ia menggeleng dan bersiap untuk pulang.
***
Zara berdiri di trotoar didepan kantornya, menunggu taksi. Damon berada di pelukannya, sedang tertidur pulas. Taksi yang lewat selalu berisi penumpang. Begitu pula kendaraan umum lainnya yang padat penumpang dan sesak. Ia tidak tega membuat anaknya terbangun karena ketidaknyamanan keadaan.
Setengah jam sudah ia berdiri disana hingga hari telah gelap. Sangat tidak nyaman dengan rok pendek ketat berdiri seperti ini. Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat didepannya yang membuat langkahnya mundur tanpa sadar. Kaca mobil turun dan menampakkan wajah bosnya.
"Kamu sedang apa disini?" tanya Gibran dari dalam mobil
"Saya sedang menunggu taksi"
Gibran membuka pintu mobilnya, "Masuklah. Biar saya antar"
Zara menggeleng, "Tidak usah, pak"
"Sudahlah, cepat masuk. Jalanan macet dan kasihan Damon tertidur dengan menghirup debu polusi begitu"
Dengan ragu akhirnya Zara masuk ke dalam mobil. Gibran pun segera melajukan mobilnya di kepadatan kota di senja hari. Perjalanan sunyi tanpa obrolan karena rasa sungkan yang dirasakan Zara.
"Ohya, rumahmu dimana?" tanya Gibran membuka suara ketika mereka berada di persimpangan jalan
"Eh... hm saya tinggal di apartment di kawasan Jakarta Selatan"
Wajah Gibran tampak terkejut, "Kamu tinggal di apartment?" Zara mengangguk. "Kenapa tidak dirumah? Suamimu orang berada, bukan? Yang saya tahu, suamimu adalah direktur di salah satu perusahaan kontraktor, benar?"
Zara kembali mengangguk, "Kami lebih nyaman tinggal di apartment karena kami juga sangat jarang berada dirumah, karena kesibukan kerja"
"Weekend?"
"Kami biasa berkunjung ke rumah ayah saya di Bogor"
Gibran mengangguk paham, "Dan kenapa kalian tidak menyewa jasa pengasuh anak?"
Zara menggeleng, "Hm... suami saya memiliki trauma dengan pengasuh anak, pak"
Gibran berdecak, "Dan bukankah biasanya kebanyakan perempuan dilarang untuk bekerja oleh suami?"
Zara tersenyum, "Syukurnya suami saya memberikan keputusan pada saya. Apakah bapak salah satu diantaranya?"
Gibran mengedikkan bahunya, "Entahlah. Saya sempat berpikiran seperti itu, namun melihatmu, saya kembali berpikir. Kamu masih bisa membagi waktumu untuk anak. Bukankah kebanyakan wanita karier hanya menyempatkan sedikit waktu mereka atau bahkan tidak sama sekali untuk keluarga?"
"Tidak semua seperti itu"
"Itulah yang baru saya ketahui. Dan kamu ibu muda yang hebat"
Zara menoleh pada bosnya, "Apa bapak tidak berpikiran, maaf, untuk menikah muda?"
"Ya, tentu saja. Bahkan saya kira saya sudah tidak muda lagi"
Zara tertawa, "25 masih usia muda yang cukup matang, pak"
"Sedikit tua, kalau begitu" jawab Gibran tak acuh
"Memang tipikal perempuan yang bapak pilih seperti apa? Jika mungkin saya bisa membantu-"
Ucapan Zara terputus oleh tawa Gibran yang terbahak-bahak hingga air mata keluar dari matanya. Belum pernah Zara melihat bosnya tertawa selepas ini. Ia menatap bosnya bingung.
"Saya seperti ikut ajang perjodohan" Zara hanya tersenyum. "Saya kagum dengan kamu. Sepertinya saya akan mencari sosok wanita sepertimu"
"Eh..."
"Yang bisa mengimbangi karier, anak, suami dan kehidupan"
"Tidak ada wanita yang sama dan sempurna. Saya hanya berharap bapak bisa menemukan yang terbaik secepatnya"
Tak terasa perjalanan panjang menjadi singkat atas perbincangan mereka. Mobil Gibran tiba didepan lobby sebuah apartment mewah yang ternama. Gibran mengamati gedung pencakar langit disampingnya dan kemudian menoleh pada perempuan disebelahnya.
"Baiklah. Homey?"
Zara tersenyum, "Terima kasih, pak Gibran. Hati-hati dijalan. Maaf kami merepotkan"
Zara pun keluar dari mobil Gibran dengan menggendong putra tunggalnya yang masih tertidur pulas dipundaknya dengan wajah bagai malaikat. Gibran menatap kepergian sekertarisnya yang menghilang dibalik pintu lobby. Gibran tersenyum dan kembali melajukan mobilnya menuju rumah.
Zara membaringkan putranya diatas tempat tidurnya dengan nyaman dan menyelimutinya. Ia membelai wajah putra tampannya dengan sayang dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari kepenatan.
Usai mandi, ia melakukan rutinitasnya sebagai seorang istri; membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menyetrika pakaian. Setelahnya ia merebahkan dirinya di sofa diruang keluarga dengan televisi menyala menemaninya. Sejenak otot tubuhnya meregang dan bunyi telpon menyentakkannya.
***

Please kindly open https://www.wattpad.com/37773317-should-be-him-satu to read the whole story

No comments:

Post a Comment