Saturday, August 15, 2015

I Call Him Dad

Give him an honour as your father. Make him proud of you although he'll always proud to have you as his child.

It was my father who taught me to value myself. He told me that I was uncommonly beautiful and that I was the most precious thing in his life.
-Dawn French

***
The most important influence in my childhood was my father.
-DeForest Kelley
Halo, let me introduce myself. Namaku Arinda, panggil saja Arin. Disini, aku ingin sedikit berbagi cerita tentang sedikit bagian dari hidupku.
Aku adalah anak sulung dan memiliki adik lebih dari satu. Aku anak broken home sejak usiaku menginjak hampir tiga belas tahun. Cukup belia memang, namun begitulah keputusan mereka—tepatnya keputusan ibuku. Sayangnya, usiaku sudah cukup besar saat itu dibandingkan adikku yang masih berumur 10 tahun. Bagiku sangat berat ketika mendadak harus tinggal berpisah dengan salah satu dari kedua orangtuaku, namun aku tahu bahwa adikku merasakan hal tersebut lebih berat mengingat di umurnya yang masih kecil, mereka sangat membutuhkan kasih sayang penuh.
Aku terpukul atas kejadian yang terjadi begitu cepat begitu. Rasanya, mereka mengambil paksa kesempatanku untuk bermanja ria dalam pelukan ayah.
Aku sangat menyayangi ayahku melebihi diriku sendiri, namun aku juga menyayangi ibuku. Hanya saja, levelnya berbeda. Ayah selalu menempati posisi pertama dalam hidupku sekalipun ia suka membuatku kesal atau sebaliknya. Ayahku adalah prioritas hidupku.
Walaupun begitu, aku hanyalah anak remaja biasa yang masih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman dan lupa mengabari ayahku yang memang sangat paranoid, because he cares.
Hal yang sangat ku sesali adalah kenapa jarak umurku dengan orangtuaku sangat jauh hingga kini aku masih duduk di bangku kuliah sedangkan ayahku sudah tua dan sulit mencari pekerjaan di usianya kini. Seharusnya, aku yang sudah bisa membiayai hidupnya.
Kini ia tinggal sendiri, sedangkan aku dan adik-adik tinggal bersama ibuku. Ini adalah keputusannya dulu, mengingat saat itu usia kami masih dibawah umur dan lebih memerlukan kasih sayang ibu. Itu jugalah keputusan pengadilan yang kini di sesalinya karena hidup sendiri itu tidaklah mudah.
Satu hal yang tak pernah ku sesali dalam hidup ini, diantara segala penyesalan yang ada, yaitu aku bangga memiliki dia sebagai ayahku.
I call him, dad.
***
Kata mereka diriku selalu di manja
Kata mereka diriku selalu di timang.

Penggalan lagu bunda tersebut lebih cocok untuk kutujukan pada ayahku. Dialah yang selalu menimangku dan mengantarkanku menuju pulau kapuk—istilahnya untuk tempat tidur.
Dulu, setiap pulang kerja ia selalu menggendongku dan menidurkanku di kursi penumpang mobil lalu membuka jendela dan membawaku keliling komplek hanya agar aku tertidur.
Dulu, ia berani memberikanku bumbu sate ketika usiaku masih satu tahun padahal ibu memarahinya karena aku masih kecil dan belum bisa memakan kacang. Dengan senyuman penuh kebahagiaan ia menjawab, “Gapapa, biar dia merasakan aneka rasa sedari dini”
Dulu, ia selalu memanjakanku di saat aku memiliki adik yang usianya hanya terpaut satu tahun denganku. Ia tak mau aku merasa tersaingi oleh adikku sendiri hingga aku membencinya.
Dia selalu ada untukku, di saat aku butuh atau tidak, he's there.
Saat aku masuk SD, ia tak pernah meninggalkanku sekalipun aku melarangnya pulang karena aku takut dengan orang baru.
Ia mengajarkanku bahwa aku harus berani dan menjadi anak pintar. I did it to make him proud of me.
Ketika masuk SMP, aku tak tahu bagaimana pergi sendiri ke sekolah. There he is, menemaniku ke sekolah setiap pagi di awal sekolahku dengan naik bis agar aku terbiasa, dan memastikan bahwa aku selamat sampai tujuan.
How can I resist him? Everything he do is for his children.

A father is always making his baby into a little woman. And when she is a woman he turns her back again.
-Enid Bagnold

Bukankah kini tiba giliranku untuk membahagiakannya? Merawatnya dan memberikan segala yang terbaik untuknya? Sayangnya, aku belum bisa memberikan apa pun yang berarti untuknya. Aku hanya bisa memberikan sedikit yang kupunya dan menghabiskan sedikit waktu kami bersama dalam jarak waktu yang panjang.
Bagaimana perasaan seorang anak yang sangat menyayangi ayahnya namun hanya dapat bertemu paling sering satu bulan sekali? Tersiksa, sungguh. Ia adalah tempatku berbagi. Kini, aku hanya bisa memendam segala ceritaku karena berbagi cerita melalui telfon tidaklah bebas dan lega. Begitu pun dirinya.
Tuhan, tolong jaga dia selalu. Jagalah kesehatannya. Berikan ia umur yang panjang. Bahagiakanlah ia selalu. Jauhkanlah dirinya dari segala marabahaya. Keluarkan ia dari segala masalah dengan jalan terbaik. Jangan biarkan air mata menetes di pipinya, menggantikan senyumannya. Jangan biarkan orang lain menzaliminya. Murahkanlah rezekinya. Kabulkan doa-doanya dan wujudkanlah segala mimpi serta harapannya. Berikanlah kami jalan untuk kembali hidup bersama di dalam satu atap. Lengkapilah kebahagiaan kami.
Tuhan, Engkau Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jagalah ia untukku karena ia adalah prioritas dalam hidupku. Tukarkanlah segala kesedihannya dengan kebahagiaanku.
Amin
***
A father carries pictures where his money used to be.
-Unknown

One father is more than a hundred Schoolemasters.
-George Herbert, Outlandish Proverbs, 1640

I love my father as the stars — he’s a bright shining example and a happy twinkling in my heart.
-Terri Guillemets



Sunday, January 18, 2015

The Matchmaking part8

Beberapa hari ini, gue pergi ke kantor menemani Atha bekerja diruangannya. Jabatan? Atha adalah direktur muda diperusahaan ayahnya, menggantikan posisi ayahnya yang terkadang tak enak badan dan harus sering menjaga kesehatannya. Posisi gue? Kalau kata Atha, gue ini gak bisa jadi sekertarisnya karena jabatan itu sudah ada yang memiliki. Jadilah gue sebagai asisten pribadinya yang bertugas membantunya secara pribadi. Ehem..
Semalam, kami pergi mencari kado untuk mama yang kebetulan sekali berulang tahun tepat dua hari setelah gue.
Kehidupan gue berjalan lancar dengan Atha yang selalu mendukung gue, dia yang selalu ada disamping gue. Dia adalah salah satu faktor penyemangat hidup gue. Bisa dibilang, faktor utama dan penerang hidup gue. Semalam kami tidur lebih cepat dari biasanya. Kami ini mampu menjadi makhluk nocturnal demi mengerjakan tugas kantor atau hal lainnya, tapi semalam kami tidur jam 10, entah karena capek atau tak enak badan.
"Koc.. bangun"
Ada yang berbisik ditelinga gue, membuat gue bangun. Gue menggeliat sebentar sebelum membuka mata. Kamar tampak gelap, tapi ada sebuah cahaya yang berjalan dari pintu. Semakin lama semakin mendekat. Gue hendak beranjak mundur--takut--tapi tangan gue ditahan.
"HAPPY BIRTHDAY TO YOU! HAPPY BIRTHDAY TO YOU! HAPPY BIRTHDAY.. HAPPY BIRTHDAY.. HAPPY BIRTHDAY KOCI!!"
Serentak mereka bernyanyi untuk gue. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun untuk gue. Baru gue sadari bahwa cahaya tersebut adalah lilin diatas sebuah kue. Lampu masih mati jadi gue belum mengetahui sosok siapa saja yang ada diruangan ini.
"Happy birthday, Koc" bisik seseorang disamping gue diiringi lampu yang menyala
Gue menoleh ke samping, kepada orang yang memegang tangan gue dan berbisik tadi adalah Atha. Melihat senyum Atha yang lebar, gue kembali menoleh dan mendapati banyak orang berada di kamar ini. Kedua mertua gue, mbok Sum, mang Jaja dan.. Rachel! Awalnya, gue mengerutnya kening bingung lalu tersenyum senang.
"Tiup lilinnya, sayang" ujar mama yang membawa kue
Gue berdiri dan meniup dua lilin yang berdiri tegak diatas kue dengan angka 17. Umur gue telah 17 tahun. Penjajakan menuju kedewasaan dimulai, bertambah dewasa namun tanpa orangtua yang membimbing. Setetes airmata jatuh dan langsung gue hapus.
"Makasih semua" ujar gue parau
Mama memeluk gue, "Selamat ulang tahun sayang"
Gue membalas memeluknya erat. Entah kemana kue yang tadi dibawanya. "Makasih banyak, ma. Makasih"
"Selamat ulang tahun, non" dan si mbok memeluk gue. "Semoga semakin cantik dan pintar" gue tersenyum. Doa si mbok selalu sama setiap tahunnya
Mang Jaja gantian memeluk gue, "Selamat ulang tahun, non. Semoga semakin dewasa dan sholehah" mang Jaja pun doanya selalu sama setiap tahunnya
Kini Rachel yang memeluk. "Koci!!" pekiknya. "Happy birthday, sis! Semoga semua yang lo pinta dalam setiap doa, diijabah sama Tuhan"
"Aamiin. Makasih banyak, Rachel. Makasih banyak semuanya"
"Tunggu kado dari gue ya!" gue menaikkan alis tak paham. "On the party!"
"Party?" tanya gue bingung
Mama langsung tertawa dan mengecup dahi gue. "Time to sleep. Go back sleep, dear. Rachel, say bye"
Rachel melangkah keluar dengan girang. "Bye Koci, bye kak Agatha! Sleepwell!!"
Pintu tertutup dan meninggalkan gue bersama Atha, berdua. Dengan bingung, banyak pertanyaan dalam otak gue. Pertama, kenapa ada Rachel disini? Kedua, apa Rachel tahu perihal status gue dan Atha? Ketiga, siapa yang mengundangnya? Keempat, pesta apa yang dimaksud Rachel tadi? Kelima, pulang dengan siapa dia tengah malam gini?!
"Tidur, Koc. Atau mau nyicip kuenya dulu?"
Gue menoleh dan mengernyit. "Hm.. makasih, Tha. Semua.. really surspised me! But I have so many question--"
"I'll answer tomorrow. Now, sleep!"
Gue tersenyum dan memeluknya. "I'd like to sleep, but keep your words! A lot of thanks for you"
"And I have a gift" ia membuka tangannya dan terlihatlah sebuah kalung emas putih dengan bandul huruf 'AK'. "Gua pakein?"
Speechless.. kalungnya luar biasa indah dan.. ini romantis, kan? Gue berbalik dan membiarkan dia menyingkirkan rambut dari leher gue lalu memakaikan kalung tersebut. Kalung tersebut terasa dingin di leher gue--dingin yang menyejukkan. Hampir saja gue menangis karena hadiah ini.
"Thanks, Tha" ucap gue tulus
Dia tersenyum dan mengecup dahi gue lembut. "My pleasure. Sleep tight, Koc"
Ia beranjak mematikan lampu dan memastikan pintu terkunci lalu ia bergabung dengan gue untuk tidur.
God, I'm officially seventeen years old today. Thanks for all your graces. Although I'm not through my special day with my beloved parents, you give me the special person. I know, you put me in the best way.
***
Koci duduk gelisah di meja rias di kamar mama mertuanya. Kurang sopan memang, tapi kamar Atha tak memiliki meja rias untuk dipakai merias Koci. Koci tak lagi menatap bayangan dirinya dicermin, ia sudah cukup terpesona dengan hasil make-over yang dilakukan oleh penata rias sang mama padanya. Dan ia akan segera pingsan jika lebih lama lagi menatap wajahnya.
Pintu terbuka dan muncul Atha deng senyum lebar melihat sosok sang istri. Koci tampak cantik dengan gaunnya yang simple. Atha sendiri mengenakan kemeja polos dengan lengan yang ditarik hingga siku. Ia mengulurkan tangan yang diterima Koci segera.
"Tangan lo dingin banget" ledek Atha
Koci enggan menjawab, ia terlalu gugup. Ini memang bukan pesta ulang tahun pertamanya, tapi tidak didatangi oleh banyak wanita sosilita, kolega-kolega bisnis papanya, keluarga besarnya dan keluarga besar Atha. Tapi ada suatu hal yang tidak diketahui Koci.
Lantunan lagu ulang tahun terdengar beserta munculnya kue besar yang terlihat lezat dengan lapisan coklat. Lilin-lilin kecil berdiri diatasnya dengan susunan melingkar dan berdiri sang mama dihadapan kue tersebut. Koci dan Atha menghampiri mereka dan berdiri menetap disamping orangtuanya, dihadapan banyak orang. Tampak sosok Mika, Mike, Rachel, mbok Sum, dan mang Jaja berdiri di line terdepan.
Saat sang mama mengangguk, mereka meniup lilin bersama. Pasangan ibu mertua dan menantu. Riuh tepuk tangan menyambut mereka.
"Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh tamu undangan, atas kesediannya hadir di acara ini. Kehadiran kalian sangat berarti bagi kami. Selain acara perayaan ulang tahun, saya juga ingin mengumumkan suatu hal penting" suasana hening, semua orang menunggu kelanjutan kata-katanya. "Perayaan ini bukan hanya ulang tahun saya, melainkan juga ulang tahun Kosyara atau biasa dipanggil Koci yang ke-17 tahun. Dia adalah anak perempuan saya" perlahan, mulai terdengar kasak-kusuk di sana-sini. "Dia adalah anak perempuan tersayang kami. Menantu kami" ketiga orang didepannya tampak kaget dan shock. "Pernikahan mereka akan dilaksanakan setelah Koci lulus--2 tahun lagi. Terima kasih atas perhatiannya, enjoy the party!"
Koci membeku ditempatnya berdiri begitu mendengar pengumuman yang dikatakan sang mama di depan seluruh tamu undangannya. Badannya terasa begitu dingin seketika saja. Ia kaget atas kejujutan sang mama didepan publik malam ini. Beliau memang tidak mengatakan secara langsung, tapi hal itu sudah membuat jantungnya hampir keluar dari tempatnya.
Sebuah tangan menggenggam tangannya dan menariknya masuk ke dalam rumah, menjauhi kerumunan. Ia hanya pasrah.
"Koc?"
Koci menatap nanar sosok dihadapannya, "Semua orang udah tahu"
"Gak semua. Look.." Atha memegang dagu istrinya agar menatapnya. "Mama melakukan ini karena dia sayang sama lo. So do I"
"Tapi kalau seluruh sekolah tahu--"
"No one would know, dear" mamanya datang dan duduk di sisinya bersama beberapa orang yang dikenalnya. "Everything will be alright. Mama yang akan mengurusnya"
Koci lupa kalau mamanya adalah pemilik yayasan sekolahnya kini. Ya, semua pasti bisa diaturnya, tapi..
"What is going on?! Kenapa Koci kesannya parno banget? Kalian baru akan nikah 2 tahun lagi, kan? Ini hanya pengumuman ikatan pertunangan kalian saja, kan? Tapi kalian sepupu, how could you marry her?" pekik Mike
Semua menoleh kearahnya dan Atha menatapnya lurus. "The truth is I'm married"
Mika menatapnya dengan tatapan sedih dan terluka. "With her? Dia yang dijodohin sama lo, Ga?"
Atha mengangguk tegas. "Wait. I don't understand! You're married, kak Agatha?"
Mamanya maju selangkah dan tersenyum. "Biar tante yang menjelaskan"
***
Setengah tahun berlalu dengan begitu cepat. Tak terasa waktu berjalan memburu mereka. Atha sudah menyelesaikan masa studi SMA-nya dan sibuk di kantor membantu sang papa. Sedang Koci baru mendapatkan jatah libur kenaikan kelasnya. Mereka sudah terbang ke Amerika untuk mengurus studi yang akan Atha lanjutkan disana beserta tempat tinggal dan embel-embel lainnya.
Rachel memeluk Koci erat dan terisak. Pelukan yang akan sangat dirindukan oleh keduanya. Setelah memakan waktu yang cukup lama, pelukan mereka diurai. Atha pun sedang berada dalam pelukan dua sahabatnya. Mika menghapus jejak air mata diwajahnya dan masih setia memeluk Atha, enggan melepas.
"Gue bakal kangen sama lo, Ga"
Atha tersenyum, "Gua juga"
"Gak usah pergi, Ga" bujuk Mika
"Do you wanna break my dream, Mik?"
Mike terkekeh, "Koci saja yang statusnya istri gak ada ngelarang. Lo siapa ngelarang-ngelarang?"
"Gue kan sahabat Aga yang paling disayang"
"Udah siap, Koc?" tanya Atha
Koci melihat Mika yang masih memeluk Atha posesif dengan wajah sembab. Masalah rahasia memang sudah selesai. Para sahabat mereka sudah mengetahui perihal status mereka dan memaklumi. Tapi Koci tahu, faktanya Mika masih menyukai Atha.
"Kalian baliknya kapan?" tanya Rachel
"Setelah Koci lulus kuliah"
"Lama banget, Ga!" protes Mika
Atha mencubit hidung mancung Mika. "Lo bawel banget sih, Mik! Nyusul makanya!"
Itu sebuah undangan, kan?, tanya Koci dalam hati
Sebuah suara dari pengeras suara terdengar memberi informasi bahwa pesawat keberangkatan mereka sudah siap menuju New York. Panggilan tersebut adalah peringatan sekaligus perpisahan bagi mereka.
"We gotta go"
Koci dan Atha memeluk satu persatu dan mendorong trolley koper mereka ke dalam. Mereka harus segera ke pesawat. Mereka melambaikan tangan dengan tersenyum pada sahabat-sahabat yang akan sangat dirindukan sebelum menghilang dibalik pintu masuk.
Keluarga tak ikut karena sudah melakukan acara perpisahan dirumah.
"Is it the end?" tanya Koci
Atha menggeleng, "This is the beginning"
***
Cinta memiliki tolak ukur. Suatu waktu mungkin menurun dan lain waktu mungkin meningkat. Cinta datang tiba-tiba, tanpa permisi, peringatan, atau aba-aba. Cinta tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bersama. Cinta tumbuh dari segala hal. It might be comfortable.
***
THE END

Please kindly check www.wattpad.com/tengkuwidya to read the extra parts and its sequel

The Matchmaking part7

Gue bangun dan menyadari hari sudah siang, diluar sangat terang. Gue mengedarkan pandangan ke penjuru kamar dan mengernyit. Gue tak menemukan sosok Atha. Kemana dia? Gue pun turun dari kasur dan membersihkan diri di kamar mandi sebelum beranjak keluar kamar.

Gue melihat sosok perempuan yang sedang menata bunga di meja. Kayaknya kenal. "Mama?"

Perempuan itu berbalik dan tersenyum. "Koci sayang! Kamu sudah baikan?" Gue tersenyum melihatnya. "Jangan sedih lagi ya, sayang. Semua orang juga merasa sedih. Mama gak mau kamu sakit, sayang"

Gue merasa tubuh gue dipeluk erat, "Makasih, ma. Mama kok ada disini?"

"Kata Atha, kamu sudah mau makan. Jadi mama kesini untuk masakin kamu. Kamu mau makan apa, sayang?"

"Nanti saja, mah. Atha kemana ya, mah?"

"Atha.. dia lagi pergi. Kamu jangan marah ya, sayang" Gue menatap ibu mertua gue dengan penasaran. "Dia lagi nemenin Mika. Mika lagi sakit"

Gue mengerjap sekali sebelum menjawab, "Kak Mika sakit apa?"

Mama tersenyum. "Hanya flu biasa. Tapi Mika memang manja sama Atha kalau sedang sakit. Ada Mike juga, kok" Gue hanya bisa tersenyum tipis. "Mama sudah bilang Atha kok agar membuat Mika mengerti jarak antara mereka. Sekarang kan Atha punya kamu sebagai tanggung jawabnya"

"Tapi mereka gak tahu status kami sebenarnya, mah. Dan kak Mika juga berharap perjodohan Atha batal"

Mama membelai pipi gue lembut, "That's her problem, dear. Never mind"

Gue mengangguk. "Koci mau mandi dulu ya, ma. Koci mau pergi"

"Kamu mau kemana,sayang?"

Gue tersenyum sendu. "Ke makam"

"Mau mama temani?"

Gue menggeleng, "Biar si mbok temenin, non" ujar mbok Sum yang muncul disamping mama

Gue kembali menggeleng, "Gak perlu. Makasih mah, mbok. Kalau boleh, Koci mau minta tolong anter sama mang Jaja. Mang?"

Mang Jaja muncul dari balik pintu dan menyahuti panggilan gue. "Iya, non"

"Mamang mau temenin Koci ke makam, gak?" tanya gue pelan

Mang Jaja menatap gue dengan tatapan ragu, "Non percaya kalau mamang yang bawa mobilnya?"

Gue tersenyum tulus. "Gimana, mamang mau?" mang Jaja segera mengangguk. "Yaudah, Koci siap-siap dulu, ya"

Gue kembali ke kamar dan segera mandi. Gue memilih untuk mengenakan baju dan celana panjang berwarna hitan serta pasmina sewarna. Setelah siap, gue melangkah keluar kamar dan melihat ruang santai dimana berjejer foto-foto kami sekeluarga. Gue tersenyum sedih melihat foto keluarga yang diambil beberapa hari lalu, sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa mama dan papa. Gue merasa batu rindu menyiksa hati, gue rindu mama dan papa.

Gue kembali dan berpamitan dengan mama dan mbok Sum. Mang Jaja sudah duduk rapi dibalik kemudi mobil di halaman rumah. Gue langung duduk dikursi belakang, tepat dibelakang mang Jaja.

Sepanjang perjalanan, mang Jaja tampaknya khawatir dan cemas, terlihat dari gerakannya yang selalu mengintip ke kursi belakang lewat spion. Gue hanya duduk dalam diam, pandangan lurus pada jalanan yang tak benar-benar gue perhatikan. Pikiran gue berkelana jauh. Tatapan gue mungkin terlihat sendu.

Sesungguhnya gue tahu bahwa mang Jaja masih sedih dan merasa sangat bersalah atas kejadian lalu namun gue berusaha berbesar hati untuk memaafkannya. Gue tahu ini takdir, seperti yang pernah papa katakan. Ini bukan salahnya. Ia hanyalah perantara garisan Tuhan. Gue sudah mengenalnya sejak kecil, kehilangan kedua orangtua sudah sangat menyakitkan, gue gak ingin kehilangan orang lain lagi. Tidak dengan mang Jaja yang mengundurkan diri.

Tiba di pemakaman, gue turun dari mobil, di ikuti mang Jaja.

"Mamang tunggu disini saja, ya. Kalau boleh, Koci butuh waktu sendiri"

"Tapi non--"

"Koci baik-baik saja, kok" potong gue cepat

Mang Jaja akhirnya mengangguk dan membiarkan gue berjalan sendiri ke makam mama dan papa yang masih basah. Sedangkan mang Jaja hanya berdiri disisi mobil, mengamati gue dari jauh.

Gue melangkahkan kaki perlahan diantara banyak gundukan tanah menuju dua gundukan tanah yang masih basah. Tiba ditujuan, gue duduk diantara dua gundukan tanah dimana dua orang yang sangat gue sayang berbaring dalam ketenangan bersama kesepian. Gue menatap dua papan nisan dihadapan gue dan menitikkan air mata. Segera gue hapus air mata yang baru menetes dan menaburi bunga diatas dua makam mereka lalu mendoakan mereka, mama papa yang sangat gue sayangi yang sudah tak lagi mampu menemani gue didunia.

"Assalamualaikum, pah, mah. Maaf Koci baru kesini lagi. Koci hanya masih belum siap melanjutkan hidup tanpa kalian. Tapi Koci sadar, masih banyak orang yang sayang dan support Koci untuk tetap bangkit. Koci juga berterima kasih karena papa dan mama telah mempertemukan Koci dengan Atha yang bisa menjaga Koci. Tapi.. Koci masih butuh kalian"

Gue menangis dengan kepala tertunduk diantara makam papa dan mama. Gue menangis tersedu-sedu, terlalu merasa kehilangan. Gue masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Gue masih butuh limpahan kasih sayang mereka. Gue terlalu menyayangi mereka hingga rasanya hampa hidup tanpa sosok mereka disisi gue. Gue merasa tak sanggup. Gue menangis terus dan terus tanpa kenal waktu.

***

Mang Jaja gelisah saat menyadari majikannya tak kunjung kembali dalam waktu yang cukup lama. Ia takut terjadi sesuatu pada sang majikan. Akhirnya ia menyusul sang majikan ke makam dan kaget ketika menemukan sang majikan telah tersungkur ditanah dalam keadaan pingsan. Ia segera membopong tubuh majikannya ke mobil dan membawanya pulang.

Tiba didepan rumah, mobilnya berpapasan dengan mobil Atha. Tanpa permisi, ia menyerobot masuk ke halaman. Atha memarkirkan mobilnya dibelakang mobil yang dibawa mang Jaja dan bingung melihat mang Jaja yang terlihat terburu-buru turun lalu membuka pintu belakang.

Mata Atha melotot dan segenap perasaan cemas menggerogotinya saat melihat tubuh lunglai istrinya dalam gendongan mang Jaja.

"Koci!" pekiknya. "Koci kenapa, mang?"

Ia segera mengambil alih Koci dalam gendongannya. "Non Koci tadi pingsan di makam, den"

Atha tampak kaget namun segera sadar, berjalan cepat ia membawa istrinya masuk ke dalam rumah.

Atha segera membaringkan tubuh Koci diatas tempat tidur, tak menggubris kecemasan mamanya dan mbok Sum. Segera ia dekatkan minyak angin ke hidung istrinya agar sadar.

"Koci kenapa, Tha?"

Atha menggeleng, "Kata mang Jaja, Koci pingsan di makam"

"Astagfirullah.. pasti Koci masih terlalu sedih"

Atha menatap mamanya dengan menahan emosi. "Kenapa mama gak temenin dia?" tanyanya setengah frustasi

"Dia gak mau, Tha"

Atha menjambak rambutnya, kesal pada diri sendiri. "Kenapa gak hubungi Atha?"

Mamanya membelai punggungnya. "Dia mau sendirian, Tha. Mungkin dia juga lemas karena belum makan"

Atha memandang wajah istrinya yang tampak pucat dan lemah. Ia merasa bahwa Koci terlihat lebih kurus dalam beberapa hari ini. Pasti ia menahan beban batinnya sendiri. Atha menarik nafas perlahan dan menatap mamanya, seolah mengatakan 'apa yang harus ia lakukan?'

TOK.. TOK.. TOK..

Atha dan sang mama menoleh ke pintu. "Masuk" jawab sang mama

Masuk mang Jaja dan mbok Sum yang membawa tiga gelas teh hangat di nampan.

"Kami bawakan teh hangat, den, nyonya"

Mama Atha tersenyum, "Makasih, mbok, mang"

"Non Koci pasti masih sedih, den. Non Koci soalnya ndak pernah sakit begini" ujar mbok Sum

"Non Koci sebenarnya adalah gadis kuat dan ceria" tambah mang Jaja. "Namun ini pasti pukulan yang sangat berat untuknya. Ini semua salah saya"

"Koci bilang ini bukan salah mang Jaja, kan? Kalau gitu mang Jaja jangan menyalahkan diri sendiri lagi" ujar Atha pelan

"Mungkin ini Takdir tuhan" tambah mamanya

"Pukulan terberat juga bagi non Koci, mengingat orangtuanya gak akan menjadi saksinya beranjak dewasa. Terutama saat ia menginjak usianya yang ke-17 besok"

Atha dan mamanya tersentak dan sontak menoleh pada mbok Sum. "Kapan Koci ulang tahun?" tanya Atha cepat

"Hari Rabu. Tepat tanggal 9"

Atha berdecak kesal, "Ulang tahun istri sendiri saja Atha gak tahu. Suami macam apa Atha ini, mah" pekiknya kesal

"Itu dua hari sebelum mama ulang tahun kan, Tha?" Atha mengangguk. "Gimana kalau dirayain bareng mama saja. Hari Sabtu malam dirumah mama?"

Ketiga orang lainnya pun mengangguk setuju dan mempersiapkan diri untuk acara tersebut.

***

Gue terbangun dengan perasaan hampa dan bingung. Mata gue menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Perlahan gue mengenali ruangan tempat gue berada adalah kamar gue yang berada dirumah orangtua gue. Gue menarik nafas pelan dan duduk dengan kepala agak pusing. Ruangan terasa sunyi. Hanya terdengar satu suara, yaitu suara ketikan keyboard komputer. Gue menoleh ke kanan dan melihat sosok Atha yang sedang duduk di sofa dengan memangku laptop dan pandangannya fokus ke arah layar. Apa yang sedang Atha lakukan?

Gue perlahan turun dan menghampiri Atha yang duduk dengan kaki bersila dan kening berkerut. Tangannya menari dengan indah diatas keyboard. Ia mengenakan kaos biru dan jeans selutut, terlihat santai dan maskulin. Gue mengambil duduk disebelah Atha, membuatnya menoleh.

"Koci?" panggilnya dengan mata melebar

Koci tersenyum padanya, "Lagi ngapain, Tha?"

Atha memijat pelipisnya dan memeriksa keadaan gue. "Kerjaan kantor. Lo gapapa? Pusing? Mau makan? Atau minum?"

Gue terkekeh, "Pertanyaan lo banyak banget. Gue bingung" Gue melirik laptopnya. "Lo balik kerja lagi?"

Atha mengangguk. "Well, bokap gak 100% aktif dikantor. Jadi sebisa mungkin gue gantiin tugas dia. Ohya, lo makan ya. Belum makan dari pagi, kan"

Gue tersenyum dan mengangguk. Kami turun untuk makan malam bersama dengan yang lain. Mama belum pulang, bahkan kini ada papa Atha yang ikut bergabung. Gue merasa rumah terasa ramai lagi, senang rasanya melihat semua berkumpul, walau tanpa mama dan papa.

Kami menghabiskan waktu makan malam sambil berbincang ringan seputar kegiatan kami esok hari. Kami juga menceritakan perihal yang kami lalui hari ini. Atha tak banyak membicarakan perihal Mika, kecuali ditanya oleh mama.

"Tidur, Koc"

Atha menutup pintu kamar dan mematikan lampu. Kami bergiliran ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur. Setelah selesai, Atha kembali duduk disofa dan berkutat dengan laptopnya. Gue mengernyit menatapnya.

"Gak tidur, Tha?"

Atha mendongak dan menatap gue. "Nanti. Duluan saja"

"Kenapa lagi? Lanjutin besok saja"

"Lo tidur duluan saja, Koc. Gua selesein ini dulu buat meeting besok siang, jadi gak bisa ditunda"

Gue turun dari tempat tidur dan menghampirinya--duduk disebelahnya. Atha terlihar gusar melihat keberadaan gue.

"Gue bantu?"

Atha menaikkan sebelah alisnya, "Emang bisa?"

"Dicoba. Tapi tidur dulu, besok pagi-pagi gue bantuin"

Atha menatap gue dengan sorot tak tega. Please deh, Tha! Gue cuma cemas saja kalau dia harus begadang demi tugas kantornya dan jadi kurang sehat nantinya. Wajar kan gue khawatir sebagai istri? Ya, karena gue sayang dan peduli padanya. Atha menyerah. Dimatikannya laptop dan ia membimbing gue kembali ke kasur untuk tidur. Well, sleep tight, dear.

***

The Matchmaking part6

Gue sudah siap mendorong koper gue menuju taksi yang sudah menunggu didepan. Hari ini gue akan pergi vacation bersama Rachel dan sesuai janji, gue harus menemuinya langsung di bandara. Atha masih belum pulang dari vacationnya bersama para sahabatnya, jadi gue harus berangkat sendiri ke bandara hari ini. Lagipula mang Jaja sedang libur hari ini dan papa sedang sibuk bekerja. No driver.

Saat berpamitan dengan mama, ada suatu emosi aneh diwajahnya yang membuat gue resah meninggalkannya. Ada apa? Dengan membaca doa, gue tetap berangkat.

None know how's the destiny, what will happen.

Lampu lalu lintas berubah hijau, taksi gue yang berada di line terdepan segera maju dengan kecepatan sedang namun dari sisi kanan ada mobil yang melaju kencang, mengabaikan lampu lalu lintas dijalannya yang sudah berubah merah. Gue sedang memegang telfon yang tersambung dengan Atha saat mobil tersebut menghantam taksi ini dan terlempar hingga taksi terbalik. Bagian kanan mobil hancur. Gue yang duduk di sisi kiri mobil mendapati kepala membentur kaca yang pecah dan terhimpit, juga tangan dan kaki. Gue lihat sang supir sudah tidak bergerak. Mata gue perlahan tertutup sambil meringis menahan rasa sakit saat orang-orang mulai berkerumun.

Seminggu sudah berlalu sejak hari dimana gue kecelakaan lalu lintas. Gue sudah diperbolehkan pulang. Hanya memar-memar yang masih tersisa di tubuh gue. Saat malam hari gue terbangun di rumah sakit, gue melihat Atha selalu tidur di sofa, menemani gue. Kadang kala bersama mama. Atha sempat marah atas kejadian ini. Ia berubah menjadi sangat protektif sekarang. Saat kejadian, Atha langsung terbang pulang, demi gue.

"Tidur, Koc"

"I'm feeling better, Tha"

"Tapi lo masih harus istirahat"

Gue menatapnya sebal, "Gue bosen, Tha, tiduran terus. Gue gak lumpuh!"

Dia menatap gue gusar, "Gua hampir mati membayangkan hal-hal sangat buruk saat itu, Koc! Enough!" jeritnya sambil menjambak rambut, frustasi.

Gue terdiam. Mungkin Atha memang sangat khawatir.

"Koci, mama bawain makanan nih"

Gue menoleh dan melihat mama di pintu. Entah apa, ada yang berbeda dari mama. Gue jadi merasa khawatir padanya. Gue bangkit dan berlari ke pelukannya dengan kaki ngilu karena memar. Gue merasa sangat merindukan mama. What's wrong? Mama melepas pelukan kami dan membimbing gue untuk duduk di kasur bersamanya. Atha sudah tidak ada, keluar entah kapan.

"How are you feeling, dear?"

"Fine. Mama sakit, ya?" tanya gue menelusuri wajahnya

Mama menggeleng dan wajahnya tampak berbeda. "Mama dan papa sedih banget saat kamu sakit kemarin. Kami takut"

"I'm okay, ma" kata gue meyakinkan

"Jaga kesehatan kamu, sayang. Jaga diri. Kami sangat sedih kalau kamu sakit"

Gue menatap wajah mama, meneliti setiap incinya. Mama masih tampak muda diumurnya yang sudah beranjak tua. Tak ada kerutan di wajahnya yang terlihat, tapi gue tahu bahwa ada kerutan samar disekitarnya. Matanya yang menatap gue sedih dan hidung mancungnya.

Kenapa gue merasa ada suatu unsur aneh dibalik kata-kata mama barusan? Astaga, Koci, jangan berpikiran jelek deh. Tapi memang ada aura yang berbeda dari mama, tak seperti biasanya. Gue kembali memeluk mama erat. Gue terlalu merasa nyaman dalam pelukan ini hingga enggan melepasnya. Tuhan, ada apakah ini?

"Papa pulang.." Papa muncul di ruang keluarga dengan jas ditangan dan tas kerjanya. Masih tampak gagah dan tampan. "Loh ada Atha sama Koci. Tumben"

Gue berlari ke pelukan papa--masih dengan kaki ngilu--dan mengeratkan pelukannya. Gue memaksakan berlari dengan kaki yang masih memar hingga hampir terjatuh, Atha sudah bersiap namun gue sudah menahannya. Papa juga memeluk gue dan membelai rambut gue seperti biasa in our quality time. Entah kenapa, gue merasa rindu sekali dengan papa. Kenapa?

"Wow, kamu kenapa, sayang? Kangen papa?" goda papa

"Banget!"

"Manja banget sih anak papa ini" dan papa mencubit hidung gue. "Malu ah sama suaminya. Masa sudah bersuami, tapi masih manjanya sama papa"

Gue mencibir namun tak rela melepas pelukan papa. Kami beranjak duduk dan gue tak lepas dari pelukannya.

"Ganti baju dulu gih" ujar mama

Gue menggeleng tegas. "Duh, ada apa sih? Kamu pakai lari segala untuk meluk papa padahal masih sakit, sekarang malah gak izinin papa ganti baju"

"I'm better, pa"

"Iya, papa percaya. Maafin papa, ya. Kalau waktu itu papa menyempatkan waktu mengantar kamu--"

"Bukan salah papa, kok. Papa bilang semua ini kuasa Tuhan, kan?"

Papa mengecup rambut gue, "Papa gak boleh ganti baju dulu nih?" Gue kembali menggeleng tegas. "Emang papa gak bau?" Gue mengendusnya dan kembali menggeleng. Papa tertawa melihat tingkah gue, begitupun kedua orang didekat kami. "Kapan ya, mah, terakhir kali Koci manja seperti ini sama papa?"

Mama tampak berusaha mengingat sebelum menjawab, "Waktu baru masuk SMP, kalau gak salah, pa"

Mama dan papa tertawa lagi, Atha pun ikut serta. Gue mengamati wajah kedua orang tua gue yang tampak berbeda kali ini. Wajah mereka tampak lebih bersinar atau.. hanya perasaan gue saja? Kenapa gue merasa ada yang aneh? Gue merasa ada suatu perasaan yang membuat gue ingin berada didekat mereka selalu dan enggan menjauh.

"Sepertinya kita harus foto keluarga, ya" usul papa

Gue menatap papa kaget. There's something wrong.

"Betul tuh, pa. Kan sudah lama sejak kita terakhir kali foto. Lagipula kini kita punya anggota keluarga baru. Mumpung masih pasangan baru"

Atha hanya tersenyum tipis. "Hubungi fotografernya, mah. Besok pagi kita foto. Ditaman rumah saja, jadi gak repot"

"Papa besok gak kerja?" tanya gue heran dan menatapnya

"Enggak. Papa ada dinas di Jogja. Oh ya, mama ikut ya"

Kening gue berkerut, "Kok tumben ngajak mama? Biasanya tunggu mama mengajukan diri dulu, pah"

Papa mencubit hidung gue lagi. "Ada acara yang harus dihadiri disana, sayang. Tega kamu kalau papa datang sendiri? Lagian nanti mama gak eksis lagi di grup sosialitanya" papa terkikik sendiri. "Kamu kok jadi kayak detektif gini ya, nanya terus"

"Kapan, pah?" tanya mama

"Lusa berangkat"

Mbok Sum datang dan membungkukkan sedikit tubuhnya--hormat. "Maaf tuan, nyonya, den, non, makan malamnya sudah siap"

Mama berterima kasih dan tersenyum. "Ayo kita makan. Dan papa ganti baju dulu"

Kami berdiri, pelukan papa akhirnya lepas. Papa beranjak ke kamar untuk berganti pakaian. Mama sudah menghilang duluan menyusul mbok Sum ke meja makan. Atha mendekati gue dan kami berjalan bersama menuju meja makan dengan lengannya melingkari pinggang gue, membantu gue berjalan. Protektif, huh?

Setelah makan malam, kami berkumpul diruang keluarga dan gue sengaja duduk diantara kedua orangtua gue. Bukan bermaksud menghindari atau menjauhi suami gue, tapi gue merasa sedang membutuhkan kedua orangtua gue sekarang. Papa dan mama jadi terus-menerus mengolok-olok sikap manja gue hari ini hingga gue meminta untuk menginap. Ya, gue sudah lama sekali gak bermanja ria dengan mereka. Wajar sekali jika mereka merasa heran.

"Tha, gue ikut mama papa ke Jogja, ya?" izin gue

Atha yang baru keluar dari kamar mandi pun menoleh, "Bukan kenapa, Koc, tapi lo masih sakit"

"Gue udah baikan, kok"

"Dokter minta lo istirahat" gue menatapnya bete. "Emang kenapa sih? Tumben banget"

Gue menggeleng, "Pengen ikut saja"

"Mereka cuma 5 hari, kok" gue tak menanggapinya. "Gini deh, kalau 2 hari lagi lo udah gua lihat bener jauh lebih sehat, kita nyusul"

Gue menatapnya dengan sumringah, "Beneran?" Atha mengangguk tegas dan tersenyum. Kegirangan, gue menghambur memeluknya. "Makasih banget, Tha!"

"Manja banget sih!" ledeknya

Gue meringis karena kaki gue terasa keram. Atha dengan sigap langsung mengurai pelukan dan memeriksa kaki gue dengan wajah cemas. Gue langsung dibaringkan di tempat tidur dan ia memijat pelan kaki gue. Terima kasih Tuhan karena telah memberikan suami yang baik untukku.

Paginya, kami sudah siap ditaman dan sang fotografer sedang mempersiapkan lokasi dibantu asistennya. Gue, mama, dan mama mertua gue mengenakan kebaya senada dan kain. Rambut mereka disanggul dan rambut gue hanya dijepit. Papa, Atha, dan papa mertua gue mengenakan jas hitam dan kemeja putih seragam. Tak lupa mbok Sum dan mang Jaja ikut serta dengan kami.

First shoot; kami berdelapan, sekeluarga besar. Second shoot; kami berenam, tanpa mbok Sum dan mang Jaja. Gue duduk diantara kedua mama dan Atha berdiri diantara kedua papa, tepat dibelakang gue. Third shoot; hanya kami berempat tanpa keluarga Atha. Lagi-lagi gue ditengah. Berikutnya hanya para orangtua, selanjutnya kami--pasangan muda, masing-masing pasangan, keluarga inti, gue dan mertua berserta Atha begitupun sebaliknya. Lagi, lagi, lagi dan lagi. Kami terus berfoto dengan pose absurd selanjutnya as this time is our last time.

Selanjutnya kami bercengkrama bersama setelah berganti pakaian--sang fotografer masih kami sewa untuk mengambil foto kegiatan kami seharian ini. Gue masih saja berada disisi orangtua gue.

"Duh, Koci manja banget sekarang, ya. Tumben" ledek mama mertua gue

"Gak betah ya tinggal sama Atha?" sahut papa mertua

"Pah!" tegur Atha yang membuat kami semua tertawa

Papa membelai rambut gue, "Gak tau nih. Koci manja sekali dari kemarin"

"Sejak pulang dari rumah sakit, tepatnya" sahut mama, menambahkan ucapan papa

"Mungkin pas kecelakaan ada sarafnya yang belok" timpal Atha asal yang mengundang tawa semua orang kecuali gue

Kami menghabiskan hari bersama. Makan siang, mengobrol, bermain, diskusi, menonton film dan lain halnya. As today is our last day.

Setelah makan malam, mertua gue pulang. Mama dan papa hendak tidur agar besok tidak telat bangun, dan mereka harus packing.

"Mah, pah, Koci tidur sama kalian ya malam ini?" pinta gue manja

Papa dan mama tertawa. "Malu dong sama suami"

"Tau nih. Lagian kasur mama nanti sempit"

"Maaah.. jangan pelit dong. Sekali doang kan" rengek gue manja

Mama dan papa berpandangan sejenak, "Gini deh, papa sama mama temenin kamu sampai kamu tidur saja, ya"

Gue sudah bersiap menjawab saat papa menatap gue sambil menggeleng. "No argue, dear"

Gue hanya mengangguk dan berjalan ke kamar gue bersama papa dan mama. Mereka permisi pada Atha atas hal yang memang memalukan ini untuk gadis yang hampir berumur 17 tahun ini. Atha mengerti dan keluar dulu. Gue tidur diapit kedua orangtua gue tersayang dan menggenggam tangan mereka.

***

Gue memeluk mereka satu persatu saat mereka masuk ke mobil.

"Hati-hati bawa mobilnya, mang"

Akhirnya mereka pun pergi. Gue berbalik dengan wajah sendu dan melihat Atha yang memberi senyum keyakinan pada gue.

***

Hal yang paling Atha tak suka adalah melihat Koci menangis. Sudah sejak 2 hari lalu ia menangis dan tak kunjung berhenti hingga hari ini, ia pun masih menangis dalam tidurnya. Sejak mendengar kabar orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil yang terjadi di Jogja saat dinas. Di makam, setelah mengubur jenazah kedua orangtuanya pun ia tak beranjak hingga sore hari. Itupun karena Koci pingsan. Koci tak pernah berbicara sejak saat itu, ia hanya menangis dan memanggil nama orangtuanya. Ia tak mau makan apapun, minum pun harus dipaksa. Atha takut Koci akan sakit.

Koci sedang menangis dalam pelukan Atha malam itu diruang keluarga rumah orangtuanya.

"Koc, kalau lo nangis terus, kasihan mereka gak tenang disana"

Koci berusaha menahan tangisnya dan menatap Atha dengan air mata yang terus mengalir. Atha tak letih menghapus air matanya dan memeluknya, berusaha memberinya kekuatan.

"Tha.."

Itu kata pertama yang diucapkan Koci dalam 3 hari ini. "Iya, Koc, lo mau apa? Makan, ya?"

Koci menggeleng, "Fira..sat gue.. be..ner.." ucapnya di sela isaknya

Atha mengernyit, berusaha memahami kalimat terbata yang diucapkan istrinya dan matanya melebar saat ia akhirnya paham. Ingatannya kembali ke beberapa hari lalu dimana hari-hari sebelum keberangkatan orangtuanya untuk perjalanan dinas, Koci menjelma menjadi sosok gadis yang sangat manja. Atha paham, sepertinya Koci sudah memiliki firasat hingga ia tak membiarkan waktu sedikit pun terbuang tanpa keberadaan orangtua disisinya.

"Fee..ling gue.. gak.. enak saat.. itu.."

Atha mengeratkan pelukannya. "Ikhlaskan mereka, Koc. Biar mereka tenang dan bahagia disana. Mereka butuh doa lo. Mereka pasti sedih lihat lo seperti sekarang ini. Mereka pasti gak ingin lihat lo sakit. Lagipula mereka tetap ada di hati lo, selalu ada buat lo"

Koci mengentikan tangisnya dan berusaha mengatur napas agar isakannya berhenti. Matanya sudah bengkak, kepalanya pusing, hidungnya merah dan tubuhnya lemas, Koci membiarkan Atha membelainya. Atha benar. Lagipula masih ada Atha, kedua mertuanya, mbok Sum dan mang Jaja untuknya. Hidupnya masih harus dilanjutkan.

"Misi den, non" mang Jaja sudah berlutut dihadapan mereka dengan berlinang air mata. "Maafin mang Jaja, non. Ini sepenuhnya salah mamang yang lalai dan gak hati-hati saat berkendara. Mang Jaja mohon ampun, non"

Koci melepas pelukan Atha dan tak tega melihat supirnya yang sudah menemaninya sejak kecil itu kini bersikap demikian. Koci menatap Atha yang mengangguk. Ia duduk dihadapan mang Jaja dan memegang lengannya.

"Udah, mang. Ini bukan salah mang Jaja, kok" ujar Koci pelan

Mang Jaja melihat wajah pucat majikannya yang ada dihadapannya, "Maaf, mang Jaja udah buat non jadi kayak gini"

Koci menggeleng dan berusaha tersenyum, "Enggak kok, mang. Kalau kata papa, ini takdir Tuhan. Ini bukan salah mang Jaja. Mungkin ini takdir terbaik Tuhan untuk mereka, tapi dengan mang Jaja sebagai saksi" Koci menarik napas panjang. "Koci gapapa, kok. Koci hanya belum bisa menerima semuanya kemarin. Tapi Koci akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Bantu Koci ya, mang"

Mang Jaja menghapus air matanya, "Mang Jaja sedih lihat keadaan non Koci yang kayak gini. Mang Jaja juga mohon izin mau pamit mengundurkan diri, non. Pasti non benci kan sama mamang"

Koci menggeleng cepat, "Enggak. Koci gak benci sama mamang. Koci sayang sama mamang. Mamang keluarga Koci juga, jangan tinggalin Koci ya, mang"

Mang Jaja segera memeluk majikannya dan menangis, "Maafin mamang, non. Mamang janji akan nemenin non Koci terus"

Koci pun membalas pelukannya. Akhirnya mang Jaja pamit kembali ke belakang dan datang mbok Sum yang membawa nampan berisi makanan, minuman, dan obat. Koci kembali duduk disofa dan bersandar pada Atha.

"Makan, non. Si mbok sedih lihat non kurus dan pucat begini"

Koci tersenyum dan mengangguk, "Biar Atha yang suapin, mbok"

Mbok Sum tersenyum dan mengangguk. "Si mbok permisi dulu, mau ke belakang"

Atha menyuapi Koci dengan bubur perlahan dan dengan sabar. Koci masih bersandar di satu lengannya. Koci diminta menghabiskan jusnya. Setelahnya, Koci memilih tidur daripada meminum obat. Rasa pusingnya pasti akan hilang jika dibawa tidur. Atha selalu mendampinginya hingga ia hampir tertidur.

"Tha.."

"Hm?"

"Tidurnya geser gih"

Atha menatap Koci yang tidur dalam pelukannya. "Kenapa emang?" tanyanya bingung

"Gue pasti bau. Gue kan belum mandi"

Atha mengendus leher Koci dan cemberut, "Iya, bau banget"

Koci mencubit pinggangnya sebal, "Atha!"

Atha tertawa dan seketika mimik wajahnya berubah serius. "Gua akan selalu ada buat lo, nyemangatin lo. Lo gak sendiri, Koc. Masih banyak orang yang akan ada buat lo. Gua akan selalu berusaha apa pun buat lo. Gua gak suka lihat lo nangis, sedih, apalagi samapi terpuruk kayak gini. Bukan cuma gua yang gak suka, yang lain juga, apalagi orangtua lo" Koci kembali menitikkan air matanya. "Koc, kenapa?" Dengan sigap, Atha menghapus air matanya

Koci tersenyum, "Makasih, Tha. Lo selalu ada buat gue. Gue sangat bersyukur karena gua adalah istri lo. Gue sangat berterima kasih pada papa dan mama. Mungkin mereka udah firasat akan ninggalin gue secepat ini makanya mereka menikahkan kita diusia muda"

Atha memeluk istrinya erat, "Mereka pasti bahagia punya anak yang sayang banget sama mereka"

Koci menatap Atha dan bertanya, "Apa lo juga merasa kehilangan?"

Atha menatap Koci lurus dan menghembuskan napas pelan. "Jelas gua juga kehilangan. Mereka adalah mertua gue dan orangtua yang baik. Gua udah sayang mereka"

"Tapi gue gak lihat lo sedih"

Atha tersenyum tipis, "Taraf kesedihan pasti berbeda tiap orangnya. Lagipula bukan karena gua gak kelihatan sedih artinya gua bener gak sedih. I'm not show it. Kalau gua sedih, gimana cara gua nyemangatin dan nolong lo?"

Koci memeluk perut Atha erat, "Makasih, Tha. Thanks for always there for me"

Koci dan Atha tertidur dengan berpelukan. Hati Koci terasa lebih lega setelah percakapannya dengan sang suami malam itu. Kehilangan kedua orangtua yang disayanginya dalam kecelakaan lalu lintas memang menjadi pukulan berat bagi Koci. Namun keberadaan orang-orang disekitarnya yang mendukung dan menyayangi, membantunya bangkit. Jalan hidupnya masih berjalan. She has to face the world without her beloved parents but with her beloved husband. Semoga ini menjadi garis indah dalam hidupnya.

***

Thursday, January 15, 2015

The Matchmaking part5

"Gua ada rencana liburan sama Mike dan Mika. Mau ikut?"

Gue menatapnya yang sedang berbaring di pangkuan gue, "No"

"Mereka tahu status kita sebagai sepupu. Why not?"

Gue menggeleng, "Gapapa. Gue ada rencana juga travelling sama nyokap"

"Dan gua gak diajak?"

Gue terkekeh, "Kan lo mau pergi sama temen-temen lo"

Dia menahan tangan gue di pipinya, "Gua udah kirim pengajuan study disana dan udah dikonfirmasi. As you wish, Maret gua ujian, disana"

Gue tersenyum kecil, "Good luck!"

Dia mencium tangan gue, "Gua sayang sama lo"

Mata gue seketika panas dan air mata haru menetes. Ini romantis, kan? Alhamdulillah, betapa indah karunia-Mu, ya Allah. Sebuah perjodohan tanpa dasar perasaan apapun dan tanpa mengenal baik satu sama lain, kini mulai menumbuhkan perasaan yang kuat di diri kami masing-masing untuk yang lainnya.

Ujian akhir semester telah selesai dan libur telah tiba. Malam ini, kami packing bersama. Sebuah tas besar milik Atha dan koper sedang milik gue. Rumah telah rapi dan bersih, siap untuk ditinggal. Besok pagi-pagi sekali Atha akan mengantar gue ke rumah mamanya. Dari sana ia akan dijemput kak Mike dan gue melanjutkan menyetir sendiri mobilnya ke rumah mama bersama mertua.

"I'll gonna miss you" bisiknya

***

The day comes. Gue gak tahu kalau ternyata tujuan wisata kami adalah ke pulau Belitung. Dasar mama, suka yang aneh-aneh. Kami duduk di waiting room dan menunggu pesawat kami. Kami terlibat perbincangan menarik. Ternyata luar biasa rasanya holiday sama para ibu-ibu ini ya.

Tiba di lokasi, kami langsung menuju pantai yang cukup eksis hingga diangkat ke sebuah novel dan film. Subhanallah, indahnya alam ini, betapa besar kuasa-Mu, ya Tuhan. Gue menghirup aroma asin laut dan menikmati pantainya yang indah. Gue menatap kedua nyokap yang sibuk berfoto ria. Gue sendiri memilih mengabadikan pemandangan, dalam hati berharap bisa berada disini bersama Atha.

Dari siang hingga sore kami menghabiskan waktu untuk berbelanja, biasalah perempuan. Gue hanya membeli beberapa barang mengingat rumah bersama Atha menganut sistem simple yang tak sebebas dirumah mama yang diletakkan disembarang tempat. Saat sedang memilih barang-barang, gue teringat Atha. Apakah gue harus membeli sesuatu untuknya?

Setelah makan malam, kedua nyokap gue bergosip ria sambil menonton acara di televisi. Gue merasa gak cocok berada diantara mereka, merasa tua banget kalau ikutan. Akhirnya gue pamit ke pantai. Mumpung disini, memanfaatkan pantai untuk berbagi penat dan menikmati keindahan, apa salahnya, di Jakarta kan pantainya jauh.

Gue membawa serta kamera untuk mengabadikan keindahan pulau Belitung ini. Siapa tahu gue bisa berbagi pengalaman dengan Atha nanti. Haaah.. berjalan ke pinggir pantai, gue menikmati gelapnya pantai. Agak takut, gue memeriksa apakah sosok tersebut benar manusia atau bukan.

Dibalik batu, gue menemukan kebenarannya. Dua manusia duduk dan sedang mengobrol.

"Dia manis, cantik" ujar suara perempuan. "Gue gak tau lo punya sepupu perempuan"

"Dia baru tiba dari luar Jakarta"

Kening gue mengernyit. Gue kenal suara ini. Suara dingin dan ringan ini sangat familiar di telinga gue. Ini mirip suara Atha, tapi kan Atha sedang di Lombok, gak mungkin dia ada disini. Rasa penasaran mengusik gue untuk mengintip, tapi gue takut mereka terganggu dan bukankah ini tindakan yang tidak sopan? Gue bergeming, mendengarkan mereka dengan setia.

"Siapa pacar lo sekarang?"

"Emang kenapa?"

"Cuma nanya, kok. Well, lo jadi pergi?" Sang cowok menjawab dengan gumaman saja yang tak dapat gue dengar jelas. "Well, lo tahu gue punya rasa sama lo, Ga. Sampai sekarang"

Ga? Apa yang dimaksud perempuan itu adalah Aga--Agatha--Atha? Aliran panas mengalir di pipi gue. Apa benar itu Atha? Dan kalau itu atha berarti Mika disampingnya? Benarkah Mika yang mengatakan memiliki perasaan pada Atha hingga saat ini?

"Nyokap lo pernah bilang kalau lo juga pernah suka gue wakti SMP, bener? Tapi kenapa lo gak pernah bilang?"

"It's too late, Mik" suaranya terdengar sedih

Mik? He means Mika? So, it is true. They're Mika and Atha. Air mata mengalir semakin deras di pipi tak tertahankan. Gue hanya mampu menahan diri agar isakan gue tak terdengar. Gue harus kembali ke penginapan. I don't care about them. Masalahnya, apakah gue masih sanggup berjalan dengan kaki lemas ini?

"Too late? Jadi lo bener udah punya pacar? Lo sekarang jadi lebih tertutup, Ga"

"Ada waktunya nanti"

"Gue kangen Aga-gue"

"Gua masih disini, Mik. Gua masih sahabat lo. Dan gua sayang sama lo"

Gue jatuh terduduk dibalik batu. It's so painful. Atha sayang Mika. That's the point. Kenapa gue harus hadir diantara mereka? Kenapa harus seperti ini?

***

Agatha ▶ Gue gak jadi ke Lombok, lagi di Belitung nih. Gimana liburan sama mertua?

Gue membaca pesan dari Atha pagi ini tanpa ada niat membalasnya. Gue masih bergelung diri dalam selimut, enggan beranjak. Gue takut akan bertemu Atha, tapi kalau gue hanya diam, pasti kedua nyokap gue akan curiga dan khawatir. Dan well, ini liburan, gue harus have fun dong.

"Sudah bangun, Koci?" tanya mertua gue

Gue keluar dari selimut dan tersenyum, "Udah kok, mah"

"Mama kamu sedang mengambil sarapan kesini" Gue hanya mengangguk. "Tadi malam Atha telfon waktu kamu di kamar mandi"

Gue mengernyit. Apa mama juga tahu kalau Atha juga ada disini? Bisa gawat. Kalau mama tahu pasti kami akan liburan bersama. Sedangkan gue belum sanggup melihat Atha bersama Mika, yang jelas-jelas mereka memiliki perasaan satu sama lain.

"Atha nanyain kamu karena ponsel kamu mati katanya. Mama rasa dia sudah kangen sama kamu"

Gue tersenyum tipis sekali. "Atha sudah sampai, mah?"

Mama mengangguk, "Iya. Pasti Lombok terlalu menyenangkan ya"

Lombok? Mama belum tahu kalau Atha ada disini? Apa mama sudah bilang kami juga disini? Gue merasa pusing memikirkan hal ini. It hurts me so deep.

"Atha punya sahabat dekat ya, mah?"

"Ya. Atha punya dua sahabat baik yang sangat dekat dengannya. Mike, yang dikenalnya sejak SMP dan Mika yang adalah teman sejak SD. Mike satu sekolah dengan kalian, kamu kenal dia, kan?" Gue mengangguk mengiyakan. "Ya, mereka bersahabat dan memang dengan Mika, Atha lebih dari sekedar dekat"

Gue telan bongkahan pahit yang terasa ditenggorokan, "Deket banget, mah?"

"Ya. Bahkan Mika cerita kalau dia memang punya rasa dulu. Atha pun sempat memiliki rasa dulu sama Mika. Mereka gak pernah pacaran, tapi mereka protect satu sama lain setiap yang lain punya pacar. Tapi itu dulu kok, sayang"

Gue berikan senyum tipis padanya, "Oh ya, mah, Atha punya banyak nama panggilan, ya?"

"Maksud kamu?"

"Kita manggil dia Atha. Disekolah dia dipanggil Agatha dan sama sahabatnya dia dipanggil Aga"

Mama terkekeh geli, "Kamu pasti bingung, ya" Mama menyelesaikan tawanya dan mengatur napas. "Dari kecil dia selalu memanggil dirinya dengan nama Atha. Kata dia, manggil Agatha susah, kepanjangan. Jadilah nama Atha. Dan sejak sekolah teman-temannya lebih suka manggil nama depannya, Aga dan sebagian lagi Agatha. Jadi teman-temannya dipersilahkan memanggil namanya Aga atau Agatha, asal jangan Atha" jelas mama panjang lebar

Gue mengernyit, "Kenapa?"

"Karena Atha adalah nama kecilnya dan hanya keluarga yang boleh"

Gue menunduk, "Berarti Koci lancang ya, mah"

Mama menggeleng tegas, "Enggak dong, sayang. Kamu kan juga kini keluarga kami juga"

Gue tersenyum, "Tapi mah, Mika cantik, kan. Kenapa Atha gak dijodohin sama dia saja? Pasti cocok"

Mama menggenggam bahu gue, pandangannya lembut, "Kami memilih kamu, sayang. Kami tahu kamu yang terbaik buat Atha, insyaAllah"

Rasanya mata gue panas mendengar jawaban mama barusan. They choose me. Gue tersenyum dan memeluk mama erat. Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau biarkan mereka memilih hamba-Mu ini. Berkahilah kami selalu.

***

Sore hari hujan turun namun gue masih berada disekitar pantai. Terpaksa gue harus berteduh hingga hujan reda, gue tak membawa ponsel karena sengaja gue matikan demi menghindari Atha, dan sekarang gue menyesal karena tidak bisa mengabarkan nyokap.

Hujan masih deras dan gue semakin merasa dingin. Gue memeluk tubuh gue yang hanya memakai kaos dan celana pendek. Sebagian tubuh gue sudah basah. Gue menahan gertakan gigi yang menggigil. Disaat tak tepat inilah takdir memilih gue untuk dibuat kaget. Didepan gue berlari tiga orang. Satu laki-laki menutupi kepalanya dengan jaket sendiri dan dijaket satunya digunakan oleh sepasang anak manusia yang jelas gue kenal siapa.

Dingin semakin menggigit kulit gue, dingin menjalar semakin luas ke dalam hati dan pikiran. Astaga.. gue benar-benar kedinginan melihat mereka. Kenapa Atha harus berbagi jaketnya dengan Mika? Kenapa bukan kak Mike saja?

Gue tak lagi mempedulikan hujan deras yang mengguyur, gue melangkahkan kaki kembali menuju hotel, menghindari pemandangan yang meremukkan hati. Ini liburan gue, bukan kesedihan yang ingin gue rasakan. Gue harus menghindari mereka demi liburan gue yang seharusnya menyenangkan ini.

Gue melihat Atha merangkul pinggang Mika mesra dan berjalan ke arah gue dengan tawa yang lepas. Mereka terlihat sangat bahagia. Dan Mika mencium pipi Atha. Gue menangis berlinang air mata dan terisak sendirian di tengah pantai.

***

"Koci.. bangun, Koc"

Ada yang memanggil nama gue. Suaranya familiar, nada suaranya cemas dan takut. Ada apa? Gue membuka mata yang terasa berat dan merasa silau melihat cahaya. Seseorang duduk disebelah gue. Pandangan gue kabur karena kepala gue yang pusing, hal tersebut yang membuat gue tak mengenali siapa dia.

"Pusing, Koc?"

Dia menggenggam tangan gue setelah mengganti kain kompres di kening. Rasanya damai sekali. Pasti nyokap gue. Maafin Koci karena Koci sakit disaat liburan gini.

Gue kembali bangun dan sudah merasa lebih baik, tapi ruangan tampak gelap, sepertinya hari sudah malam. Gue duduk dan menyadari tangan gue masih digenggam. Gue menoleh ke si pemilik tangan dan menemukan sosok Atha yang sedang tidur disamping gue, ditempat tidur yang sama dengan gue, dikamar yang sama, dikasur sempit ini. Gue terbatuk karena kaget dan suara batuk gue membangunkan Atha.

"Koc, udah sadar?" tanyanya cemas

"Gue tadi tidur kok, bukan pingsan"

"Syukurlah" dia tersenyum dan memeluk gue. "Jangan hujan-hujanan lagi, Koc. Gua khawatir lo sakit"

Tubuh gue membeku dalam pelukannya, "Lo kenapa disini?"

Dia mengurai pelukannya dan menatap gue, "Mama nelfon"

"Bukannya lo di Lombok?" tanya gue innocent

Dia mengedikkan bahunya, "Tau tuh Mike, mindahin lokasi tanpa konfirmasi"

Gue mengangguk. "Lo bisa balik ke penginapan lo. Sana"

"Ngusir nih? Selow, temen-temen gue tahu kok gua disini"

Gue menatap dia kaget, "What?! Jadi mereka udah--"

"Ssttt.." Dia menginterupsi dengan jari telunjuknya di bibir gue. "Ya, gua bilang ke mereka kalau gua mau nemenin sepupu manja gua ini"

Kepanikan gue berubah menjadi kesedihan. Sepupu. Kenapa Atha gak bisa jujur pada sahabatnya? Mereka orang terdekatnya, kan? Kenapa?

"Kenapa, Koc? Masih pusing?"

Gue menggeleng, "I'm feeling better"

"Sorry karena gua belum bisa nunjukkin lo sebagai istri gue, Koc. Terlalu beresiko karena Mike satu sekolah dengan kita"

"Karena lo gak mudah percaya sama orang lain" koreksi gue

Dia menunduk, "Hanya orangtua gua yang gua percaya" dan kembali ia menatap gue. "Dan lo"

"Kenapa? Apa lo pernah dikecewain sama orang lain?"

"Ya"

"Would you mind to tell me?"

Dia mengangguk, "Not now. It's time to sleep"

Gue menoleh ke tempat tidur sebelah dan melihat kedua nyokap gue telah tidur lelap. Atha membaringkan gue dan memakaikan selimut.

"Lo balik saja, Tha. Lagian disini kan sempit"

"Penginapan gua jauh, Koc. Lo tega?" Gue terdiam. "Lagian juga, kayaknya lo yang keberatan berbagi tempat tidur sama gua?" Dia berdiri. "Gua bisa tidur dikursi atau dilantai--"

"Enggak!" Gue menahannya. "I don't mind. Gue juga gak tega. Udah tidur disini saja sama gue. Tapi maaf sempit dan jangan macem-macem!"

Atha tersenyum dan naik ke tempat tidur, berbaring disamping gue. "Loh, lo kan istri sah gua, salahnya apa macem-macem? Udah halal, kok"

Gue memasang wajah horror dan dia terkekeh. Dia mencium kening gue--kebiasaan sebelum tidur--dan tidur menghadap gue dengan tangannya melingkar di badan gue--posisi memeluk--dan memejamkan matanya. Kepalanya diatas kepala gue, wajah gue di dadanya. Hangat. Kami berbagi selimut dan bantal, juga asur kecil ini. Indahnya:)

Paginya gue bangun dengan batuk yang tertahan. Tak ingin membangunkan Atha atau nyokap, gue beranjak keluar kamar dan melihat langit masih gelap. Dengan memakai jaket dan celana tidur--tak lupa mengambil kamera--gue berjalan ke pantai, mengejar sun rises yang pasti akan indah, walau sambil terbatuk.

Saat matahari terbit, gue abadikan moment yang ada sambil memanjatkan doa pada Tuhan.

Ya Tuhan, betapa indah alam dan karunia-Mu. Betapa kuasa-Mu atas alam nan indah ini. Hamba panjatkan doa semoga manusia sadar akan keindahan alam-Mu dan menjaganya. Saat ini, kupinta juga keridhaan-Mu atas rumah tangga kami, berkahi kami. Aamiin.

Setelah memanjatkan doa, gue pejamkan mata, berusaha meresapi hangat mentari yang berpadu dengan laut. Sebuah tangan melingkari bahu gue, memeluk erat. Kepalanya dileher gue. Dapat gue rasa napasnya yang tersenggal-senggal.

"Kenapa pergi sendiri, Koc?"

Gue membelai rambutnya dan tersenyum, "Tadi kebangun duluan"

"Kenapa gak bangunin gua?"

"Kenapa harus?"

"Gua khawatir" jawabnya pelan

"Sorry, I don't mean that" dan gue kembali kembali terbatuk

Dia melepas pelukannya dan menatap gue cemas, "Koc, kenapa?"

Gue sudahi dengan paksa batuk ini, "Kehujanan semalem kayaknya"

Dia menggertakkan giginya, terlihat kesal. "Gerak-gerik lo harus sepengetahuan gua. Ngerti?"

Gue hanya mengangguk dan kembali merasa pusing setelah batuk. Sial! Masa di liburan gini gue harus sakit. Gue duduk diatas pasir sebelum jatuh, Atha ikut duduk disamping gue dan tangannya merangkul gue. Dari tangannya, gue dapat merasakan suhu tubuhnya.

Gue menatapnya, "Lo demam, Tha"

Dia mengedikkan bahu tak acuh, "Gua juga kehujanan kemarin"

I know. "Kita selalu sakit bareng ya"

Dia menggeleng, "Gua selalu setelah lo"

"Jangan sakit, Tha"

"Kalau gitu, lo juga gak boleh sakit"

Gue tersenyum dan memeluk perutnya. Ikut merasakan panas tubuhnya. Kepala gue dibahunya dan kepalanya diatas kepala gue. Gue rasa ini adalah pagi terindah yang pernah gue alami selama liburan ini. Menikmati matahari terbit dipantai, dan berdua dengan suami menyambut hari ini.

"Lo jangan lupa minum obat ya"

"Gua gak akan lupa kalau lo ingetin terus"

"Gue gabisa ngingetin terus"

"Kenapa?"

"Lo liburan sama temen lo, kan"

Diam sejenak sebelum ia menjawab, "Kita belum pernah liburan bareng"

Gue mengernyit dan terbatuk. Uhuuk.. uhuuuk.. batuk ini menyakitkan. Atha melepas pelukannya dan membawa gue kembali ke penginapan. Ia membawakan kamera gue sementara gue masih terbatuk. Rasanya seperti ada yang ingin keluar dari tenggorokan namun tidak bisa dan membuatnya gatal.

Dipenginapan, gue tahan batuk gue yang tak henti sedaritadi tapi malah membuat gue menggonggong seperti anjing. Dan Atha langsung mencari obat batuk. Penginapan sepi, pasti para ibu-ibu sedang jalan-jalan menghabiskan waktu liburan dengan bahagia.

"Shit!" umpatnya. "Gak ada obat batuk"

"Uhuuk.. kayaknya kotak obatnya.. uhuuk.. uhuuk.. dikoper mama" ujar gue dengan terus batu

Dia berdecak kesal, "Udah deh, lo diem!"

Gue malah terus batuk walau sudah ditahan. Akhirnya Atha membuatkan minuman panas karena tidak menemukan obat--koper mama dikunci. Dia membantu gue meminumnya. Jarak tipis diantara kami menyadari gue bahwa wajah Atha pucat. Sial, gue lupa Atha demam! Gue menarik Atha duduk ditempat tidur.

"Apaan sih!" hardiknya

"Tiduran, Tha. Gue ambil kain dulu"

Gue berlari ke kamar mandi untuk membasahi kain sambil terbatuk. Atha sudah berbaring dengan memejamkan mata saat gue kembali. Gue letakkan kain basah dikening Atha dan membelai pipinya. Dia pasti pusing.

"Lo tiduran juga"

"Gue ambilin sarapan ya"

Dia menggeleng, matanya terpejam, tapi tangannya tak melepas tangan gue. "Stay here"

"Lo harus makan, Tha" dia diam tak menjawab. "Gue punya bubur instan, kok"

Dia bergumam dan melepaskan tangan gue. Secepat yang gue bisa, gue seduh bubur instan yang ada dan langsung menyuapi Atha. Pasti dia menahan pusingnya dan memaksakan diri hingga sekarang puncak pertahanannya.

Setelah selesai menyuapi Atha, gue duduk disebelahnya, menemaninya hingga tertidur. Angel's face. Gue pun berberes setelah memastikan Atha telah lelap dengan nyaman. Pintu diketuk dari luar. Pasti ibu-ibu pulang nih. Gue membuka pintu dan kaget melihat sosok yang berdiri didepan gue.

"Hei"

***

Gue duduk diatas pasir, memperhatikannya yang sedang menulis diatas pasir dengan kayu yang ditemukannya. Gue belum tahu apa tujuannya mengajak gue kesini, tapi satu yang gue tahu, dia butuh privasi--tanpa Atha.

Kegiatannya selesai dan dia bersorak senang. Gue menyipitkan mata, memfokuskan pandangan untuk melihat hasilnya. Ia menuliskan sebuah nama dengan ukuran cukup besar dengan simbol love diujungnya. Agatha.

"Lo deket banget ya sama Aga?" tanyanya sembari berjalan mendekat

Gue buang pandangan ke lautan luas, "Bisa dibilang gitu"

"Kelihatannya Aga sayang banget sama lo" gue hanya diam. Berpikir dan enggan menjawab. "Gue suka iri kalau ada orang yang manggil nama kecil dia and I can't" dia menoleh pada gue yang tak melepaskan pandangan dari lautan. "Lo beneran sepupunya?" tanyanya ragu yang membuat gue menoleh menatapnya. "Bukan pacarnya, tunangannya, atau bahkan orang yang dijodohin sama dia?"

Oh God.. she shoots the point! Gue kembali memandang laut, menata pikiran gue yang kacau karena tebakannya. Belum saatnya dia tahu yang sebenarnya. Ini hak Atha. Gue menarik napas dan menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

Dia terkekeh kering, "Gue baru lihat lo kali ini. Selama 12 gue kenal Aga, gue gak pernah tahu kehadiran lo. Gue gak pernah lihat lo diacara perayaan ulang tahun tante Ambar selama 12 tahun ini, dimana seluruh keluarga besar dan kerabat diundang, tapi gak pernah ada lo"

"Perayaan ulang tahun ma--tante Ambar?" tanya gue kaget

Dia mengangguk, "Ya, setiap tahun tante Ambar selalu merayakan ulang tahunnya. Dan sejak kenal Aga, gue selalu diundang"

Sedekat itukah mereka? "Kami gak tinggal disini sebelumnya"

Dia menatap gue terkejut dan mengangguk, "Oh, pantes. Sorry, ya" Gue mengangguk samar. "Gue kenal Aga sejak kita masih sama-sama baru bisa nulis" Dia tersenyum dan matanya menerawang. "Aga emang udah ganteng dari kecil, dan dia baik. Dia tipe yang suka melindungi orang yang disayanginya apapun yang terjadi"

"Lo kenal dia dengan baik"

"Cukup baik sampai bukan hanya sayang rasa gue buat dia, tapi cinta"

Ini dia. Inilah pengakuan yang tepat sasaran. Gue meringis, hati gue menangis, perih seperti disayat. Ada orang lain yang tulus mencintai Atha sejak lama dan mengenalnya cukup baik. Gue? Perasaan gue buat Atha baru tumbuh, gue gak mengenal dia dengan baik. Sedang gadis disebelah gue ini cantik. Wajarkan gue menangisi ini?

"Kenapa lo bisa bilang kalau gue adalah bukan sepupunya?"

"Tante Ambar pernah meminta maaf karena ia telah menjodohkan Aga dengan anak sahabatnya sejak kecil"

"Kenapa lo gak nembak dia?"

"Dia pernah nasihatin gue, sebagai cewek jangan pernah memulai, nembak duluan itu merendahkan harga diri lo" gue menyimak ucapannya. "Lo tahu siapa pacar Aga sekarang?" Gue. Impossible for me to admit it, right? Gue menggeleng. "Dia gak pernah cerita?"

Gue mengedikkan bahu, "Gue gak berani nanya dia. Kalau dia cerita ya fine kalau enggak no problem"

"Gue takut" ucapnya dan menatap gue. "Takut Aga nerima perjodohan itu"

***

Atha baru saja selesai mandi dan membanting dirinya dikasur saat ponselnya bergetar di nakas. Atha langsung meraih ponselnya dengan harapan sang istri yang dirindu yang menelfon, namun harapannya pupus saat melihat nama sang mama. Dengan agak malas ia pun mengangkatnya.

"Halo, mah"

"Tha.." panggil mamanya dengan nada cemas

Atha mengernyit, "Mah?"

"Tha, Koci sakit"

Atha langsung terduduk, kaget. "Sakit apa? Kok bisa?"

"Dia tadi pulang dari pantai dan kehujanan. Sekarang dia demam tinggi setelah mandi tadi"

Atha merasa dadanya sesak. "Atha kesana sekarang. Mama kirimin alamat penginapannya sekarang"

Saat telfon diputus, Atha menarik napas dalam. Ia tak bisa melihat Koci sakit, ia tak suka melihatnya, ia sedih. Ia tak mau Koci sakit, hatinya ikut sakit. Ia sudah benar memiliki rasa sayang pada Koci hingga ia bisa bersikap over protektif padanya, bahkan melebihi papanya.

Atha beranjak memakai celana jeansnya dan jaket lalu memasukkan sebuah kaos dalam sebuah kantong--untuk pakaian ganti. Mike dan Mika yang melihat Atha sudah rapi berpakaian kembali menjadi bingung dan penasaran.

"Rapi banget, bos. Mau kemana?" tanya Mike

"Gua mau ke penginapan nyokap. Gua gak balik"

Mika menghampirinya dengan wajah agak cemas. "Tante Ambar baik-baik saja, kan?" Atha menatap wajah cemas sahabatnya dan mengangguk, "Terus kenapa lo kesana, Ga?"

"Sepupu gua sakit. She needs me"

Kedua sahabatnya memberikan tatapan tak mengerti padanya. "Koci?" Atha tak menjawab pertanyaan Mike. "Dia ada disini? Terus kenapa lo kesana? I mean, kenapa harus?"

"Dia manja sama gua, she really needs me. Sorry, gua duluan"

Atha langsung pergi setelah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan curiga sahabat-sahabatnya itu. Atha berlari dengan payung yang dibawanya dibawah guyuran hujan. Hatinya cemas memikirkan Koci yang sakit. Jarak penginapannya dan penginapan Koci cukup jauh, tapi tak ia pedulikan demi Koci.

Atha tiba dan melihat sosok mamanya yang menunggunya didepan. Meletakkan payungnya dan membuka cepat sepatunya, ia memeluk mamanya. Ia dipersilahkan masuk dan melihat sang mertua duduk disamping sosok istrinya yang terbaring dengan wajah pucat. Wajah Atha sangat cemas, hatinya mencelos. Ia bergerak mendekati tempat tidur, mertuanya tersenyum mempersilahkannya.

"Koci butuh kamu, Tha" dan mertuanya keluar

Atha duduk dan menatapnya sendu, "Koci.. bangun, Koc" ujar Atha pelan, sarat akan kecemasan

Atha meremas telapak tangan istrinya pelan, berusaha mengalirkan kekuatan yang dimilikinya. Perlahan mata Koci terbuka. Gerakannya terlihat sulit. Atha menarik napas--sedikit lega dan mengantisipasi gerakan istrinya. Mata Koci terus menyipit, sepertinya ia merasa silau melihat cahaya lampu ruangan.

"Pusing, Koc?"

Atha menggenggam tangan Koci dan mengganti kain kompres di keningnya. Perlahan mata Koci kembali menutup dan napasnya terdengar mulai teratur, sepertinya ia kembali tidur. Atha membelai pipi istrinya dan menghapus peluh diwajah itu.

Hari semakin malam dan kedua mamanya beranjak ke alam mimpi. Ia meminta izin kepada mereka untuk tetap disini menemani istrinya yang masih demam. Tanpa keberatan, ia langsung mendapat izin dengan gampangnya. Atha terus menunggu, setia duduk disebelah sang istri, berjaga-jaga dengan keadaannya hingga tengah malam. Melihat sepertinya Koci benar tidur lelap dan waktu telah menunjukkan waktunya istirahat, ia menggeser tubuh istrinya dan ikut berbaring disampingnya, diatas kasur ukuran single ini, pasangan muda ini tidur bersama, menikmati alam mimpi dalam kedamaian hati.

***

Atha bangun dengan kepala masih pusing namun merasa tubuhnya baikan. Ia memindai seisi kamar dan tidak menemukan Koci disisinya. Atha melotot panik dan melompat turun dari kasur, keluar kamar dan menemukan kedua mamanya sedang mengobrol ringan.

"Koci dimana, mah?!" tanyanya cemas dan panik

Kedua mamanya menoleh dan tersenyum, "Kamu sudah baikan, Tha?"

"Koci sedang mandi" Atha menghela napas lega mendengar. "Sebaiknya kamu juga mandi" jawab sang mertua dengan senyum

"Iya. Kamu harus segera bersiap, sudah sore"

"Bersiap?" tanyanya bingung

"Ya, malam ini kita akan BBQ-an. Mama sudah hubungi Mika dan Mike juga untuk bergabung bersama"

Atha menggeleng cepat. "Koci lagi batuk, mah, dia masih sakit. Dia gak boleh kena angin malam"

"Koci yang minta, Tha" sahut mertuanya. "Lagipula besok kita sudah harus kembali ke Jakarta. Jadi biarkanlah dia menikmati malam ini"

Atha mengernyit, "Besok?"

"Iya" jawab suara dibelakangnya

Semua menoleh dan menemukan Koci yang sudah berdiri dibelakang mereka. Ia telah siap mandi. Ia menyunggingkan senyumnya, tapi Atha melihat ada kesedihan dibalik senyumnya. Atha menarik Koci dalam pelukannya, melepaskan segala rasa yang ada dihatinya.

"Rachel ngajakin liburan bareng ke Singapore"

Atha yang sedang menyiapkan bara, mengernyit menatapnya. "Kapan?"

"Lusa pagi. Paling cuma 2 hari"

"Gua gak diajak?" godanya iseng

Koci tersenyum, "Rachel tahunya lo itu senior charmingnya"

Atha hanya menanggapinya dengan tersenyum dan melanjutkan tugasnya. Tak lama kemudian, Mika dan Mike datang bergabung bersama mereka. Mika bergabung membantu BBQ dan berbincang dengan para ibu-ibu. Sedangkan Mike bergabung bersama Atha mengurusi bara.

Suasana menjadi riang saat acara BBQ dimulai diiringi suara musik yang diputar dipinggir pantai itu. Mike dan Atha sibuk menjadi kuli kipas dan para perempuan sibuk mengobrol sambil menusukkan bahan-bahan BBQ. Hujan sepertinya enggan turun malam ini. Malam dihiasi bintang yang bertaburan di langit, menghiasi suasana diantara mereka. Ikatan diantara mereka yang terasa akrab.

Selesai membakar, Mika menarik Atha menjauhi lokasi mereka berada dan duduk bersama menikmati hasil BBQ mereka. Tak kalah, Mike membawa Koci juga menjauh dari mereka. Hanya tersisa kedua ibu yang akhirnya menghabisi hasil masakan mereka dengan bahagia.

"Lo sama Aga deket banget, ya?"

Koci menoleh pada orang disebelahnya dan tersenyum tipis. "Begitulah"

"Lo tau sesuatu tentang perjodohan Aga?" Koci menggeleng pelan, menahan hati. "Gua penasaran sama calonnya Aga dan reaksi Mika tentunya"

Koci mendengus, "Kenapa sih calonnya Atha harus menghalangi mereka?"

Mike tiba-tiba menarik Koci dalam pelukannya, "Gua gak peduli tentang Aga sekarang, Ci. Yang gua tau sekarang, gua suka sama lo"

Koci membeku mendengar pengakuan Mike yang tanpa aba-aba. Ia tak dapat berkata atau merespon apapun. Benar apa yang Atha katakan; Mike menyukainya! Koci hanya menunduk--tak membalas pelukan Mike. Tak sengaja ia bertemu pandang dengan Atha yang sedang menatap mereka dengan pandangan tak suka. Ia tahu, ia salah. Ia adalah istri orang namun ia malah ada dalam pelukan cowok lain.

Koci melepas pelukan Mike perlahan dan tersenyum. "Maaf, kak, tapi aku sudah punya pacar"

Mike mendengus, "Gua telat?"

Koci tak menjawabnya.

Atha duduk dengan hati penuh emosi membara. Ia tak suka--sangat--melihat Mike memeluk Koci. Koci itu istrinya! Ia saja sudah tak suka melihat Mike tebar pesona dan berusaha mendekati istrinya, apalagi kini memeluknya. Tangannya tergenggam erat, membuatnya menoleh dan melihat Mika yang tersenyum manis padanya. Mika langsung memeluknya dan menarik napas panjang.

"Gue gak rela dijodohin, Ga. Please, tell me you deny the matchmaking"

Atha merasa semakin terbeban. Ia membalas pelukan sahabat yang amat disayanginya ini. "Mik, itu keputusan yang gak bisa gua tolak, I've said, huh?"

Mike menggeleng tegas, "Gue gak bisa lihat lo bersama orang lain, Ga"

Atha tertawa, "Jangan dramatis deh. Gua tetap Aga-nya Mika sampai kapanpun"

"Tapi--"

"Mik, gua sayang sama lo. Gua akan selalu jadi sahabat yang terbaik buat lo"

Atha mengacak rambut Mika dengan tersenyum dan mengecup puncak kepala sahabat tercintanya itu. Mika tersenyum kecut atas kelakuan sahabat tersayangnya yang merusak rambutnya. Akhirnya ia gantian mengelitiki Atha walau agak sulit. Sejenak, emosinya pudar. Mika selalu bisa menjadi penenangnya.

Koci yang melihat kedekatan mereka hanya mampu meneriaki diri sendiri dalam hati agar dirinya tak bereaksi apapun atas gambaran dua insan yang bahagia dihadapannya.

Dua insan yang dipertemukan dalam suatu keadaan yang tak dimengerti dan menumbuhkan rasa pada masing-masing pribadi. Rasa yang mengikat dan indah, juga pahit dan pedih. Inikah cinta?

***