Sunday, January 18, 2015

The Matchmaking part7

Gue bangun dan menyadari hari sudah siang, diluar sangat terang. Gue mengedarkan pandangan ke penjuru kamar dan mengernyit. Gue tak menemukan sosok Atha. Kemana dia? Gue pun turun dari kasur dan membersihkan diri di kamar mandi sebelum beranjak keluar kamar.

Gue melihat sosok perempuan yang sedang menata bunga di meja. Kayaknya kenal. "Mama?"

Perempuan itu berbalik dan tersenyum. "Koci sayang! Kamu sudah baikan?" Gue tersenyum melihatnya. "Jangan sedih lagi ya, sayang. Semua orang juga merasa sedih. Mama gak mau kamu sakit, sayang"

Gue merasa tubuh gue dipeluk erat, "Makasih, ma. Mama kok ada disini?"

"Kata Atha, kamu sudah mau makan. Jadi mama kesini untuk masakin kamu. Kamu mau makan apa, sayang?"

"Nanti saja, mah. Atha kemana ya, mah?"

"Atha.. dia lagi pergi. Kamu jangan marah ya, sayang" Gue menatap ibu mertua gue dengan penasaran. "Dia lagi nemenin Mika. Mika lagi sakit"

Gue mengerjap sekali sebelum menjawab, "Kak Mika sakit apa?"

Mama tersenyum. "Hanya flu biasa. Tapi Mika memang manja sama Atha kalau sedang sakit. Ada Mike juga, kok" Gue hanya bisa tersenyum tipis. "Mama sudah bilang Atha kok agar membuat Mika mengerti jarak antara mereka. Sekarang kan Atha punya kamu sebagai tanggung jawabnya"

"Tapi mereka gak tahu status kami sebenarnya, mah. Dan kak Mika juga berharap perjodohan Atha batal"

Mama membelai pipi gue lembut, "That's her problem, dear. Never mind"

Gue mengangguk. "Koci mau mandi dulu ya, ma. Koci mau pergi"

"Kamu mau kemana,sayang?"

Gue tersenyum sendu. "Ke makam"

"Mau mama temani?"

Gue menggeleng, "Biar si mbok temenin, non" ujar mbok Sum yang muncul disamping mama

Gue kembali menggeleng, "Gak perlu. Makasih mah, mbok. Kalau boleh, Koci mau minta tolong anter sama mang Jaja. Mang?"

Mang Jaja muncul dari balik pintu dan menyahuti panggilan gue. "Iya, non"

"Mamang mau temenin Koci ke makam, gak?" tanya gue pelan

Mang Jaja menatap gue dengan tatapan ragu, "Non percaya kalau mamang yang bawa mobilnya?"

Gue tersenyum tulus. "Gimana, mamang mau?" mang Jaja segera mengangguk. "Yaudah, Koci siap-siap dulu, ya"

Gue kembali ke kamar dan segera mandi. Gue memilih untuk mengenakan baju dan celana panjang berwarna hitan serta pasmina sewarna. Setelah siap, gue melangkah keluar kamar dan melihat ruang santai dimana berjejer foto-foto kami sekeluarga. Gue tersenyum sedih melihat foto keluarga yang diambil beberapa hari lalu, sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa mama dan papa. Gue merasa batu rindu menyiksa hati, gue rindu mama dan papa.

Gue kembali dan berpamitan dengan mama dan mbok Sum. Mang Jaja sudah duduk rapi dibalik kemudi mobil di halaman rumah. Gue langung duduk dikursi belakang, tepat dibelakang mang Jaja.

Sepanjang perjalanan, mang Jaja tampaknya khawatir dan cemas, terlihat dari gerakannya yang selalu mengintip ke kursi belakang lewat spion. Gue hanya duduk dalam diam, pandangan lurus pada jalanan yang tak benar-benar gue perhatikan. Pikiran gue berkelana jauh. Tatapan gue mungkin terlihat sendu.

Sesungguhnya gue tahu bahwa mang Jaja masih sedih dan merasa sangat bersalah atas kejadian lalu namun gue berusaha berbesar hati untuk memaafkannya. Gue tahu ini takdir, seperti yang pernah papa katakan. Ini bukan salahnya. Ia hanyalah perantara garisan Tuhan. Gue sudah mengenalnya sejak kecil, kehilangan kedua orangtua sudah sangat menyakitkan, gue gak ingin kehilangan orang lain lagi. Tidak dengan mang Jaja yang mengundurkan diri.

Tiba di pemakaman, gue turun dari mobil, di ikuti mang Jaja.

"Mamang tunggu disini saja, ya. Kalau boleh, Koci butuh waktu sendiri"

"Tapi non--"

"Koci baik-baik saja, kok" potong gue cepat

Mang Jaja akhirnya mengangguk dan membiarkan gue berjalan sendiri ke makam mama dan papa yang masih basah. Sedangkan mang Jaja hanya berdiri disisi mobil, mengamati gue dari jauh.

Gue melangkahkan kaki perlahan diantara banyak gundukan tanah menuju dua gundukan tanah yang masih basah. Tiba ditujuan, gue duduk diantara dua gundukan tanah dimana dua orang yang sangat gue sayang berbaring dalam ketenangan bersama kesepian. Gue menatap dua papan nisan dihadapan gue dan menitikkan air mata. Segera gue hapus air mata yang baru menetes dan menaburi bunga diatas dua makam mereka lalu mendoakan mereka, mama papa yang sangat gue sayangi yang sudah tak lagi mampu menemani gue didunia.

"Assalamualaikum, pah, mah. Maaf Koci baru kesini lagi. Koci hanya masih belum siap melanjutkan hidup tanpa kalian. Tapi Koci sadar, masih banyak orang yang sayang dan support Koci untuk tetap bangkit. Koci juga berterima kasih karena papa dan mama telah mempertemukan Koci dengan Atha yang bisa menjaga Koci. Tapi.. Koci masih butuh kalian"

Gue menangis dengan kepala tertunduk diantara makam papa dan mama. Gue menangis tersedu-sedu, terlalu merasa kehilangan. Gue masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Gue masih butuh limpahan kasih sayang mereka. Gue terlalu menyayangi mereka hingga rasanya hampa hidup tanpa sosok mereka disisi gue. Gue merasa tak sanggup. Gue menangis terus dan terus tanpa kenal waktu.

***

Mang Jaja gelisah saat menyadari majikannya tak kunjung kembali dalam waktu yang cukup lama. Ia takut terjadi sesuatu pada sang majikan. Akhirnya ia menyusul sang majikan ke makam dan kaget ketika menemukan sang majikan telah tersungkur ditanah dalam keadaan pingsan. Ia segera membopong tubuh majikannya ke mobil dan membawanya pulang.

Tiba didepan rumah, mobilnya berpapasan dengan mobil Atha. Tanpa permisi, ia menyerobot masuk ke halaman. Atha memarkirkan mobilnya dibelakang mobil yang dibawa mang Jaja dan bingung melihat mang Jaja yang terlihat terburu-buru turun lalu membuka pintu belakang.

Mata Atha melotot dan segenap perasaan cemas menggerogotinya saat melihat tubuh lunglai istrinya dalam gendongan mang Jaja.

"Koci!" pekiknya. "Koci kenapa, mang?"

Ia segera mengambil alih Koci dalam gendongannya. "Non Koci tadi pingsan di makam, den"

Atha tampak kaget namun segera sadar, berjalan cepat ia membawa istrinya masuk ke dalam rumah.

Atha segera membaringkan tubuh Koci diatas tempat tidur, tak menggubris kecemasan mamanya dan mbok Sum. Segera ia dekatkan minyak angin ke hidung istrinya agar sadar.

"Koci kenapa, Tha?"

Atha menggeleng, "Kata mang Jaja, Koci pingsan di makam"

"Astagfirullah.. pasti Koci masih terlalu sedih"

Atha menatap mamanya dengan menahan emosi. "Kenapa mama gak temenin dia?" tanyanya setengah frustasi

"Dia gak mau, Tha"

Atha menjambak rambutnya, kesal pada diri sendiri. "Kenapa gak hubungi Atha?"

Mamanya membelai punggungnya. "Dia mau sendirian, Tha. Mungkin dia juga lemas karena belum makan"

Atha memandang wajah istrinya yang tampak pucat dan lemah. Ia merasa bahwa Koci terlihat lebih kurus dalam beberapa hari ini. Pasti ia menahan beban batinnya sendiri. Atha menarik nafas perlahan dan menatap mamanya, seolah mengatakan 'apa yang harus ia lakukan?'

TOK.. TOK.. TOK..

Atha dan sang mama menoleh ke pintu. "Masuk" jawab sang mama

Masuk mang Jaja dan mbok Sum yang membawa tiga gelas teh hangat di nampan.

"Kami bawakan teh hangat, den, nyonya"

Mama Atha tersenyum, "Makasih, mbok, mang"

"Non Koci pasti masih sedih, den. Non Koci soalnya ndak pernah sakit begini" ujar mbok Sum

"Non Koci sebenarnya adalah gadis kuat dan ceria" tambah mang Jaja. "Namun ini pasti pukulan yang sangat berat untuknya. Ini semua salah saya"

"Koci bilang ini bukan salah mang Jaja, kan? Kalau gitu mang Jaja jangan menyalahkan diri sendiri lagi" ujar Atha pelan

"Mungkin ini Takdir tuhan" tambah mamanya

"Pukulan terberat juga bagi non Koci, mengingat orangtuanya gak akan menjadi saksinya beranjak dewasa. Terutama saat ia menginjak usianya yang ke-17 besok"

Atha dan mamanya tersentak dan sontak menoleh pada mbok Sum. "Kapan Koci ulang tahun?" tanya Atha cepat

"Hari Rabu. Tepat tanggal 9"

Atha berdecak kesal, "Ulang tahun istri sendiri saja Atha gak tahu. Suami macam apa Atha ini, mah" pekiknya kesal

"Itu dua hari sebelum mama ulang tahun kan, Tha?" Atha mengangguk. "Gimana kalau dirayain bareng mama saja. Hari Sabtu malam dirumah mama?"

Ketiga orang lainnya pun mengangguk setuju dan mempersiapkan diri untuk acara tersebut.

***

Gue terbangun dengan perasaan hampa dan bingung. Mata gue menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Perlahan gue mengenali ruangan tempat gue berada adalah kamar gue yang berada dirumah orangtua gue. Gue menarik nafas pelan dan duduk dengan kepala agak pusing. Ruangan terasa sunyi. Hanya terdengar satu suara, yaitu suara ketikan keyboard komputer. Gue menoleh ke kanan dan melihat sosok Atha yang sedang duduk di sofa dengan memangku laptop dan pandangannya fokus ke arah layar. Apa yang sedang Atha lakukan?

Gue perlahan turun dan menghampiri Atha yang duduk dengan kaki bersila dan kening berkerut. Tangannya menari dengan indah diatas keyboard. Ia mengenakan kaos biru dan jeans selutut, terlihat santai dan maskulin. Gue mengambil duduk disebelah Atha, membuatnya menoleh.

"Koci?" panggilnya dengan mata melebar

Koci tersenyum padanya, "Lagi ngapain, Tha?"

Atha memijat pelipisnya dan memeriksa keadaan gue. "Kerjaan kantor. Lo gapapa? Pusing? Mau makan? Atau minum?"

Gue terkekeh, "Pertanyaan lo banyak banget. Gue bingung" Gue melirik laptopnya. "Lo balik kerja lagi?"

Atha mengangguk. "Well, bokap gak 100% aktif dikantor. Jadi sebisa mungkin gue gantiin tugas dia. Ohya, lo makan ya. Belum makan dari pagi, kan"

Gue tersenyum dan mengangguk. Kami turun untuk makan malam bersama dengan yang lain. Mama belum pulang, bahkan kini ada papa Atha yang ikut bergabung. Gue merasa rumah terasa ramai lagi, senang rasanya melihat semua berkumpul, walau tanpa mama dan papa.

Kami menghabiskan waktu makan malam sambil berbincang ringan seputar kegiatan kami esok hari. Kami juga menceritakan perihal yang kami lalui hari ini. Atha tak banyak membicarakan perihal Mika, kecuali ditanya oleh mama.

"Tidur, Koc"

Atha menutup pintu kamar dan mematikan lampu. Kami bergiliran ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur. Setelah selesai, Atha kembali duduk disofa dan berkutat dengan laptopnya. Gue mengernyit menatapnya.

"Gak tidur, Tha?"

Atha mendongak dan menatap gue. "Nanti. Duluan saja"

"Kenapa lagi? Lanjutin besok saja"

"Lo tidur duluan saja, Koc. Gua selesein ini dulu buat meeting besok siang, jadi gak bisa ditunda"

Gue turun dari tempat tidur dan menghampirinya--duduk disebelahnya. Atha terlihar gusar melihat keberadaan gue.

"Gue bantu?"

Atha menaikkan sebelah alisnya, "Emang bisa?"

"Dicoba. Tapi tidur dulu, besok pagi-pagi gue bantuin"

Atha menatap gue dengan sorot tak tega. Please deh, Tha! Gue cuma cemas saja kalau dia harus begadang demi tugas kantornya dan jadi kurang sehat nantinya. Wajar kan gue khawatir sebagai istri? Ya, karena gue sayang dan peduli padanya. Atha menyerah. Dimatikannya laptop dan ia membimbing gue kembali ke kasur untuk tidur. Well, sleep tight, dear.

***

No comments:

Post a Comment