Thursday, January 15, 2015

The Matchmaking part2

Sreeekkk..! Terasa sinar mentari pagi menyorot gue di pagi hari ini. Omaigat, siapa pelakunya? Ini weekend dan masih pagi sekali. Gue menggeliat dan merasa terhalangi. Gue menoleh dan melihat wajah Atha berada sangat dekat dengan wajah gue.

"Astaga, romantis sekali anak kita ya"

Gue menoleh ketika mendengar suara dan menemukan orangtua kami disini. Whaatt??? Apa yang mereka lakukan disini? Dan apa tadi katanya? Oh God, posisi tidur kami!

"Ternyata sudah mulai tumbuh perasaan ya mereka"

"Seneng ya, jeng, lihat mereka"

"Sudah bangun Koci sayang? Bangunkan suamimu juga, nak" pinta mama Atha

Gue mengguncang tubuh Atha, "Tha"

"Mmmm.." gumamnya

"Bangun Tha, cepat. Kami mau bicara" paksa papa Atha

Atha membuka mata dan tersenyum menatap gue namun wajahnya langsung tampak sebal menatap keberadaan orangtua kami di kamar kami. Ini tempat privasi loh, kenapa mereka bisa ada disini? Ya, pasti ada kunci cadangan tentunya.

"Ada apa?" tanya Atha agak sebal

Gue menyenggolnya, "Yang sopan, Tha" desis gue

"Kami mau bicara dengan kalian. Cepat kalian turun" ujar papa

Mereka mulai beranjak keluar satu persatu, "Jangan lupa mandi dulu" ujar mama mengingatkan

Kami saling tatap lalu mengernyit, tapi orangtua kami sudah menghilang di balik pintu. Apa-apaan ini? Ini weekend pertama kami setelah seminggu sekolah dan kenapa kami harus bangun pagi? I'm so tired.. gue menghela napas pendek dan beranjak duduk.

Hal yang membuatku bingung adalah mama dan papa seharusnya sedang dinas di Padang, kan? Atau mereka bohong?

"Lo mandi di kamar nyokap gapapa, kan? Biar cepet"

Gue mengangguk dan melihat Atha berdiri, "Eh, Tha" panggil gue. Ia menoleh dan mengangkat alisnya, "Kok gue bangun ada di dekapan lo?"

"Emang gak boleh?"

"Ya bukan gitu. Tapi kan semalem kita tidur dengan posisi sewajarnya"

"Emang tidur pelukan adalah posisi yang gak wajar?" gue mengusap wajah dengan gusar namun dia langsung melanjutkan kata-katanya. "Gua yang peluk lo. Habis semalam tidur lo kayak gelisah. Gak tega gua lihat lo tidur gelisah semalam"

Gue tersenyum, "Makasih. Yaudah sana mandi!"

Dia terkekeh pelan dan masuk ke kamar mandi. Gue mengambil pakaian serta handuk dan hendak beranjak keluar kamar saat Atha memanggil dan meminta ambilkan handuk dan pakaiannya. Huuuuhhh.. suami gue ini hobi banget mandi gak bawa perlengkapannya!

Setelah selesai mandi, gue kembali ke kamar dan menemukan Atha sedang mengenakan kaosnya. Gue tak mengacuhkannya, hanya melirik sedikit, dan meletakkan pakaian kotor gue di tempatnya. Kemudian gue menyisir dan berkaca lalu menyemprotkan parfum.

"Ayo, Tha" ajak gue

Dia juga menyemprotkan parfum dan ikut turun ke bawah bersama gue. Kami sudah segar!

Kami melangkah ke meja makan dan menemukannya kosong. Loh, pada kemana? Ini masih pagi, bukankah bisa mengobrol sambil sarapan? Makanan pun tak terlihat satu pun disana. Apa mbok Sum gak masak pagi?

"Mbok Sum gak masak?"

Gue mengedikkan bahu, "Gatau"

Kami melanjutkan langkah ke ruang keluarga dan menemukan orang tua kami sedang duduk di sana, termasuk mbok Sum. Gue melirik Atha yang mengernyit melihat keberadaan mereka yang duduk rapi disana sambil berbincang pelan.

"Nah, ini dia pasangan yang di tunggu-tunggu" ujar nyokap

"Ayo duduk dulu, kami mau bicara" sambung papa Atha

Kami duduk di antara mereka yang duduk berhadapan. Kami hanya duduk berdua di sofa dengan seluruh pandangan mata memandang lurus ke arah kami, membuat kami merasa benar-benar gugup. Gue merasa menjadi tersangka yang sedang di sidang. Menegangkan.

"Kami ingin memberi tahu kalian suatu hal" ujar bokap

"Apa?" tanya Atha pelan namun terkesan tegas

"Kalian sudah tahu dengan jelas peraturan yang kami tentukan untuk kalian dan jangka waktunya" kami mengangguk bersama. "Tapi kalian belum tahu, kan, alasan kami menikahkan kalian?"

Gue merasa jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya. Gue benar-benar tak siap mendengar alasan yang selama ini gue abaikan. Gue gak mau mendengar alasan yang nantinya bisa menimbulkan kecanggungan baru diantara kami. Gue bener-bener gak siap sekarang. Gue menundukkan wajah dan menarik napas pendek-pendek. Tangan Atha terulur dan menggenggam tangan gue. Gue ikut menggenggam tangannya namun gue gak sanggup menatapnya.

"Alasan kami adalah karena kami mengira kalian cocok" ujar bokap mengawali

"Dan kalian bisa saling menjaga satu sama lain juga saling membantu" tambah mama Atha

"Karena kami sebagai orangtua kalian juga saling mengenal baik" tambah papa Atha

"Dan kami percaya bahwa Atha mampu menjadi imam yang baik untuk Koci" sambung nyokap

Gue menahan napas sejenak. Apa sudah selesai? Apa tidak ada alasan-alasan lainnya? Berikutnya? Kenapa suasana hening? Gue masih belum berani mendongak karena masih harap-harap cemas. Kenapa gue belum mendengar alasan merger bisnis? Tangan Atha tak lagi menggenggam tangan gue sekuat sebelumnya. Hal itu membuat gue semakin merasa cemas.

"Enough? Apa hanya karena hal tidak penting yang kami berterima kasih karenanya membuat kami dibangunkan pagi-pagi buta seperti ini?" tanya Atha sinis

"Atha, yang sopan, nak" tegur mamanya

"Sebenarnya kami memiliki sesuatu untuk kalian. Dan kami ingin kalian ikut kami sekarang" sambung bokap

"Atha bisa naik mobil berdua Koci" sambung papa Atha

Gue dengar langkah mereka yang mulai menjauhi tempat gue berada. Gue menghela napas perlahan namun dada gue terasa sedikit sesak entah karena apa. Enggan berlama-lama, gue beranjak berdiri namun tangan gue kembali ditarik turun oleh Atha untuk duduk.

"Lo kenapa?"

Gue menoleh dan menatapnya lalu menggeleng, "Hm, enggak"

"Jangan bohong"

"Beneran"

Matanya terlihat menyipit, "Lo diem banget daritadi"

Gue kembali berdiri dan menariknya juga, "Ayo, kita ditungguin loh"

Dengan gerakan malas dia mengikuti gue dan berjalan bersisian ke mobil. Orangtua kami telah duduk siap dalam satu mobil yang sama bersama mbok Sum dan mang Jaja. Kami tak mengacuhkannya dan masuk ke mobil milik Atha sendiri. Tak lama kemudian, mobil yang dibawa mang Jaja melaju untuk memimpin.

Dalam mobil, Atha menyetir dengan fokus dan gue hanya memandang jalanan di sebelah gue. Perasaan gue bisa lebih tenang dari sebelumnya memang, tapi gue masih belum mendapatkan tanggapan pasti dari Atha. Gue pun yakin Atha masih belum mampu mengucapkan kata sayang pada gue untuk saat ini, tapi.. itulah yang gue harapkan.

Kami mulai memasuki sebuah perumahan yang sangat asri dan tampak nyaman. Banyak rumah-rumah dengan ukuran minimalis dengan gaya klasik, elegan dan sederhana. Gue mengamati sekitar dengan senyuman. Gue suka tempat ini, rumah siapa yang akan kami kunjungi pagi-pagi seperti ini? Mungkin lokasi ini akan gue jadikan rekomendasi untuk membeli rumah.

"Asri ya, Koc?"

Gue menoleh menatapnya dan mengangguk setuju, "Banget! Bagus kan, Tha?"

Atha mengangguk dan tersenyum. Kami melewati danau berukuran kecil di depan sana dan kini kami melewati arena jogging yang sangat asri. Berikutnya kami melewati sebuah kolam renang yang sangat luas yang sepertinya adalah pusat objek disini. Dan terakhir, ada sebuah taman bermain sebelum kami berbelok ke sebuah blok dan mobil di depan kami memasuki halaman sebuah rumah bergaya klasik.

Kami ikut parkir di depan halaman minimalis milik rumah itu dan turun bersamaan. Gue mengagumi bentuk rumah minimalis ini. Sumpah demi semuanya, gue suka bahkan jatuh cinta banget sama rumah ini. Gue harus nabung buat rumah kayak gini!

"Koci, Atha, ayo masuk" ajak mama Atha

Kami melangkahkan kaki masuk dan suasananya sangat terasa hangat, "Ini rumah siapa, mah?"

Tiba-tiba mereka tersenyum dan DOORR..!! Sebuah kain tampak turun menjuntai dan melebar, menampakkan sebuah tulisan besar yang meriah. 'WELCOME TO ATHA&KOCI'S NEW HOME'

Gue mengerjapkan mata berkali-kali dan masih merasa tak percaya atas apa yang gue lihat di hadapan gue saat ini. Apa ini? Apa maksud tulisan ini? Apa maksud senyuman mereka? Apa yang mereka rencanakan. What is going on??!

"Aw.." rintih gue pelan setelah mencubit tangan gue sendiri

"Kenapa?" tanya Atha

Gue menggeleng dan menatapnya, sinar matanya tampak bingung dan kaget. Gue mengalihkan pandangan ke arah orangtua kami yang masih setia dengan senyuman mereka yang membuat gue merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Ini kejutan dan hadiah dari kami" ujar papa Atha

"Untuk kalian" tambah mama Atha

"Buat kita?" tanya Atha

"Ya. Kami harap, kalian menyukainya" sambung nyokap

Gue tersenyum dan menghambur memeluk mereka semua bergantian dan terakhir, gue peluk mama erat sekali. I thank a lot for this, but I'm speechless so I just hug them with all my heart. Gue lirik Atha yang mulai tersenyum tipis.

"Makasih semua. Kita gak nyangka bakal dikasih hadiah seindah ini" ujar Atha

"Sama-sama, nak. Walau mama tahu, kamu ingin punya rumah atas jeri payahmu sendiri, tapi terimalah dengan senang hati rumah ini" sahut mamanya

Atha tersenyum, "Hanya ini yang bisa kami berikan untuk kalian" tambah nyokap

Gue tersenyum dan mengecup pipi kedua nyokap gue, "Makasih banyak, mah"

Nyokap mengecup kening gue lembut, "Anak mama sudah besar ya"

"Kami percaya kalian bisa menaati peraturan yang ada sekalipun kalian hanya tinggal berdua" ujar bokap

"Kenapa kamar kami gak di pisah saja kalau emang takut?" tanya Atha santai yang mampu membuat gue seketika membeku

Mata bokap dan papanya menyipit menatapnya, "Hal itu lebih beresiko. Kenapa kamu tanya begitu, nak?" tanya papanya sengit

"Gapapa"

"Yasudah. Barang kalian akan di antar siang ini, sementara pergunakan dulu barang-barang yang tersedia disini" ujar papa Atha

"Kami pamit dulu. Silahkan menikmati rumah baru kalian" pamit mama Atha

Mbok Sum menghampiri gue dan memeluk gue erat, "Non Koci, ini mbok bawakan sarapan buat, non sama aden" ia memberikan kotak bekal pada gue dan gue terima dengan senyuman. "Maaf ya, non, si mbok gak boleh ikut non kesini. Non jaga diri baik-baik ya. sering-sering mampir ke rumah. Jangan lupa harus mulai bangun lebih pagi buat bikin sarapan"

Gue mengangguk tegas, "Iya, mbok. Makasih banyak ya. Mbok juga mampir kesini ya"

"Pasti, non, si mbok pamit ya" gue mengangguk dan mengantarnya sampai ke depan. "Den, si mbok titip non Koci ya"

Atha tersenyum tipis dan mengangguk, "Pasti, mbok"

Mbok Sum mengangguk dan segera masuk ke mobil, menyusul yang lain yang telah siap di dalam. Setelah siap semua, mobil keluar dan melaju menjauhi rumah baru ini. Well, ini rumah baru gue dan Atha. Atha masuk ke mobil untuk memindahkan mobilnya ke parkiran rumah.

"Tadi mbok bawain apa?" tanya Atha begitu kami memasuki rumah

"Sarapan" jawab gue polos

"Tau, Koc. Menunya apa?"

Gue mengedikkan bahu, "Tapi biasanya kalau weekend, mbok Sum masak makanan berat"

Kami pun duduk di meja makan dan membuka kotak dari mbok Sum dan melihat menunya dengan tersenyum. "Nasi goreng, mau?"

Atha mengangguk. Gue hendak berdiri namun tangannya menahan gue, "Mau kemana?"

"Ambil piring sama sendok"

"Ngapain? Makan langsung disini saja. Ada sendoknya"

Gue hanya mengangguk dan kembali duduk. Memang kotak bekal ini memiliki sendok pasangannya namun hanya satu dan satu lagi adalah garpu. Atha telah memegang sendoknya, dan gue hanya mampu menatap garpunya. Gue gak tau kalau bisa makan dengan garpu.

Atha mulai melahap isi kotak bekal dengan lahap dan meminum susu di botol minum. Gue masih diam menatapnya lalu mulai meraih garpu. Gue mulai sendokkan sedikit nasi goreng dengan garpu dan membawa beberapa butir nasi ke mulut. Tidak terasa seperti makan.

Gue mengunyah pelan dan meminum sedikit susunya. Kemudian gue lihat ada sebuah gundukan nasi tepat di depan mulut gue. Gue melihat Atha-lah yang mengulurkan sendoknya. Gue menatapnya dan melihatnya yang sedang menatap gue dengan desakan untuk segera melahap isi sendoknya. Gue membuka mulut dan melahap nasi yang diulurkannya. Dia pun tersenyum. Seterusnya pun begitu, Atha menyuapi gue. Katanya; gantian.

Setelah selesai, gue mengangkat semuanya dan mencucinya di dapur. Sedangkan Atha masih setia duduk di meja makan dan terlihat sibuk dengan ponselnya.

"Koc" panggilnya

"Hm?" gumam gue

"Periksa rumah dulu yuk. Mau bagi tugas atau bareng?"

Gue menjulurkan kepala untuk menatapnya dari dapur, "Terserah. Enaknya gimana?"

"Bagi tugas saja ya. Lo bawah, gua atas ya"

"Oke!"

Gue mendengar langkahnya menjauh dan menaiki tangga kayu kami. Setelah selesai mencuci piring, gue langsung mengerjakan tugas gue yang dibaginya tadi. Gue keliling rumah ini, khusus lantai bawah. Ada ruang tamu, ruang makan, toilet, dapur, ruang cuci, taman kecil di depan dan di belakang yang lebih luas, ada kolam ikan yang berada di bawah lantai kayu di belakang.

"Koc" panggil Atha

"Ya"

"Dimana?" tanyanya

"Belakang"

Tak lama kemudian muncul Atha dari pintu ruang makan. Dia menghampiri gue dan langsung tersenyum ketika menemukan kolam ini. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Sangat gembiranyakah dia melihat kolam. Didepan kolam juga ada taman berumput hijau segar dan pohon-pohon berukuran sedang.

"Asri banget" pujinya

"Emang. Ada kolamnya juga. Tapi belum ada ikannya"

Atha menoleh, "Ada apa saja di bawah?"

"Ruang tamu, ruang makan, toilet, dapur, ruang cuci, taman kecil di depan dan di belakang, dan kolam ikan"

"Semua barangnya lengkap?"

"Cukup lengkap, menurut gue. Gimana di atas?"

"Ada dua kamar, yang satu siap di pakai dan satu lagi kosong. Ruang santai. Bathroom. Balkon yang menghadap ke jalanan di depan, yang nyambung dengan kamar"

"Lengkap?"

Dia mengangguk, "Termasuk sebagian pakaian kita"

"Wow!"

Atha mengambil posisi duduk di sebelah gue dan menarik napas dengan udara yang segar ini, "Masih pagi, enaknya ngapain ya?"

"Gimana kalau beli ikan?"

"Ikan? Lo laper? Atau menu siang ini ikan?"

Gue berdecak, "Ikan hidup, Tha. Ikan hias buat kolam"

"Oh iya! Bener tuh"

"Tapi kita hubungin orang rumah dulu. Kan mereka mau antar barang-barang kita"

Atha berdiri dan menarik tangan gue untuk berdiri, "Urusan gampang. Ayo!"

Memiliki rumah sendiri menjadi tanggung jawab sendiri. Biasanya, pergi bisa tinggal pergi saja. Tapi kali ini kami harus menutup sendiri jendela dan pintu serta memastikan api tidak menyala sebelum pergi. Setelah segalanya selesai, barulah kami siap untuk pergi.

Sepanjang jalan, Atha bercerita cukup banyak. Ternyata ia sangat menyukai hewan peliharaan. Di rumahnya pun ia memiliki kura-kura dan ikan hias di aquarium. Wah, Atha tipe yang penyayang ya pada hewan. Tiba-tiba batin gue bertanya, apa dia juga tipe penyayang pada sesama manusia?

Sebenarnya gue juga menyukai hewan, kucing dan kelinci tepatnya. Gue pernah memiliki kelinci yang gue rawat sejak kecil saat gue masih kecil dulu dan karena kami harus pindah rumah, kelinci gue mati karena perbedaan suhu udara. Rasanya sedih sekali. Gue sempat mogok makan karena merasa sedih. Karenanya, orangtua gue melarang gue untuk memelihara hewan lagi.

Kami tiba di toko ikan hias. Banyak sekali beraneka ragam bentuk dan ukuran serta warna ikan disini. Gue melihat-lihat ikan-ikan yang berenang di aquarium yang gue lewati. Atha sendiri hanya melihat sekilas dan terus berjalan ke depan, sementara gue mengekori.

Atha berbicara dengan salah satu pegawai toko dan gue sibuk berkeliaran melihat-lihat aneka ragam ikan hias ini yang lucu. Betapa luar biasa anugerah dan ciptaan Tuhan ini. Gue tersenyum puas dan kembali menjelajah.

"Koc" panggil Atha

Gue menoleh, "Ya?"

"Sini bentar" gue segera menghampirinya dan membiarkannya menjulurkan sebuah plastik berisi ikan pada gue. "Koi saja ya?"

"Hah?" tanya gue bingung

"Ikan koi saja ya. Gua bingung. Gimana? Ada usul?"

Gue menggeleng, "Gue gak ngerti apa-apa tentang ikan. Gue setuju saja"

Atha mengangguk dan kembali berbicara dengan sang pegawai toko. Gue tak beranjak dari sisi Atha namun mata gue kembali berkeliaran. Kami berdiri tak jauh dari pintu masuk. Dari sini mata gue menangkap sebuah toko yang di depannya terdapat banyak kandang berisi hewan-hewan.

"Tha" panggil gue. Ia menoleh dan mengangkat alisnya, bertanya tanpa suara. "Gue kesana dulu ya" tunjuk gue ke toko yang tadi gue lihat

Atha hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan sang pegawai sedangkan gue dengan riang berjalan menuju toko tersebut. Setibanya, gue melihat isi kandang tersebut adalah kucing anggora dengan bulu yang sangat tebal. Gue meminta izin kepada sang penjual untuk menggendong kucing itu. Astaga, I love cat very much!

Terlalu terlena melihat-lihat isi toko dan bermain singkat dengan para kucing dan beberapa kelinci, gue lupa waktu dan tak menyadari keberadaan Atha di sebelah gue sampai gue berbalik dan menabraknya.

"Eh, sorry" gue mendongak dan terkaget. Atha. "Eh, Tha"

"Lama banget"

"Sorry"

Atha melongokkan sedikit kepalanya ke belakang gue dan kembali menatap gue, "Lo suka kucing?" gue hanya mengangguk polos. "Mau beli?" gue menggeleng. "Kenapa? Katanya suka?"

"Nyokap gak ngijinin"

Dia menatap gue dengan kening berkerut, "Kenapa?"

"Ya gitu deh. Udah selesai beli ikannya? Yaudah yuk balik" ajak gue langsung

Tanpa menunggu jawaban dari Atha, gue tarik dia segera ke mobil. Jangan sampai gue gak mau pulang karena terlalu betah main sama kucing-kucing itu. Jadi, menghindar sebelum terlambat bagi gue.

Dalam perjalanan pulang, gue hanya diam. Sesekali menyibukkan diri dengan menatap ikan yang dibeli Atha dalam jumlah banyak. Gue kepengen banget punya kucing, tapi gak boleh.

Tiba di rumah, kami langsung melepaskan ikan-ikan yang kami beli ke kolam. Rasanya seperti ada yang menemani ya. Atha langsung memberikan makanan peliharaan barunya. Huuuhhh.. peliharaan baru milik Atha, milik gue mana? Gue hanya mampu memperhatikan Atha yang tampak senang.

Setelahnya gue beranjak ke dapur dan menatap isi kulkas dan lemari. Tidak ada bahan makanan sama sekali, hanya ada barang-barang yang lengkap, tapi tidak ada bahan makanan yang bisa di makan. Gue kembali melangkah ke taman belakang dan mencolek Atha.

"Hm?"

"Udah siang"

"Terus?"

"Gak ada bahan makanan. Mau makan apa? Biar delivery dulu ya"

Atha menoleh dan beranjak berdiri, "Sama sekali gak ada?" gue menjawabnya dengan menggeleng. "Yaudah, kita beli bahan makanan dulu deh. Gak bisa kita terus-terusan makan delivery kali" gue mengangguk membenarkan. "Yaudah yuk" ajaknya

Gue kembali mengangguk dan kami kembali pergi. Kembali kami menutup segala pintu dan jendela dan sekali lagi memastikan listrik dan api dalam kondisi aman. Barulah kami bisa tenang untuk meninggalkan rumah.

Jam sudah menunjukkan waktu makan siang dan kami mengurungkan niat untuk lebih dulu berbelanja, akhirnya kami bertujuan untuk mengisi perut kami terlebih dulu. Kami memilih salah satu restoran Jepang di dalam supermarket ini. Well, resto ini adalah pilihan Atha.

Kami diberikan menunya. Gue hanya mampu melihatnya tanpa memiliki minat. Gue tidak menyukai sushi, karena terakhir kali gue coba terasa dan terlihat menggelikan, menjijikkan, dan malah membuat gue enggan menelannya ke pencernaan.

"Pesen apa, Koc?" tanyanya setelah memesan

Gue meliriknya dan kembali menatap menu, "Hum gue pesen orange juice saja"

"Loh, gak makan?"

Gue terdiam sejenak dan menggeleng, "Gak terlalu laper kok"

Atha kembali berbicara kepada sang pelayan dan menutup buku menu setelah sang pelayan pergi. Kemudian dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap gue yang duduk di hadapannya. Gue yang sedang menatap buku menu pun menoleh padanya. Ada apa?

"Kenapa?" tanya gue polos

Matanya menyipit menatap gue, "Kenapa gak makan?"

"Hum.. gapapa"

"Bohong. Gak suka?" gue terdiam dan memanyunkan bibir. "Ahaa..! Bener kan lo gak suka. Kenapa gak bilang dari awal?"

"Humm gapapa kok"

"Yaudah, lo mau makan apa? Nanti kita beli"

Gue segera menggeleng, "Eh gak usah. Beneran gak laper banget"

"Gak bisa. Pesen yang lain saja. Takoyaki? Baby octopus? Ramen?"

"Yang enak, tapi mateng mana?"

Ia tersenyum samar, "Semua yang gua kasih tau tadi. Mau pesen semua?"

Aku melebarkan mata dan memesan salah satunya. Butuh waktu sekitar 10-15 menit untuk menunggu makanan tiba dan saat sudah tersaji, aku mengintip, baby octopus. Tampak seperti sosis yang digoreng dengan dibentuk seperti bunga lalu disiram saos dan ditaburi biji wijen. Enak.

Kami pun pergi ke swalayan. Atha bertugas mendorong trolley sedangkan tugas gue adalah memilih bahan makanan apa saja yang harus dibeli. Well, ini makanan untuk kami dan Atha yang harus bayar, gue gak tega ambil banyak. Lebih baik ambil porsi kecil saja.

Gue selalu menanyakan padanya diantara pilihan-pilihan atau apa sajakah barang lainnya yang dia inginkan agar tidak terjadi kesalahan. Namun disetiap pertanyaan gue, selalu diselipkan peringatan darinya; ini terakhir kalinya ia memilih, next time semuanya terserah pada gue.

Setelah selesai, Atha membayar semuanya dengan debit card-nya. Gue jadi merasa tak enak hati karena barang-barang gue cukup banyak--paksaannya. Kemudian Atha juga yang mendorong trolley menuju parkiran. Sudah gue tawarkan untuk mengambil mobil dan dia menunggu di lobby, tapi ia malah melengos dan terus mendorong trolley ke parkiran.

"Tha, next gue bayar sendiri saja ya" ujar gue saat kami sudah jalan lagi

Atha melirik gue, "Lo gak nangkep apa yang gua bilang tadi ya?"

"Ngerti, tapi kebutuhan gue gak sedikit, Tha. Selama ini selalu papa kasih uang saku kok dan itu cukup"

Ketika lampu merah, ia benar-benar menoleh dan menatap gue lekat. "Lo anggep gua apa sih?" gue terdiam atas pertanyaannya. Apa ya? "Gua ini suami lo. Bukan hanya status semata, Koc"

"Sorry.. gue cuma belum terbiasa"

Dia mengusap kepala gue pelan, "Mulai biasain, Koc. Gua juga sambil belajar kok. Bisa karena terbiasa"

Bisa karena terbiasa. Ya, dia benar. "Thanks, Tha. Lo bener. Dan mbok Sum juga bener kalau lo insyaAllah adalah imam yang baik"

Ia tersenyum, "Amin. Gua janji, gua bakal terus belajar untuk jadi yang terbaik buat lo, apapun yang terjadi"

Gue tersenyum sedih. Ya sedih, it is like flashback. "Gue gak butuh janji, Tha. Don't promise me anything"

"Why?"

Gue menggeleng, "Udah ijo tuh, jalan"

Dia kembali menatap ke depan dan melajukan mobil sebelum di klakson oleh mobil-mobil di belakang. Gue sendiri jadi diam, dia malah melirik gue terus-menerus. Don't promise me anything, I don't want tohear any promise from anyone, cause I hate promises.

***

"Tha"

Dia bergumam dan menggeliat namun enggan membuka matanya. Gue terus membangunkannya. Ini sudah jam 7 kurang dan dia belum sholat maghrib, waktunya hampir habis. Gue terus membangunkannya hingga ia benar-benar bangun dengan wajah kesal.

"Apa sih?!" bentaknya

Gue menahan sabar, "Sholat dulu, Tha. Udah hampir jam 7"

Atha menggosok matanya, "Humm.." gumamnya kemudian melihat jam dan langsung melompat

Ketika ia melompat, gue langsung menghindar dan duduk di kasur, menatapnya dengan kepala menggeleng. Heran, suami gue ini kok aneh banget. Gue menunggunya, melihatnya sholat dan mendengarnya mendesah lega saat selesai sholat. Namun baru saja ia melipat sajadah, adzan isya berkumandang.

"Hah, sekalian saja" gue tersenyum menatapnya. "Loh lo ngapain diem saja?"

"Loh, emang harusnya ngapain?"

Dia berdecak keras, "Ya ambil wudhu. Sholat berjamaah kita" gue terdiam mendengarnya. "Buruan Koc!"

Gue segera melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu dan berkaca sejenak. Beberapa saat gue merapikan rambut dan kembali bergegas keluar ketika Atha memanggil gue. Atha sedang menggelarkan sajadah untuk gue, membuat gue kembali terdiam, dan lagi ia menyadarkan gue. Gue segera memakai mukena dan berdiri di belakangnya.

Bismillahirrahmanirahim. Ya Allah ya Tuhan kami, malam ini adalah malam pertama dimana hamba sholat berjamaah bersama, dengan suami hamba, Atha, sebagai imam dari hambamu ini. Hamba panjatkan puji dan syukur atas berkatmu ini ya Allah.

Setelah selesai sholat, Atha memanjaatkan doa dengan lantang yang gue sahuti dengan kata 'aamiin'. Setelahnya, kami melipat alat sholat masing-masing dan mengembalikannya ke tempat asalnya. Rasanya hati lebih hangat dan damai.

"Koc" panggilnya

Gue menoleh dan menaikkan alis. "Ya?"

"Lo bisa urus rumah sendirian?"

Gue menatapnya bingung, "Emang kenapa? Kan ada lo yang bantuin"

Ia mendesah keras, "Gua bantuin? Males banget. Kalau kamar gue sendiri sih oke, lah ini satu rumah"

"Ihhh lo nyebelin banget sih"

"Makanya, mau pakai jasa PRT gak?"

Gue berpikir sejenak. Zaman sekarang, gak banyak PRT yang bisa diandalkan dan terpercaya. "Hum kayaknya gak perlu deh, Tha"

"Yakin bisa sendiri?"

"Yaaa gue minta pertolongan lo sedikitlah"

Ia mengangguk, "Sedikit ya"

"Ya kalau tega saja sih. Tapi mungkin seminggu sekali gue minta mbok Sum mampir"

"Nahhh!!! Ide yang luar biasa itu!"

"Tapi seminggu sekali ya, dan sukarela dianya"

Dia mengangguk dan berbaring di kasur. Ia memejamkan mata dan tersenyum. Gue menatapnya bingung dan ikut berbaring. Gue lirik, ia telah memejamkan mata, baiklah, gue juga ikut berbaring karena besok kami masih memiliki sejuta kegiatan yang harus dilakukan. Sleep well, my hubbyy

***

Gue bangun pukul 6 pagi ini. Astagaaa.. pagi sekali, tapi alarm yang gue pasang sudah menjerit-jerit menyuruh gue untuk bangun. Alarm telah dimatikan dan gue masih memandang seisi kamar. Masih gelap dan sunyi. Habis subuh tadi, kami kembali tidur. Gue tak pernah bangun sepagi ini untuk berangkat sekolah namun berhubung gue tak lagi memiliki mbok Sum yang akan memasak dan membersihkan rumah disini, maka kini tugas gue-lah untuk mengerjakannya.

Gue turun untuk bersih-bersih rumah. Baru sebentar, gue sudah merasa lelah. Setelahnya, gue melakukan olahraga ringan agar tubuh tidak terlalu kaku. Kemudian gue memasak--menyiapkan--sarapan untuk gue bawa nanti.

Kembali naik ke atas, gue melihat Atha yang masih terlelap. Gue tak mengacuhkannya dan kembali mengerjakan pekerjaan rumah; mengepel. Tak terasa, lama juga gue bertugas dan melompat kaget begitu melihat jam. Gue kembali ke kamar dan masih melihat Atha yang belum juga bangun.

"Tha, bangun dong!" paksa gue. Atha hanya bergumam pelan. "Jam setengah 8 nih!"

"HAH?!!"

"Lo mandi di luar" teriak gue yang langsung masuk ke kamar mandi

Ia menggedor pintu kamar mandi, "Kenapa lo gak bangunin gua daritadi?!"

Kemudian terdengar suara langkah cepat menjauhi kamar mandi. Tak ada lagi waktu untuk mandi dengan santai. Gue bergerak mandi dengan cepat, beda dengan biasanya. Superduper jorok! Mandi ala koboi.

Menurut gue, Atha sudah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi ditengah kemacetan ibukota namun tetap saja begitu kami tiba, gerbang sekolah telah tertutup rapat. Atha mengumpat dan mengklakson kasar.

Satpam sekolah membuka gerbangnya lalu menghampiri kami. Tanpa bicara, Atha menyerahkan kunci mobilnya dan turun, gue mengikutinya.

"Selamat PAGI, anak-anak" sapa salah seorang guru di meja piket. "Pagi sekali kalian datang ya" Gue menatapnya bingung. Pagi? Early? Yang benar saja, ini jam 9 kurang! "Kalian akan menemui kepala sekolah sekarang. Tetap berdiri disini!"

"Shit!" umpat Atha pelan

Kepala sekolah datang dan menghampiri kami. Dia menatap kami lurus dan tersenyum penuh makna, "Your punishment is--"

"Pak, jangan hukuman dong"

Kepala sekolah menggeleng tegas pada Atha, "Tidak ada pengecualian. Ibu kamu tidak melarang hak saya untuk memberi kamu hukuman" Gue menatap mereka dengan bingung. "Kalian hormat pada bendera. Berdirilah dibawah tiang hingga waktu istirahat"

"WHAT?!!" pekik kami bersamaan

"Jangan sekalipun coba turunkan tangan kalian"

Kami berdecak dan beranjak mengambil posisi. Kepala sekolah kembali ke ruangannya dengan santai begitu melihat kami sudah di posisi yang benar. Tega sekali kepala sekolah ini. Sampai istirahat? Bisa mati gue-_- Bayangkan, masih dengan menggendong tas di punggung, kami harus memberi hormat pada bendera sampai istirahat.

"Besok bangun lebih pagi lagi lo!" gertak Atha

Gue mencibir, "Lo juga salah kali!"

Atha melirik gue tajam, "Eh, malah nyalahin gua lagi"

"Ya salah lo dong. Kenapa lo gak mau bantuin gue, kan kerjaan gue bisa lebih ringan dong" sahut gue sewot

"Loh kan udah gua tawarin jasa PRT, lo saja tuh yang gak mau. Jelas salah lo dong, sok banget. Gengsi lo kegedean sih jadi istri!"

"Heh! Ada juga lo yang harusnya pengertian jadi suami. Gue tuh mikirin keamanan dan budget kali!"

Adu mulut terus berlangsung dengan kepala panas. Mungkin secara tak kasat mata, ada tanduk dan asap yang mengepul diatas kepala kami saking emosinya. Tangan kami sudah tak lagi dalam posisi hormat dan telah berhadapan. Suara kami pun melengking di lapangan yang sepi namun tak menyurutkan emosi kami. Kepala sekolah keluar dari ruangannya dan menarik napas menahan rasa kesalnya.

"Agatha! Kosyara!"

Sontak kami berdua menoleh dan menatap ke satu arah dimana sang kepala sekolah berdiri dengan gusar di koridor sekolah, serta ada beberapa guru yang menyaksikan keributan kami. Beruntung tak ada murid yang ikut menonton, bisa mati kami.

"Back to your punishment! And stop the quarrel!"

Kami mendesis bersamaan--merutuki kebodohan kami--dan kembali menaikkan tangan menghadap ke bendera.

Astaga.. terik sekali matahari pagi ini hingga peluh membanjiri kami. Sepertinya koridor sudah kembali kosong karena suasana sudah kembali sunyi. Kembali kami nikmati hukuman kami dengan hati mendongkol.

Kring..!! Bel istirahat seperti berbunyi nyaring di telinga kami berdua, yang membuat kami mendesah lega, menurunkan tangan dengan wajah penuh peluh keringat. Kepala sekolah muncul kehadapan kami bersama murid-murid yang berhamburan keluar dari kelas.

"Kalian boleh istirahat dan kembali mengikuti pelajaran, tapi kalian coba terlambat sekali lagi, kalian bisa langsung pulang, paham?"

"Paham"

"Saya ingatkan. Jangan melakukan hubungan intim dulu yang malah membuat kalian terlambat seperti ini lagi"

Kepala sekolah berbalik dan pergi meninggalkan kami berdua yang ternganga kaget. Apa yang dikatakan kepala sekolah barusan? Kami berjalan menuju kantin dengan menghentakkan kaki, menahan kesal atas ucapan kepala sekolah barusan. Benar-benar diluar dugaan. Apa yang ada dipikirannya?

"Koci!" pekik suara disebelah gue, dari meja disudut kantin. "Lo darimana--astaga.. lo lecek banget"

Gue mendesis kesal luar biasa karena kesal dan menghampiri meja Rachel. "Rachel! Astaga! I hate punishment!"

Selama waktu istirahat, gue makan dengan sikap geram dan sesekali memandang sinis meja dimana Atha duduk. Rachel yang sudah mengetahui masalah hukuman ini berusaha menenangkan gue.

Terlihat kak Mike memandang ke arah kami sambil berbicara pada Atha. Pasti mereka sedang membicarakan kami. Tak lama kemudian Atha menyudahi makannya dan pergi dari kantin sendiri, meninggalkan sahabatnya tanpa peduli. Kak Mike ikut berdiri dan berjalan ke arah berlawanan, ia berjalan ke arah meja kami.

"Halo cewek. Kayaknya daritadi ada yang matanya kayak elang, ya?" tanya kak Mike santai dan duduk di meja kami

Rachel meringis dan melirik gue. "Kesel sama temen kakak" jawab gue gondok

Kak Mike mengangguk paham, "Baru lihat gua, ada murid yang kesel sama Aga selain guru. Untung saja dia tadi gak peduli. Gua gak tau deh kalau dia peduli bakalan kayak apa"

"Emang kak Agatha kemana, kak?" tanya Rachel

"Entah" jawabnya sambil mengedikkan bahu. "Ke kelas mungkin. Kenapa nanya?" Rachel menggeleng, "Kayaknya lo suka dia, ya?"

Rachel terkikik, "Ya, gitu deh, kak"

Kak Mike hanya mengangguk , "Heran. Hari ini Aga sensi banget. Kalau gini, biasanya yang bisa nenangin cuma satu orang"

Gue mengernyit, "Siapa?" tanya Rachel menyuarakan pikiranku

Kak Mike tersenyum lebar, "Mika. Sahabat kami sejak masa SMP. Bahkan kenal Aga sejak duduk di bangku SD, waktu masih ingusan" dan ia tertawa

"Pasti ganteng juga ya, kak?" timpal Rachel

Kak Mike tertawa terbahak-bahak atas pertanyaan Rachel. Gue masih memperhatikan setiap kata dari keduanya dengan seksama. Kak Mike berusaha mengontrol tawanya dan mulai berhenti perlahan walau masih tampak kegelian. Ada apa?

"Mika itu cantik! Dia cewek. Walau kami gak satu sekolah sejak SMA, tetap saja kami sering jalan bareng. Dia tuh emang udah lengket banget kayak getah sama Aga. Sampai ada yang mengira mereka pacaran, walau gua berdoa gitu. Mikaila dan Agatha"

Gue tertunduk, memikirkan dengan baik pernyataan kak Mike barusan. Kekesalan gue berubah seketika menjadi rasa sedih. Jadi, sepulang sekolah nanti Atha akan pergi menemui sahabatnya yang sangat cocok menjadi pasangannya itu. Yang katanya cantik. Gue bakal balik sendiri deh.

Gue mengajak Rachel kembali ke kelas setelah berpamitan pada kak Mike. Gue merasa bimbang. Tak seharusnya kan gue menjadi istri Atha. Mungkin Atha sebenarnya suka pada Mika? Mikaila.. seperti apa sosok gadis itu? Pasti cantik. Namanya saja sudah layaknya malaikat. Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk.

Agatha ▶ Koc, bisa balik sendiri, kan? Minta jemput mang Jaja saja. Gua mau pergi sama Mike ketemu temen.

Bener kan kata kak Mike, Atha mau ketemu cewek yang namanya Mika itu. Sial.. kenapa gue sebel? Apa gue.. sayang Atha? Apa gue jealous kalau Atha deket sama si Mika? Ya, ya, ya!! Gue ini istri sah-nya Atha, kan. Kalau dia suka sama si Mika itu, kenapa dia terima saja dijodohin sama gue? Tapi.. bukannya Atha terpaksa nerima perjodohan ini? Apa karena Atha suka sama Mika?

Pelajaran seni budaya membuat gue semakin tersiksa. Kami diminta untuk menggambar karikatur dengan sebuah contoh yang ada di slide, luar biasa keren. Tiga orang saling merangkul dengan satu orang cewek ditengah. Cewek itu menjadi pusat perhatian kedua cowok disebelahnya. Itu gambaran persahabatan mereka, kan? Karya Agatha.

Gue menunduk dan memulai menggambar sendiri. Gue tak memperhatikan apa yang sang guru jelaskan lagi. Gue terus mencorengkan pensil gue diatas kertas. Entah akan menghasilkan apa nantinya. Nyatanya, karikatur gue berwujud wajah wanita yang terlihat sangat sedih. Seperti gue-kah?

Sepulang sekolah gue langsung berberes dan siap berdiri. Hari ini gue balik sendiri dan buat apa gue nunggu sampai sekolah kosong? Gue gak masalah kok lihat koridor ramai kalau ujungnya gue bisa marah-marah dirumah, melampiaskan bete gue.

"Loh kok tumben udah rapi? Mau balik sekarang?" Gue tersenyum dan mengangguk.

"Loh, gak nunggu jemputan?" tanya Rachel

Kalau nelfon mang Jaja sekarang kayaknya ngerepotin banget deh. "Enggak, nih"

"Terus lo naik apa?" Gue mengedikkan bahu bingung. Gue benar-benar gatau akan naik apalagi selain taksi. "Bareng gue saja. Mau gak? Tapi naik motor"

Mata gue seketika berbinar, "Boleh?"

Dia mengangguk dan gue tersenyum lebar. Akhirnya! Kami langsung berjalan keluar dan menuju parkiran motor. Gue melirik lokasi dimana mobil Atha sering di parkir dan.. kosong. Secepat itukah Atha pergi? Mungkin selama ini gue terlalu menghalangi kebebasannya dengan keberadaan gue didekatnya?

Dibilang gak pernah naik motor, bohong. Tapi gue merasa beda. Sudah sangat lama sekali sejak gue terakhir kali naik motor dan kini rasanya seperti menyatu dengan sekitar. Gue merasakan panas matahari menyengat kulit langsung. Berbeda dengan Rachel yang mengenakan jaket. Dan pada saat naik untuk duduk diatas motor pun repot sekali mengingat gue memakai rok.

"Ci, nanti malam ikut yuk. Datang ke partynya anak kelas sebelah. Undangannya free guest kok"

Gue berpikir sejenak, "Duh, gue kan gak kenal apalagi tau rumahnya"

"Selow, nanti gue jemput, tapi naik motor lagi gapapa?"

Gue tersenyum, "Pasti seru! Boleh deh. Oh, setelah rumah ini stop ya"

Ia menghentikan motornya dan menoleh ke rumah, "Rumah lo?"

"Hm.. rumah tante"

Rachel mengangguk, "Tinggal sama tante? Jadi gue jemput disini ya?" Gue mengangguk. "Oke, bajunya casual-semi formal saja. Kita naik motor, kan"

"Oke"

"Oke. See ya tonite! We gonna party!" serunya

Rachel pun pergi dan gue masuk ke rumah dengan tersenyum lebar. Ya, gue siang ini pulang ke rumah mama karena gue males sendirian dirumah. Gue membuka pintu dan berteriak memanggil mbok Sum yang langsung datang dari belakang.

"Loh, non Koci kok kesini? Den Atha-nya mana?"

"Atha lagi pergi. Mang Jaja mana ya, mbok?"

"Mo pergi lagi, non?"

"Nanti malam sih, tapi mau ambil baju dulu dirumah"

"Baju opo, non? Kan ono bajunya nyonya"

Gue langsung memeluknya, "Oh iya! Ihh.. aku lupa! Aku sayang banget sama mbok Sum"

"Si mbok juga. Emang non mo kemana?"

Gue melangkah ke kulkas dan mengeluarkan botol minuman dingin, "Mau ke party temen, mbok. Kan udah lama gak ikut party"

"Walah, asik yo, non. Pergi sami den Atha?"

Gue menegak minuman dan menggeleng, "Enggak, nanti temen jemput"

"Yowes. Istirahat dulu toh, non. Makan sekalian yo"

Gue mengangguk dan melangkah ke kamar gue diatas. As always, rumah gue selalu sepi disaat seperti ini dan gue udah biasa terjaga ditemani kesepian, but not in my own home, I really lonely there. Gue pun membanting diri diatas kasur. Haah.. I miss my bedroom. Rasanya letih sangat terasa diatas tempat tidur ini. I love my bed!

***

Gue baru saja selesai meletakkan pita di dress gue dan berkaca. Wow.. wonderful! Untung saja tubuh mama tak jauh beda dengan gue jadi gue tak perlu repot. Gue berkaca sambil tersenyum dan melirik jam. Sebentar lagi Rachel akan datang, tapi.. ini sudah malam dan Atha belum pulang. Oh well, mungkin ia pulang ke rumah kami, tapi dia gak ada kabar. Apa dia masih bersama sahabatnya itu?

"Non, ono temene dibawah" panggil mbok Sum

"Bentar, mbok" sahut gue

Gue menyambar jaket dan turun ke bawah dengan segera. Rachel telah duduk di ruang tamu dan tersenyum melihat gue. Wow, dia tampak cantik dan simple, like me. How it will feel? Let's do it!

Rachel mengeluarkan motornya dari halaman dan gue naik ke boncengannya. Mang Jaja dan mbok Sum yang mengantar keluar, menatap kami khawatir dan sempat menawarkan untuk naik mobil namun kami menolak karena gue ingin merasakan keseruan naik motor dengan dress. Pasti gokil!

Ternyata ini party merayakan hari jadi sebuah pasangan yang ke 6 bulan. Astaga, 6 bulan saja di buat party besar gini? Gokil! Gimana 20 tahun? Gue dan Rachel dengan enjoy menikmati acara ini walaupun gue gak mengenal pada sang owner hajatan. Bukan hanya makanannya yang sangat enak, tapi juga games yang diadakan seru sekali.

Gue menguap dan melirik jam yang gue pakai. Sudah jam 11 ternyata, wajar saja gue sudah mengantuk. Hoaaam.. gue menarik Rachel yang masih berburu makanan dan mengajaknya pulang. Awalnya ia enggan namun mata gue yang sudah sayup-sayup mungkin membuatnya simpati, maka ia pun akhirnya setuju untuk pulang.

Dijalan kami kembali mengobrol, membicarakan tentang party tadi dan tertawa kencang di jalanan yang sudah sepi. Ini terasa aneh dan seru. As this road is ours. Motor Rachel melaju cepat membelah angin malam yang dinginnya mulai membungkus kami. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kalinya gue ikut seru-seruan gini!

"Finally.. your home, princess!"

Gue turun dari motornya dan menatap rumah yang masih terang benderang. "Thanks, Rachel"

"Sama-sama. Next time, lagi ya!" Gue hanya mengangguk. Capek. "Yaudah, gue balik deh"

Gue tersenyum padanya, "Hati-hati!"

Ia kembali melajukan motornya dengan kencang, membelah malam menuju rumahnya. Gue masuk ke rumah sambil menguap; letih dan mengantuk. Gue lewati ruang tamu dan ruang keluarga tanpa menoleh lagi. Tujuan gue hanya satu; tempat tidur. Namun suara papa memanggil gue dari ruang keluarga.

"Koci, darimana saja kamu?"

Gue berhenti dan menoleh, kontan melotot. "Atha?!" pekik gue pelan ketika melihat sosok Atha yang duduk didekat papa

"Ya. Atha sudah menunggu kamu sejak jam makan malam tadi. Kemana saja kamu sampai larut malam begini? Mana ponsel mati dan kamu juga gak izin suami kamu, kan, Koci?"

Gue menunduk, "Maaf, pah"

"Jangan minta maaf sama papa. Suami kamulah yang harus menerimanya"

Gue menatap Atha yang masih berbalut baju seragam sekolah dan tas di sisi kakinya. Wajahnya amat sangat flat. Tak ada ekspresi apapun dan matanya menatap gue dingin, seketika membuat gue merinding.

"Maaf, Tha"

"Habis darimana kamu?" tanya papa

"Dari party temen"

Papa menghela napas lelahnya, "Kamu ini sudah bersuami, Koci. Seharusnya kemana pun kamu akan pergi, kamu harus ijin suamimu. Bahkan kelakuanmu pun harus atas titah suami. Kamu tanggung jawabnya, bukan lagi papa walau papa tak akan lepas peran papa sebagai ayah untuk kamu. Hargai dia, Koci" Aku hanya diam menunduk, mendengar ceramah papa. "Sudah larut malam. Sebaiknya kalian menginap. Sana naik ke kamar"

Tanpa lagi menoleh kepada dua laki-laki didepan ini, gue segera berbalik dan naik ke kamar. Setelah berganti pakaian, gue melempar diri ke tempat tidur dan merasa pusing. Membenamkan kepala ke dalam bantal berharap bisa mengurangi rasa pusing ini. Sebelum Atha masuk ke kamar, gue sudah tiba di alam mimpi.

***

No comments:

Post a Comment