Sunday, January 18, 2015

The Matchmaking part6

Gue sudah siap mendorong koper gue menuju taksi yang sudah menunggu didepan. Hari ini gue akan pergi vacation bersama Rachel dan sesuai janji, gue harus menemuinya langsung di bandara. Atha masih belum pulang dari vacationnya bersama para sahabatnya, jadi gue harus berangkat sendiri ke bandara hari ini. Lagipula mang Jaja sedang libur hari ini dan papa sedang sibuk bekerja. No driver.

Saat berpamitan dengan mama, ada suatu emosi aneh diwajahnya yang membuat gue resah meninggalkannya. Ada apa? Dengan membaca doa, gue tetap berangkat.

None know how's the destiny, what will happen.

Lampu lalu lintas berubah hijau, taksi gue yang berada di line terdepan segera maju dengan kecepatan sedang namun dari sisi kanan ada mobil yang melaju kencang, mengabaikan lampu lalu lintas dijalannya yang sudah berubah merah. Gue sedang memegang telfon yang tersambung dengan Atha saat mobil tersebut menghantam taksi ini dan terlempar hingga taksi terbalik. Bagian kanan mobil hancur. Gue yang duduk di sisi kiri mobil mendapati kepala membentur kaca yang pecah dan terhimpit, juga tangan dan kaki. Gue lihat sang supir sudah tidak bergerak. Mata gue perlahan tertutup sambil meringis menahan rasa sakit saat orang-orang mulai berkerumun.

Seminggu sudah berlalu sejak hari dimana gue kecelakaan lalu lintas. Gue sudah diperbolehkan pulang. Hanya memar-memar yang masih tersisa di tubuh gue. Saat malam hari gue terbangun di rumah sakit, gue melihat Atha selalu tidur di sofa, menemani gue. Kadang kala bersama mama. Atha sempat marah atas kejadian ini. Ia berubah menjadi sangat protektif sekarang. Saat kejadian, Atha langsung terbang pulang, demi gue.

"Tidur, Koc"

"I'm feeling better, Tha"

"Tapi lo masih harus istirahat"

Gue menatapnya sebal, "Gue bosen, Tha, tiduran terus. Gue gak lumpuh!"

Dia menatap gue gusar, "Gua hampir mati membayangkan hal-hal sangat buruk saat itu, Koc! Enough!" jeritnya sambil menjambak rambut, frustasi.

Gue terdiam. Mungkin Atha memang sangat khawatir.

"Koci, mama bawain makanan nih"

Gue menoleh dan melihat mama di pintu. Entah apa, ada yang berbeda dari mama. Gue jadi merasa khawatir padanya. Gue bangkit dan berlari ke pelukannya dengan kaki ngilu karena memar. Gue merasa sangat merindukan mama. What's wrong? Mama melepas pelukan kami dan membimbing gue untuk duduk di kasur bersamanya. Atha sudah tidak ada, keluar entah kapan.

"How are you feeling, dear?"

"Fine. Mama sakit, ya?" tanya gue menelusuri wajahnya

Mama menggeleng dan wajahnya tampak berbeda. "Mama dan papa sedih banget saat kamu sakit kemarin. Kami takut"

"I'm okay, ma" kata gue meyakinkan

"Jaga kesehatan kamu, sayang. Jaga diri. Kami sangat sedih kalau kamu sakit"

Gue menatap wajah mama, meneliti setiap incinya. Mama masih tampak muda diumurnya yang sudah beranjak tua. Tak ada kerutan di wajahnya yang terlihat, tapi gue tahu bahwa ada kerutan samar disekitarnya. Matanya yang menatap gue sedih dan hidung mancungnya.

Kenapa gue merasa ada suatu unsur aneh dibalik kata-kata mama barusan? Astaga, Koci, jangan berpikiran jelek deh. Tapi memang ada aura yang berbeda dari mama, tak seperti biasanya. Gue kembali memeluk mama erat. Gue terlalu merasa nyaman dalam pelukan ini hingga enggan melepasnya. Tuhan, ada apakah ini?

"Papa pulang.." Papa muncul di ruang keluarga dengan jas ditangan dan tas kerjanya. Masih tampak gagah dan tampan. "Loh ada Atha sama Koci. Tumben"

Gue berlari ke pelukan papa--masih dengan kaki ngilu--dan mengeratkan pelukannya. Gue memaksakan berlari dengan kaki yang masih memar hingga hampir terjatuh, Atha sudah bersiap namun gue sudah menahannya. Papa juga memeluk gue dan membelai rambut gue seperti biasa in our quality time. Entah kenapa, gue merasa rindu sekali dengan papa. Kenapa?

"Wow, kamu kenapa, sayang? Kangen papa?" goda papa

"Banget!"

"Manja banget sih anak papa ini" dan papa mencubit hidung gue. "Malu ah sama suaminya. Masa sudah bersuami, tapi masih manjanya sama papa"

Gue mencibir namun tak rela melepas pelukan papa. Kami beranjak duduk dan gue tak lepas dari pelukannya.

"Ganti baju dulu gih" ujar mama

Gue menggeleng tegas. "Duh, ada apa sih? Kamu pakai lari segala untuk meluk papa padahal masih sakit, sekarang malah gak izinin papa ganti baju"

"I'm better, pa"

"Iya, papa percaya. Maafin papa, ya. Kalau waktu itu papa menyempatkan waktu mengantar kamu--"

"Bukan salah papa, kok. Papa bilang semua ini kuasa Tuhan, kan?"

Papa mengecup rambut gue, "Papa gak boleh ganti baju dulu nih?" Gue kembali menggeleng tegas. "Emang papa gak bau?" Gue mengendusnya dan kembali menggeleng. Papa tertawa melihat tingkah gue, begitupun kedua orang didekat kami. "Kapan ya, mah, terakhir kali Koci manja seperti ini sama papa?"

Mama tampak berusaha mengingat sebelum menjawab, "Waktu baru masuk SMP, kalau gak salah, pa"

Mama dan papa tertawa lagi, Atha pun ikut serta. Gue mengamati wajah kedua orang tua gue yang tampak berbeda kali ini. Wajah mereka tampak lebih bersinar atau.. hanya perasaan gue saja? Kenapa gue merasa ada yang aneh? Gue merasa ada suatu perasaan yang membuat gue ingin berada didekat mereka selalu dan enggan menjauh.

"Sepertinya kita harus foto keluarga, ya" usul papa

Gue menatap papa kaget. There's something wrong.

"Betul tuh, pa. Kan sudah lama sejak kita terakhir kali foto. Lagipula kini kita punya anggota keluarga baru. Mumpung masih pasangan baru"

Atha hanya tersenyum tipis. "Hubungi fotografernya, mah. Besok pagi kita foto. Ditaman rumah saja, jadi gak repot"

"Papa besok gak kerja?" tanya gue heran dan menatapnya

"Enggak. Papa ada dinas di Jogja. Oh ya, mama ikut ya"

Kening gue berkerut, "Kok tumben ngajak mama? Biasanya tunggu mama mengajukan diri dulu, pah"

Papa mencubit hidung gue lagi. "Ada acara yang harus dihadiri disana, sayang. Tega kamu kalau papa datang sendiri? Lagian nanti mama gak eksis lagi di grup sosialitanya" papa terkikik sendiri. "Kamu kok jadi kayak detektif gini ya, nanya terus"

"Kapan, pah?" tanya mama

"Lusa berangkat"

Mbok Sum datang dan membungkukkan sedikit tubuhnya--hormat. "Maaf tuan, nyonya, den, non, makan malamnya sudah siap"

Mama berterima kasih dan tersenyum. "Ayo kita makan. Dan papa ganti baju dulu"

Kami berdiri, pelukan papa akhirnya lepas. Papa beranjak ke kamar untuk berganti pakaian. Mama sudah menghilang duluan menyusul mbok Sum ke meja makan. Atha mendekati gue dan kami berjalan bersama menuju meja makan dengan lengannya melingkari pinggang gue, membantu gue berjalan. Protektif, huh?

Setelah makan malam, kami berkumpul diruang keluarga dan gue sengaja duduk diantara kedua orangtua gue. Bukan bermaksud menghindari atau menjauhi suami gue, tapi gue merasa sedang membutuhkan kedua orangtua gue sekarang. Papa dan mama jadi terus-menerus mengolok-olok sikap manja gue hari ini hingga gue meminta untuk menginap. Ya, gue sudah lama sekali gak bermanja ria dengan mereka. Wajar sekali jika mereka merasa heran.

"Tha, gue ikut mama papa ke Jogja, ya?" izin gue

Atha yang baru keluar dari kamar mandi pun menoleh, "Bukan kenapa, Koc, tapi lo masih sakit"

"Gue udah baikan, kok"

"Dokter minta lo istirahat" gue menatapnya bete. "Emang kenapa sih? Tumben banget"

Gue menggeleng, "Pengen ikut saja"

"Mereka cuma 5 hari, kok" gue tak menanggapinya. "Gini deh, kalau 2 hari lagi lo udah gua lihat bener jauh lebih sehat, kita nyusul"

Gue menatapnya dengan sumringah, "Beneran?" Atha mengangguk tegas dan tersenyum. Kegirangan, gue menghambur memeluknya. "Makasih banget, Tha!"

"Manja banget sih!" ledeknya

Gue meringis karena kaki gue terasa keram. Atha dengan sigap langsung mengurai pelukan dan memeriksa kaki gue dengan wajah cemas. Gue langsung dibaringkan di tempat tidur dan ia memijat pelan kaki gue. Terima kasih Tuhan karena telah memberikan suami yang baik untukku.

Paginya, kami sudah siap ditaman dan sang fotografer sedang mempersiapkan lokasi dibantu asistennya. Gue, mama, dan mama mertua gue mengenakan kebaya senada dan kain. Rambut mereka disanggul dan rambut gue hanya dijepit. Papa, Atha, dan papa mertua gue mengenakan jas hitam dan kemeja putih seragam. Tak lupa mbok Sum dan mang Jaja ikut serta dengan kami.

First shoot; kami berdelapan, sekeluarga besar. Second shoot; kami berenam, tanpa mbok Sum dan mang Jaja. Gue duduk diantara kedua mama dan Atha berdiri diantara kedua papa, tepat dibelakang gue. Third shoot; hanya kami berempat tanpa keluarga Atha. Lagi-lagi gue ditengah. Berikutnya hanya para orangtua, selanjutnya kami--pasangan muda, masing-masing pasangan, keluarga inti, gue dan mertua berserta Atha begitupun sebaliknya. Lagi, lagi, lagi dan lagi. Kami terus berfoto dengan pose absurd selanjutnya as this time is our last time.

Selanjutnya kami bercengkrama bersama setelah berganti pakaian--sang fotografer masih kami sewa untuk mengambil foto kegiatan kami seharian ini. Gue masih saja berada disisi orangtua gue.

"Duh, Koci manja banget sekarang, ya. Tumben" ledek mama mertua gue

"Gak betah ya tinggal sama Atha?" sahut papa mertua

"Pah!" tegur Atha yang membuat kami semua tertawa

Papa membelai rambut gue, "Gak tau nih. Koci manja sekali dari kemarin"

"Sejak pulang dari rumah sakit, tepatnya" sahut mama, menambahkan ucapan papa

"Mungkin pas kecelakaan ada sarafnya yang belok" timpal Atha asal yang mengundang tawa semua orang kecuali gue

Kami menghabiskan hari bersama. Makan siang, mengobrol, bermain, diskusi, menonton film dan lain halnya. As today is our last day.

Setelah makan malam, mertua gue pulang. Mama dan papa hendak tidur agar besok tidak telat bangun, dan mereka harus packing.

"Mah, pah, Koci tidur sama kalian ya malam ini?" pinta gue manja

Papa dan mama tertawa. "Malu dong sama suami"

"Tau nih. Lagian kasur mama nanti sempit"

"Maaah.. jangan pelit dong. Sekali doang kan" rengek gue manja

Mama dan papa berpandangan sejenak, "Gini deh, papa sama mama temenin kamu sampai kamu tidur saja, ya"

Gue sudah bersiap menjawab saat papa menatap gue sambil menggeleng. "No argue, dear"

Gue hanya mengangguk dan berjalan ke kamar gue bersama papa dan mama. Mereka permisi pada Atha atas hal yang memang memalukan ini untuk gadis yang hampir berumur 17 tahun ini. Atha mengerti dan keluar dulu. Gue tidur diapit kedua orangtua gue tersayang dan menggenggam tangan mereka.

***

Gue memeluk mereka satu persatu saat mereka masuk ke mobil.

"Hati-hati bawa mobilnya, mang"

Akhirnya mereka pun pergi. Gue berbalik dengan wajah sendu dan melihat Atha yang memberi senyum keyakinan pada gue.

***

Hal yang paling Atha tak suka adalah melihat Koci menangis. Sudah sejak 2 hari lalu ia menangis dan tak kunjung berhenti hingga hari ini, ia pun masih menangis dalam tidurnya. Sejak mendengar kabar orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil yang terjadi di Jogja saat dinas. Di makam, setelah mengubur jenazah kedua orangtuanya pun ia tak beranjak hingga sore hari. Itupun karena Koci pingsan. Koci tak pernah berbicara sejak saat itu, ia hanya menangis dan memanggil nama orangtuanya. Ia tak mau makan apapun, minum pun harus dipaksa. Atha takut Koci akan sakit.

Koci sedang menangis dalam pelukan Atha malam itu diruang keluarga rumah orangtuanya.

"Koc, kalau lo nangis terus, kasihan mereka gak tenang disana"

Koci berusaha menahan tangisnya dan menatap Atha dengan air mata yang terus mengalir. Atha tak letih menghapus air matanya dan memeluknya, berusaha memberinya kekuatan.

"Tha.."

Itu kata pertama yang diucapkan Koci dalam 3 hari ini. "Iya, Koc, lo mau apa? Makan, ya?"

Koci menggeleng, "Fira..sat gue.. be..ner.." ucapnya di sela isaknya

Atha mengernyit, berusaha memahami kalimat terbata yang diucapkan istrinya dan matanya melebar saat ia akhirnya paham. Ingatannya kembali ke beberapa hari lalu dimana hari-hari sebelum keberangkatan orangtuanya untuk perjalanan dinas, Koci menjelma menjadi sosok gadis yang sangat manja. Atha paham, sepertinya Koci sudah memiliki firasat hingga ia tak membiarkan waktu sedikit pun terbuang tanpa keberadaan orangtua disisinya.

"Fee..ling gue.. gak.. enak saat.. itu.."

Atha mengeratkan pelukannya. "Ikhlaskan mereka, Koc. Biar mereka tenang dan bahagia disana. Mereka butuh doa lo. Mereka pasti sedih lihat lo seperti sekarang ini. Mereka pasti gak ingin lihat lo sakit. Lagipula mereka tetap ada di hati lo, selalu ada buat lo"

Koci mengentikan tangisnya dan berusaha mengatur napas agar isakannya berhenti. Matanya sudah bengkak, kepalanya pusing, hidungnya merah dan tubuhnya lemas, Koci membiarkan Atha membelainya. Atha benar. Lagipula masih ada Atha, kedua mertuanya, mbok Sum dan mang Jaja untuknya. Hidupnya masih harus dilanjutkan.

"Misi den, non" mang Jaja sudah berlutut dihadapan mereka dengan berlinang air mata. "Maafin mang Jaja, non. Ini sepenuhnya salah mamang yang lalai dan gak hati-hati saat berkendara. Mang Jaja mohon ampun, non"

Koci melepas pelukan Atha dan tak tega melihat supirnya yang sudah menemaninya sejak kecil itu kini bersikap demikian. Koci menatap Atha yang mengangguk. Ia duduk dihadapan mang Jaja dan memegang lengannya.

"Udah, mang. Ini bukan salah mang Jaja, kok" ujar Koci pelan

Mang Jaja melihat wajah pucat majikannya yang ada dihadapannya, "Maaf, mang Jaja udah buat non jadi kayak gini"

Koci menggeleng dan berusaha tersenyum, "Enggak kok, mang. Kalau kata papa, ini takdir Tuhan. Ini bukan salah mang Jaja. Mungkin ini takdir terbaik Tuhan untuk mereka, tapi dengan mang Jaja sebagai saksi" Koci menarik napas panjang. "Koci gapapa, kok. Koci hanya belum bisa menerima semuanya kemarin. Tapi Koci akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Bantu Koci ya, mang"

Mang Jaja menghapus air matanya, "Mang Jaja sedih lihat keadaan non Koci yang kayak gini. Mang Jaja juga mohon izin mau pamit mengundurkan diri, non. Pasti non benci kan sama mamang"

Koci menggeleng cepat, "Enggak. Koci gak benci sama mamang. Koci sayang sama mamang. Mamang keluarga Koci juga, jangan tinggalin Koci ya, mang"

Mang Jaja segera memeluk majikannya dan menangis, "Maafin mamang, non. Mamang janji akan nemenin non Koci terus"

Koci pun membalas pelukannya. Akhirnya mang Jaja pamit kembali ke belakang dan datang mbok Sum yang membawa nampan berisi makanan, minuman, dan obat. Koci kembali duduk disofa dan bersandar pada Atha.

"Makan, non. Si mbok sedih lihat non kurus dan pucat begini"

Koci tersenyum dan mengangguk, "Biar Atha yang suapin, mbok"

Mbok Sum tersenyum dan mengangguk. "Si mbok permisi dulu, mau ke belakang"

Atha menyuapi Koci dengan bubur perlahan dan dengan sabar. Koci masih bersandar di satu lengannya. Koci diminta menghabiskan jusnya. Setelahnya, Koci memilih tidur daripada meminum obat. Rasa pusingnya pasti akan hilang jika dibawa tidur. Atha selalu mendampinginya hingga ia hampir tertidur.

"Tha.."

"Hm?"

"Tidurnya geser gih"

Atha menatap Koci yang tidur dalam pelukannya. "Kenapa emang?" tanyanya bingung

"Gue pasti bau. Gue kan belum mandi"

Atha mengendus leher Koci dan cemberut, "Iya, bau banget"

Koci mencubit pinggangnya sebal, "Atha!"

Atha tertawa dan seketika mimik wajahnya berubah serius. "Gua akan selalu ada buat lo, nyemangatin lo. Lo gak sendiri, Koc. Masih banyak orang yang akan ada buat lo. Gua akan selalu berusaha apa pun buat lo. Gua gak suka lihat lo nangis, sedih, apalagi samapi terpuruk kayak gini. Bukan cuma gua yang gak suka, yang lain juga, apalagi orangtua lo" Koci kembali menitikkan air matanya. "Koc, kenapa?" Dengan sigap, Atha menghapus air matanya

Koci tersenyum, "Makasih, Tha. Lo selalu ada buat gue. Gue sangat bersyukur karena gua adalah istri lo. Gue sangat berterima kasih pada papa dan mama. Mungkin mereka udah firasat akan ninggalin gue secepat ini makanya mereka menikahkan kita diusia muda"

Atha memeluk istrinya erat, "Mereka pasti bahagia punya anak yang sayang banget sama mereka"

Koci menatap Atha dan bertanya, "Apa lo juga merasa kehilangan?"

Atha menatap Koci lurus dan menghembuskan napas pelan. "Jelas gua juga kehilangan. Mereka adalah mertua gue dan orangtua yang baik. Gua udah sayang mereka"

"Tapi gue gak lihat lo sedih"

Atha tersenyum tipis, "Taraf kesedihan pasti berbeda tiap orangnya. Lagipula bukan karena gua gak kelihatan sedih artinya gua bener gak sedih. I'm not show it. Kalau gua sedih, gimana cara gua nyemangatin dan nolong lo?"

Koci memeluk perut Atha erat, "Makasih, Tha. Thanks for always there for me"

Koci dan Atha tertidur dengan berpelukan. Hati Koci terasa lebih lega setelah percakapannya dengan sang suami malam itu. Kehilangan kedua orangtua yang disayanginya dalam kecelakaan lalu lintas memang menjadi pukulan berat bagi Koci. Namun keberadaan orang-orang disekitarnya yang mendukung dan menyayangi, membantunya bangkit. Jalan hidupnya masih berjalan. She has to face the world without her beloved parents but with her beloved husband. Semoga ini menjadi garis indah dalam hidupnya.

***

No comments:

Post a Comment