Thursday, January 15, 2015

The Matchmaking part3

"Gua balik ya"

"Apaan? Baru jam segini, Ga" sahut Mika

Atha melirik ponselnya yang sunyi, "Besok masih sekolah"

"Yaelah, Ga. Sejak kapan sih lo peduli banget sama sekolah" ledek Mika

Mike terkekeh, "Aga yang sekarang tuh rajin bener, Mik. Cuma hari ini saja dia apes kena hukum sama kepala sekolah"

Mika memeluk Atha erat, "Gue masih kangen sama lo, Ga"

"Kita masih bisa ketemu lagi, Mik. Lo kayak mau gua tinggal ke Zimbabwe saja"

Mika memukulnya sebal, "Iyadeh. Sana pergi"

Atha berdiri dan bersalaman dengan kedua sahabatnya dan pergi dari sana untuk pulang. Sesungguhnya Atha khawatir akan Koci yang tak memberi kabar sejak ia mengirim pesan siang tadi.

Atha melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya dan mendapati rumah yang masih gelap dan terkunci. Ponsel Koci mati dan tidak dapat dihubungi, membuat Atha semakin khawatir juga kesal. Langkah berikutnya, Atha melajukan mobilnya menuju rumah mertuanya.

"Loh, Atha ngapain kesini?" tanya papa mertuanya yang membuka pintu.

Atha mengernyit, "Mau jemput Koci, pah"

"Koci? Koci gak ada, Tha"

Keduanya sama bingung. Muncul mbok Sum mendekati mereka, "Maaf, tuan, den. Si mbok tahu non Koci dimana"

"Dimana, mbok?"

"Tadi sore, non Koci memang muleh kesini. Tapi tadi pergi lagi sami temene sebelum tuan muleh" jelasnya

"Pergi kemana dia, Tha?"

Atha menggeleng, "Koci gak ngabarin, pah. Dihubungi juga gak bisa"

Mertuanya melempar korannya dengan keras ke lantai, marah. "Kemana anak itu?!" geramnya

"Mohon maaf tuan, den. Tadi non Koci pamit sami si mbok mo pergi ke party temene" tambah si mbok

Atha merasa amat kesal. Bisa-bisanya dia pergi tanpa ijin pada suaminya. Istri macam apa itu? Apalagi pergi party. Atha menghembuskan napas, mengatur emosi dan ikut duduk menemani mertuanya di ruang keluarga, menonton televisi sambil menunggu Koci pulang.

Waktu makan malam mama mertuanya pulang dan ikut tersulut emosi mendengar perilaku anak tunggalnya. Mereka makan malam bersama dengan diwarnai dengan gelora emosi kedua mertuanya. Pukul 10 malam, mama mertuanya memilih tidur daripada menunggu anaknya yang tak kunjung pulang dan membuatnya semakin emosi.

Tepat pukul 12 kurang 10 menit, Koci pulang dengan wajah agak pucat. Atha hanya mengawasi istrinya tanpa bersuara. Koci mengenakan dress pendek, cukup simple untuk party. Ia melangkah tanpa lagi menoleh dengan langkah lelah namun langkahnya terhenti dengan panggilan sang papa.

Setelah diceramahi cukup lama, Koci diminta untuk segera naik ke kamarnya dan mereka menginap. Koci naik duluan ke atas dan meninggalkan Atha yang masih bergeming ditempatnya. Atha menggertakkan gigi, menahan emosi.

"Istirahatlah, Tha. Besok kalian masih harus sekolah. Dan maafkan Koci"

Atha bangkit dari duduk dan tersenyum tipis, "Atha naik dulu, pah. Maaf udah bikin repot"

Mertuanya menepuk bahunya pelan dan Atha beranjak naik ke kamarnya, meninggalkan mertuanya sendirian, menyusul sang istri.

Pintu kamar dibuka, terlihat Koci yang sedang tidur. Atha meletakkan tasnya dikursi dan beranjak membuka lemari, mencari kaos untuk berganti pakaian. Sayang, hanya celana olahraga milik Koci yang ditemukannya yang dapat dipakainya--karena seluruh pakaiannya sudah diangkut ke rumah baru. Pakaian Koci masih tersisa karena ini rumah orangtuanya--untung saja ia memakai kaos oblong dibalik seragam sekolahnya. Mulai menjadi kebiasaannya--sesuai pesan istrinya--ia mencuci muka dan sikat gigi sebelum tidur.

Sebelum tidur, Atha menatap istrinya dan berusaha mengendapkan rasa kecewa dan amarahnya. Ia menatap wajah istrinya yang sedang tidur dan menjadi bingung. Ia usap pipi sang istri dan malah mendapati istrinya demam. Atha dengan sigap langsung mencari kain dan membasahinya dengan air yang kemudian diletakkan dikening Koci. Setelahnya, ia berlari turun ke dapur mencari obat.

"Kamu cari apa, Tha?" tanya mama mertuanya yang sedang mengambil minum

Atha menoleh dan wajahnya agak panik, "Paracetamol, mah"

"Ada di kulkas. Kamu demam, Tha?"

Atha beranjak ke kulkas dan menggeleng, "Koci, mah"

"Koci demam?" Atha mengangguk. Wajah mertuanya sekejap cemas. "Koci jarang sekali sakit. Pasti dia kecapekan"

Mereka segera naik ke atas untuk melihat keadaan Koci. Dengan gesit dan sigap, Atha merawat Koci. Dibangunkannya Koci untuk meminum obat. Atha terus mengganti kain kompres Koci, sedangkan mama mertuanya membelai wajah anaknya dengan wajah cemas.

Atha melihat jam dinding. 03.00. "Mah, tidur saja gih. Udah hampir pagi. Biar Koci, Atha yang jagain"

"Sepertinya demam Koci sudah turun. Kamu tidur juga ya, Tha"

Atha mengangguk dan mertuanya pun keluar, kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur. Atha menutup pintu dan menatap wajah pucat istrinya. Ia menguap, ia juga harus istirahat karena besok sekolah. Ia matikan lampu dan berbaring disebelah Koci, menemani sang istrinya.

***

Gue membuka mata perlahan dan mulai terjaga. Kepala gue terasa dikocok, pusing sekali. Gue ubah posisi tidur dan mendapati wajah Atha dihadapan gue. Wajahnya terlihat sangat letih. Atha pasti capek dan kesal nungguin gue semalam. Gue merasa bersalah dan mengulurkan tangan untuk membelai pipinya saat pintu kamar terbuka.

"Koci!"

Gue menoleh dan mendapati mama beranjak masuk, "Mamah! Ketuk pintu dulu dong!" tegur gue

Mama meraba wajah gue dengan wajah cemas, "Sudah gak panas. Kamu sudah merasa baikan, sayang?"

Gue menatap mama bingung, "Cuma pusing dikit. Mama kenapa sih?"

Kini wajah mama menunjukkan kelegaan, "Kamu semalam demam, sayang. Mama khawatir sekali, mengingat sejarah kesehatan kamu"

Gue segera menoleh panik pada Atha yang untungnya masih tidur, "Mah, jangan bahas sekarang. Aku baik-baik saja, kok" Aku menatap mama dengan mantap

"Semalaman Atha terjaga. Dia yang merawat kamu" Speechless. Gue menatap Atha lagi. "Bangunkan dia, sayang. Kalian harus sekolah, kan" dan mama beranjak

Gue mengangguk dan membangunkan Atha, tapi Atha hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Gue rasakan leher Atha yang panas. Astaga.. Atha demam? Atha sakit? Tepat saat mama keluar, Atha batuk dengan keras dan terdengar menyakitkan. Pasti batuk kering. Gue melihat kain diatas nakas dan membasahinya lalu mengompres Atha. Setelahnya, gue melompat turun ke dapur, mencari obat batuk dan paracetamol. Di ruang makan, mbok Sum, mama dan papa keheranan melihat gerakan gue yang terburu-buru dan panik.

"Aduh, non Koci, jangan gerasak-gerusuk. Ono opo, non?" tanya mbok Sum

"Obat batuk kering dan paracetamol mana ya, mbok?"

"Di kulkas, non" Gue berlari ke kulkas dan mencarinya. "Buat opo, non? Non sakit?"

Gue raih obat batuk. "Buat Atha. Paracetamolnya gak ada, mbok"

"Atha sakit, sayang?" tanya papa

"Iya, pah. Dia demam dan batuk. Duh, mbok, mana nih?"

Mama merangkul gue dan tersenyum, "Paracetamol ada dikamar kamu. Semalam Atha bawa buat kamu. Kalian ini jodoh sekali, ya. Habis kamu yang sakit malah sekarang Atha"

Gue tersenyum tipis, "Makasih, mah. Koci ke atas dulu"

"Biar mama hubungi mertuamu ya"

Tanpa gue sahuti, mama bertindak. Gue berlari kembali ke kamar dan mengganti kompres Atha lagi. Saat hendak memberi Atha obat, gue lupa membawa minum. Kembali gue berlari ke bawah mengambil minum dan kembali lagi ke kamar. Kegaduhan gue ini diprotes dengan teriakan papa. Setelah memberi Atha obat, gue mulai bernapas normal namun perut gue terasa perih. Pasti karena berlarian tadi. Tak sampai setengah jam kemudian, mertua gue datang.

"Koci, ikut mama sebentar. Biar Atha ditemani mamanya dulu"

Gue mengangguk dan mengikuti mama yang berjalan ke balkon dengan menahan perut yang masih perih. Diatas meja balkon sudah ada susu dan roti. Pasti mama yang menyiapkan. Dari sini, terlihat mobil papa yang baru saja keluar dari halaman rumah menuju kantor.

"Tolong jaga kesehatan kamu, sayang" Gue menatap mama yang juga menatap gue. "Ingat riwayat kesehatan kamu. Dan hari ini kamu gak perlu ke sekolah, pasti kamu capek"

"Koci gapapa, mah. Mama tenang saja. Lagian Koci emang gak sekolah hari ini, kan Atha sakit, Koci harus rawat dia"

"Tapi perhatikan kesehatan kamu juga. Kita belum tahu kapan tepatnya kamu akan 'benar-benar sakit'. Tapi itu adalah suatu kepastian"

Gue menunduk. Mama dan papa memang gak mau memanjakan gue sedari kecil, tapi mereka selalu khawatir dengan kesehatan gue terutama sejak 3 tahun lalu. Tepatnya sejak operasi yang gue jalani. Saat itu, papa mengalami gagal ginjal dan setelah setahun hidup hanya dengan satu ginjal, papa drop, ginjalnya tak mampu bertahan sendiri. Satu ginjal ini tak mampu lagi berfungsi dengan baik. Kami menyayangi papa dan gak ingin papa pergi. Maka dengan penuh pertimbangan dan melewati test, gue menyumbangkan satu ginjal gue untuk kesembuhan papa.

Beruntung ginjal kami cocok dan papa selalu berusaha menjaga kesehatannya. Namun, dua tahun setelah operasi, gue mulai sering merasakan perih di perut, tepatnya dimana letak satu-satunya ginjal gue berada. Memang sejak awal dokter telah memperingatkan; cepat atau lebih cepat, gue akan mengalami gagal ginjal juga. Dan selama setahun ini, rasa perih ini tak pernah gue keluhkan pada siapapun kecuali Tuhan.

"Papa sungguh amat menyesal telah menjalani transpaltasi itu"

Gue memeluk mama erat, "Aku gapapa, mah. Ini semua demi kesehatan papa, kan"

"Tapi jadi mengorbankan kamu. Kami gak mau kehilangan kamu, sayang"

Gue menggeleng, "Enggak, mah"

Mama menangkup wajah gue. Gue usap air mata mama yang menetes, "Janji, kamu akan bilang jika merasa sakit sekecil apapun?" Gue mengangguk. "Mama sayang sekali sama kamu"

Mama memeluk gue dan gue balas memeluknya. Gue terlalu sayang sama mereka, gue gak tega mengeluh dan membuat mereka khawatir. Gue gak mau jadi penyebab kesedihan mereka, gue pengen jadi kebahagiaan mereka. They may not shed their tears, but they have to share their smile.

"Koci?"

Gue menoleh, mendapati mertua gue berdiri, menunggu. Pelukan kami pun terurai. "Ya, mah?"

"Maaf mama mengganggu. Atha nyariin kamu"

Gue menoleh pada mama yang mengangguk. "Sana, temani Atha"

Gue beranjak ke kamar dan meninggalkan kedua ibu gue, menemui Atha. Gue buka pintu dan melihat Atha yang sedang menatap ke luar jendela. Gue menutup pintu dan melangkah masuk. Atha menoleh dan melompat memeluk gue. Gue merasa kaget dan speechless. What is going on with him?

"Lo kemana saja?"

"Hm.. didepan sama nyokap"

Pelukan Atha semakin erat, "How do you do?"

"Fine. You?"

"Better when you're here"

Gue tersenyum tipis dan mencubit perutnya pelan, "Udah makan?"

Pelukan diurainya dan ia menggeleng, "Suapin"

Gue menatapnya kesal, "Tha, lo bukan anak-anak lagi!"

"Udah deh suapin saja. Sekalian lo makan juga"

Gue ambil mangkuk bubur di nakas dan duduk disebelahnya, "Gue udah makan, Tha" jawab gue bohong

Suapan pertama ditelannya. "I've got a nightmare" Gue menatapnya, menunggu. "Lo sakit, Koc. Sakit parah"

Gue menatapnya kaget dan menahan diri. Atha bermimpi seperti itu? Apakah Atha dapat merasakan yang sebenarnya? Apakah sudah ada ikatan batin diantara kami? Gue suapi ia lagi dan tersenyum padanya. Tuhan, Atha termasuk salah satu orang yang hamba sayangi. Ia tak boleh merasakan kekhawatiran atas hamba-Mu ini.

"Istigfar, Tha"

"Jujur, gua takut"

Gue menatap matanya yang amat cemas, "It's fine, Tha. Nothing happened. Kita doa saja ya"

Tuhan, tolong bahagiakan mereka. Bahagiakan orang-orang yang hamba sayang. Jangan biarkan setetes air mata kesedihan keluar dari mata mereka. I love them. I'll do anything for them, don't let them sad.

***

"Kalian masih bisa kok bermalam lagi disini. Biar mama yang ambil pakaian kalian dirumah"

"Gak usah, mah--"

"Udah, Koci, gapapa. Atha kan juga masih sakit, masa mau bawa mobil"

"Iya. Lagipula kalau kalian masih gak enak badan, besok kalian bisa izin lagi" sahut mama mertua gue

"Atha lagi intensif, mah. Kalau bolos terus gimana Atha mau sekolah di Amerika" jawab Atha yang membuat gue terdiam seketika

Gue melirik Atha yang seperti terkesiap atas ucapannya barusan. Gue menunduk dan mama mencoba melanjutkan obrolan--mencairkan suasana.

Atha mau melanjutkan study di Amerika dan gue gak tau? Astagfirullah, istri macam apa gue ini? Suami gue punya rencana besar dan gue gak tau apa-apa? Betapa terlihatnya keterbukaan kami yang sangat minim. Gue merasa tak becus. Selama pernikahan ini, apa saja yang telah kami share? Nothing. Gue pun tak tahu siapa saja sahabat Atha, termasuk Mikaila itu.

Kedua ibu kami akhirnya pamit sore ini untuk mengambil keperluan dirumah kami. Gue berikan kunci rumah dan pergilah mereka. Gue tak kembali ke ruang keluarga setelahnya, melainkan memilih membantu mbok Sum didapur. Gue butuh teman curhat.

"Sini Koci bantu, mbok" kata gue dan mengambil jagung dari meja

Mbok Sum segera mengambil kembali jagungnya dan menatap gue. "Ono opo toh, non?"

I give up! "Koci bukan istri yang baik ya, mbok?"

"Ndak kok. Non Koci kan masih belajar"

"Tapi Koci buat banyak banget kesalahan, mbok. Koci gak tau mama mertua Koci pemilik sekolah dimana Koci sekolah sekarang. Koci gak tau siapa saja sahabat Atha dan apa saja yang disuka atau dibencinya. Kemarin Koci pergi gak izin dia. Sekarang dia mau lanjutin study di Amerika pun Koci gak tau"

Mbok Sum berdiri dari kursinya dan merangkul gue, "Wajar toh, non. Non kan masih baru belajar lagipula memang butuh banyak komunikasi dalam rumah tangga"

Gue menutupi wajah dengan tangan. I'm going mad!

"Koc?"

Gue mendongak dan melihat Atha berdiri dihadapan gue. Sejak kapan?

"Gua mau ngomong"

Gue melirik mbok Sum yang mengangguk, yang ternyata sudah kembali duduk. Atha sudah melangkah duluan dan gue pun mengikutinya. Atha duduk diruang keluarga dan menunggu. Gue berjalan perlahan dan ikut duduk disampingnya. Untuk beberapa saat, suasana terasa sunyi dan menit berikutnya, Atha merubah posisi duduknya menghadap gue. Tatapannya serius.

"Sorry, Koc, gua gak bilang sebelumnya. Gua belum sempat bilang" ujarnya pelan

Gue menunduk menatap lantai, "Don't say sorry. Gue yang harus minta maaf" Ia menatap gue bingung. "Gue gak bisa jadi istri yang baik buat lo. Gue pergi tanpa izin, gue gak peduli sama lo, gue gak tau apa-apa tentang lo, gue gak tau lo suka dan benci apa, lo rencana study di Amerika, dan tentang sahabat lo.." gue menatap lekat matanya dengan sendu, "..Mikaila"

Dia menatap gue kaget, "How did you know?" Gue menutup mata dan menunduk. "Bilang, Koc!" bentaknya

Tuhan, ia membentakku. Gue menarik napas dan menjawab pelan, "Kak Michael"

"Shit!" umpatnya keras. "Gua udah bilang buat lo jauhin Mike, kan! Dia suka sama lo! Kenapa lo gak bisa lihat sikapnya, sih! Gua gak suka lo deket-deket sama Mike. Dan jangan dengerin kata-katanya!" jelasnya penuh emosi

"Udah, Tha, mending lo belajar. Gue doain lo dapet sekolah disana"

Gue hendak berdiri, tapi ia menarik pergelangan tangan gue, "Sorry, Koc. Gua kebawa emosi" Gue sunggingkan senyuman kecil padanya. "Gua berniat kasih tau lo nanti, saat gua ujian disana. Gua akan ajak lo kesana dan cari sekolah buat lo"

Gue mengernyitkan dahi, "Sekolah?"

"Yap! Lo gak mikir kalau gua bakal ninggalin lo disini, kan?"

Gue terkekeh kering padanya, "Jadi rutinitas tahunan gue-kah pindah sekolah?"

"Gua gak mau ningg--"

"I'll stay, Tha. Go on"

Gue lepas tangannya dan gue beranjak naik ke atas. Gue butuh waktu sendiri. Di tangga, gue mulai berlari untuk segera sampai dikamar. Segera gue meringkuk disudut tempat tidur dan mulai meneteskan air mata.

Sial! Kenapa gue nangis? Kenapa gue harus nangisin dia? Kenapa harus dia? Air panas dari mata gue mengalir menuruni pipi. Mika. Mikaila. Mikailagatha. Mikaga. Mikatha. Setiap nama Atha selalu sangat pas bergabung dengan nama Mika.

"..sampai ada yang mengira mereka pacaran. Walau gua berdoa gitu.." Mungkin memang benar apa yang dikatakan kak Mike. Mereka cocok?" "..Mika itu cantik!.."

Atha yang ganteng dan Mika yang cantik, cocok, kan? Mereka lengket seperti getah? Sedekat itukah mereka? Apa mereka saling menyimpan perasaan untuk satu sama lain? Atau salah satu diantara mereka?

Air mata mengalir deras di pipi. Tuhan, hamba benar-benar menyayanginya. Hamba menyayangi suami hamba. Apakah hamba harus melepaskannya? Tolonglah hamba, ya Tuhan. Engkau-lah penolong hamba. Bolehkah hamba meminta cintanya hanya untuk hamba, Engkau, dan orangtuanya, serta iman dan Rasul-nya?

Sebuah tangan memeluk gue erat, seperti takut akan kehilangan gue dan mencium ubun-ubun kepala gue dengan sayang, kemudian menghapus air mata gue dengan jarinya. Matanya menyinarkan rasa cemas, takut, dan rasa bersalah. Kembali ia memeluk gue erat.

"Don't ever shed your tears, Koc. I'm so sorry. Just forget it for a while, okay?" tanyanya dengan menatap gue yang mengangguk pelan. "Lemme think"

"Sure"

"Dan perlu lo tau, Koc. Lo udah berhasil menjarain perasaan gua dihati lo. You're the best. Dan Mika, dia sahabat terbaik gua yang pernah ada. Jangan mikir yang aneh-aneh. She more like sister for me. Only you, my wife"

Gue kembali menangis--terharu--dan memeluknya erat. I keep his words. Keep as promises. Although I hate promises, but I start to believing him. Tuhan, semoga pemuda yang kupeluk ini akan selalu berada disampingku, selamanya. Aamiin.

***

No comments:

Post a Comment