Thursday, January 15, 2015

The Matchmaking part1

Gue berjalan menyusuri lorong sekolah dengan santai, rencananya gue hendak menemui Atha di depan ruang kepala sekolah. Lorong penuh dengan murid-murid yang sedang memanfaatkan waktu istirahat untuk berbagai kegiatan seperti jajan atau ngobrol.

Sepertinya baru saja jalanan lenggang dan mendadak beberapa orang cewek menghalangi jalanan didepan gue dan menatap gue dengan mata menyipit.

"Humm sorry, I'm in hurry. Excuse me"

Gue mencoba jalan samping namun salah seorang cewek dari mereka segera menghalangi gue. Oh my... apaan sih ini. It's my first day and I'm sure I'm still know nothing. Who are they?

"Lo siapa?" tanya salah satu dari mereka

Gue mengernyit dan kembali bertanya, "Loh, kalian yang siapa?"

"Wah gila ini anak, nyolot lo ya. Lo siapa tadi datang sama Agatha?"

Gue mengerjapkan mata, "Agatha? Oh Atha, what's wrong?"

"Apa lo panggil dia? Atha?!! Sok akrab banget lo!" hardik cewek berambut merah

Gue menatapnya aneh, "Loh emang namanya gitu kan?"

"Go away!"

Tiba-tiba saja Atha sudah berada didepan gue dan menghalangi cewek-cewek tadi dan segera menarik tangan gue untuk ikut bersamanya meninggalkan cewek-cewek aneh tadi.

Atha membawa gue menuju ruang kepala sekolah dan menemui sang empunya. Hari ini adalah hari pertama gue sekolah disini. Ya, gue baru pindah dan menjadi murid di sekolah yang sama dengan Atha sesuai kemauan orangtua kami.

"Permisi, pak"

"Oh Agatha. Mari-mari, silahkan masuk. Dan ini dia...?"

Gue tersenyum, "Saya Kosyara Asyifa"

"Oke baik Kos--siapa tadi?"

"Panggil dia Koci, pak"

"Oh ya, baik Koci. Saya telah mengetahui keadaan hubungan kalian" gue sontak kaget mendengarnya. "Dan saya janji akan memegangnya menjadi rahasia antara kita jika kalian menaati peraturan tambahan dari saya. Bagaimana?"

"Silahkan, pak" jawab Atha

"Saya tidak ingin ada murid lain yang tahu dan kalian tidak boleh memiliki anak selama masih menjadi murid sekolah ini, yang artinya Koci tidak boleh hamil. Dan Agatha harus lulus dengan nilai baik. Bagaimana, bisakah?"

Atha tersenyum dan mengangguk, "Pasti, pak"

"Koci?"

Gue hanya mampu mengangguk. "Kami permisi, pak"

"Ya-ya, silahkan"

Atha pun berdiri dan menarik gue keluar dari ruangan. Gue masih tidak percaya. Bagaimana kepsek mengetahui keadaan kami, tapi masih mengizinkan kami tetap bersekolah disini? Bukankah itu larangan? Jelas gue pindah sekolah karena kepsek gue di sekolah lama tahu perihal ini dan merujuk gue untuk mengundurkan diri. Loh ini malah sebaliknya. Aneh bukan?

Ohya, kami ini adalah pasangan suami-istri muda. Atha adalah suami gue dan gue adalah istrinya. Memang terlalu cepat kelihatannya. Namun ini permintaan dan perjodohan orangtua kami yang kami setujui.

"Sana balik ke kelas" suruh Atha

"Eh, tunggu, Tha!" gue menahannya

"Ada apa?"

Gue mengernyit, "Gue bingung"

"Soal?"

"Kok kepsek tahu, tapi masih kasih izin?"

Atha tersenyum, "Udahlah. Lo gak usah pusingin. Nyokap udah urus semuanya"

"Nyokap lo punya pengaruh besar ya disini sampai bisa semudah ini?"

Atha menatap gue sedikit jengkel, "Udahlah, never mind" ia menarik napas pendek. "Well, gua belum tahu alasan lo mau sama gua"

Gue meliriknya, "Humm.. gue cuma pengen bikin orangtua gue bahagia. Lo sendiri?"

Ia menyandarkan tubuhnya di dinding di belakangnya, "Almost with the same reason, but actually, gua sedikit terpaksa" dia menatap gue dengan pandangan heran. "Gimana kalau ternyata ini semua hanya untuk bisnis?"

Gue menyunggingkan senyum tipis, "No problem. Asal mereka bahagia"

"How about you?"

Pertanyaan singkatnya membuat gue menatapnya dengan wajah bingung dan kaget. He's right. How about me? I never thinking about myself and always about my parents. And now, for my future still about them, who's through this?

Gue tersenyum, "Gue belajar buat punya perasaan sama lo kok. Tenang saja"

"Good, cause I do the same thing"

Gue mengedikkan bahu dan berbalik berjalan menuju kelas namun gerakan gue ditahan oleh tangan Atha yang langsung menarik tangan gue hingga gue berbalik badan kembali menghadapnya.

"Gua masih belajar. Jadi jangan tersinggung sama sikap gua"

"Tenang saja, gue ngerti kok"

Ia melepas pegangannya dan membiarkan gue berbalik badan, kembali menuju kelas, ke kehidupan baru bersama teman-teman baru. Seperti orangtua gue yang membiarkan gue menuju kehidupan baru dan membangun keluarga bahagia bersama Atha.

***

Gue masih setia duduk di dalam kelas dengan kepala tertunduk di atas meja. Jam pulang sekolah selalu menjadi hal yang diidamkan semua murid dan pasti lorong akan crowded, dan gue benci crowded. So, gue menunggu beberapa waktu sampai gue yakin lorong tidak seramai seharusnya.

Gue akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kelas setelah sekian lama karena gue sadar bahwa Atha pasti nunggu gue dan gue sadar banget menunggu itu menyebalkan dan gue gak mau Atha ikut menyebalkan karena menunggu gue.

Lorong sudah sepi dan plooong, kosong. Gue melangkah sambil tersenyum. Akhirnya, no crowded. Tapi baru saja gue berjalan beberapa langkah, dua manusia menyebalkan muncul di hadapan gue dengan wajah sombongnya. Ya, dua manusia menyebalkan yang tak lain adalah cewek yang pada waktu istirahat tadi juga menghadang gue.

Gue mencoba melangkah ke sisi ujung namun salah satu dari mereka kembali menghalangi.

"Any matter?"

"Jelas ada. Lo gak boleh deketin Agatha!" hardik si rambut pirang-bukan blonde

Mata gue sedikit menyipit menatapnya, "Reason?"

Pundak gue didorong oleh di rambut keriting yang menatap gue dengan emosi, "Heh lo tuh junior jadi jangan nyolot! Hormatin senior lo! Kalau di bilang jangan ya jangan!" hardiknya

Senioritas banget ya disini, gue mendelik. "Alasannya adalah karena Agatha milik gue!" jelas si rambut pirang

"Milik?"

Si rambut pirang tersenyum penuh kemenangan, "Ya, dia milik gue. Pacar gue"

Pacar? Si cewek nyebelin berambut pirang ini adalah pacar Atha? Yang bener saja. Atha mau sama dia? Atha gak buta kan buat jadiin ini cewek pacar? Jadiin pacar cewek yang lebih baik dari dia dong--gue gak nunjuk diri sendiri loh.

"Balik!"

Tiba-tiba tangan gue ditarik menjauh dari dua senior nyebelin itu hingga ke parkiran setelah mendengar suara cowok. Dan di parkiran, tanpa ba-bi-bu lagi, gue disuruh masuk ke dalam mobil. Dan di dalam mobil gue baru sadar kalau yang menarik gue adalah Atha.

"Jangan ladenin mereka" ujarnya

Gue meliriknya yang mulai melajukan mobilnya, "Enggak kok"

Suasana menjadi hening setelahnya. Atha tidak merespon jawaban gue tadi dan kini tidak ada pembicaraan diantara kami. Gue mengalihkan pandangan keluar dan tersenyum tipis.

"Senior pirang tadi pacar lo, Tha? Kenapa gak pernah di kenal--"

"Bukan!" bantahnya. "Dia saja tuh PD mengumbar isu ke seisi sekolah"

Gue terkekeh pelan, "Yakin bukan? Kayaknya dia terobsesi banget tuh sama lo"

Gue lihat Atha bergidik ngeri, "Udah, ngapain dibahas, bikin ilfil. Mau lunch gak?"

"Terserah"

"Gua laper, Koc" gue hanya mengangguk. "Mau makan dimana?"

"Ya terserah lo"

Atha tampak berpikir, "Lo saja yang pilih. Sekalian ya lo perhatiin apa yang gua suka dan gak suka. Gua gak mau kasih tahu"

"Yaudah, seafood saja"

Dia melirik gue sekilas kemudian menambah kecepatan mobil di jalanan yang cukup ramai ini.

Akhirnya kami tiba di sebuah restoran seafood. Gue perhatiin apa saja yang dipesan Atha dan gue sendiri tidak terlalu lapar jadi memesan seadanya. Selagi menunggu pesanan tiba, Atha tampak sibuk sendiri dengan gadgetnya dan wajahnya terlihat tampak sangat serius. Dan gue hanya sesekali memperhatikannya.

Tadaa...!! Makanan tiba. Gue memperhatikan isi piringnya sebelum disantap lahap olehnya. Sepertinya dia kelihatan sangat kelaparan, terlihat seperti tidak makan selama beberapa hari. Gue sendiri tak terlalu berselera makan dan hanya mengamati piring Atha sesekali. Hingga selesai, isi piringnya tersisa beberapa sayuran dan beberapa lauk.

"Kenapa ngeliatinnya intens gitu?" tanyanya

Gue menggeleng, "Hanya menjalankan kewajiban. Gue mau belajar jadi istri yang baik, jadi gue perhatiin suka dan benci lo, dalam hal makanan"

Dia mengangguk paham dan menyandarkan tubuh di kursi, "Gua gak langsung pulang. Harus ke kantor bokap dulu"

Gue mengangguk dan tersenyum tipis, "Oh yaudah"

Dia kembali sibuk dengan gadgetnya dan gue beranjak berdiri. Baru saja gue berbalik dan hendak berjalan keluar, tangan gue ditarik dan disentakkan hingga membuat gue langsung terduduk. Aw.. sakit loh tulang bokongnya. Aku melihat Atha yang menatapku sebal. What's wrong?

"Mau kemana?"

"Pulang" jawab gue polos

Dia berdiri dan mengeluarkan dompetnya dan memanggil pelayan dengan berteriak, mendesak. Lalu meminta bill, membayarnya dan menarik gue berdiri. Gerakannya terlihat terburu-buru dan ia tampak agak marah.

"Tunggu gua dulu"

Gue mengerjapkan mata cepat, "Kan lo mau ke kantor bokap. Gapapa kok gue balik sendiri, gue bisa"

Dia menatap gue benar-benar dengan sorot kekesalan. Glek! Gue menelan ludah, takut. Oke, Atha bisa terlihat menakutkan secara mental, like now.

***

Atha baru melajukan mobilnya setelah memastikan gue berada di dalam rumah--dibalik pagar termasuk dalam rumah. Gue mengantar Atha dengan senyuman. Setelah mobil Atha tak terlihat, gue melangkah masuk ke dalam rumah.

Baru saja pintu di buka, sudah tampak sosok mama yang telah rapi dengan dandanannya dan terlihat heboh serta repot dengan handbagnya. Gue terdiam dan memperhatikan gerak-gerik mama.

"Oh kamu sudah pulang, sayang. Mama pergi dulu ya, sayang" pamitnya sambil mengecup sayang kedua pipi gue

"Mama mau kemana?"

"Ada temu kangen temen-temen SMA mama di mall. Udah ya, mama buru-buru. Bye Koci sayang"

Mama segera melangkah keluar dan menghilang di balik pintu. Dari jendela bisa gue lihat, mama naik ke mobil dengan sibuk menelfon. Gue hanya bisa menghela napas letih melihat kepergian mama.

Ya, sebenarnya gue sudah biasa ditinggal mama bepergian dan papa yang sibuk kerja. Papa adalah seorang workaholic yang memiliki jadwal kesibukan sangat padat. Papa lebih memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaan sekalipun akhir pekan. Mama pun adalah seorang sosialita dan travel holic. Hobinya adalah kumpul sana-sini, beli ini beli itu, selalu update oleh barang-barang terbaru. Kalau papa ada dinas pun mama selalu ikut, sekalian travelling katanya.

"Loh, non Koci sudah pulang toh" sambut mbok Sum

Ini mbok Sum. Pembantu yang telah bekerja dengan keluarga ini sejak lama, bahkan sejak gue belum lahir. Mbok Sum inilah yang selalu menemani gue kalau lagi gak ada papa atau mama di rumah. Umur mbok Sum belum setua ibunya mama kok jadi ngobrol sama dia masih asik.

"Mau makan siang, non? Biar mbok siapkan dulu yoo"

"Eh, gak usah, mbok" tahan gue

"Loh kok gitu, non. Makan siang itu wajib, non, untuk mengisi lagi tenaga"

Gue tersenyum, "Iya, mbok, tahu kok. Tapi tadi udah makan diluar sama Atha"

"Walah dalah, mbok suka lupa toh kalau non ini sudah jadi istri orang" Gue hanya tersenyum tipis padanya. "Makin romantis saja ya. Seneng mbok lihatnya"

"Aku lagi berusaha untuk punya rasa sama dia. Toh mau gak mau status dia ya suami aku kan, mbok"

"Dan si mbok lihat, sudah ada rasa suka ya, non" ledeknya

Gue kembali tersenyum, "Probably"

"Mbok lihat, den Atha adalah anak baik. Semoga dia bisa jadi imam yang baik buat non Koci ya"

"Amin. Oh ya, mbok, mama pergi kemana ya?"

"Ibu pergi sama temen-temennya, non, sekalian langsung ikut bapak dinas ke Padang seminggu"

Wajah gue langsung murung, "Yaudah, aku ke kamar ya, non"

Gue langsung melenggang naik ke kamar dan meninggalkan mbok Sum kembali dengan kesibukkannya yang tadi sempat tertunda karena mengobrol dengan gue.

Setelah berganti pakaian, gue berberes di kamar. Haaaah.. kamar ini bukan lagi milik gue sendiri. Kini gue berbagi kamar ini dengan Atha. Hum.. memang kamar ini tidak bernuansa cewek banget, tapi kini terlihat sangat simple, seperti yang kami sepakati.

Well, gue baru bertemu Atha sekitar 3 minggu lalu. Kami menikah sekitar 2 minggu lalu di sebuah villa di kawasan Bandung yang hanya dihadiri keluarga dekat. Setelah pernikahan kami itu, kami diberikan hadiah liburan ke Bali selama seminggu bersama orangtua kami. Liburan, bukan honeymoon.

Sementara ini kami tinggal di rumah orangtua gue dan bulan depan rolling ke rumah orangtua Atha. Kayak barang ya pindah sana pindah sini. Tapi apa boleh buat, tujuan gue adalah membuat orangtua gue bahagia.

Gue kembali turun dan menghampiri mbok Sum yang sedang membersihkan rumah. Seperti biasa, gue selalu membantunya selagi gue bisa, makanya dia tak lagi sungkan dengan gue. Hingga hari semakin sore, kami memutuskan untuk memasak makan malam bersama.

"Sebaiknya non Koci telfon den Atha dulu, siapa tahu dia tidak bisa ikut makan malam di rumah atau malah membeli makanan dibawa pulang" saran mbok Sum

Jadilah kini gue berada di halaman belakang dengan ponsel menempel di telinga. Ya, gue sedang mencoba menghubungi Atha, sesuai saran mbok Sum. Satu kali nada sambung. Dua kali nada sambung. Tiga kali nada sambung. Empat kali nada sambung. Lima kali nada sambung. Enam kali nada sambung dan..

"Kenapa?" tanyanya dengan suara jengkel

O-ow.. "Sorry kalau ganggu. Cuma mau nanya lo makan malam di rumah atau diluar?"

"Rumah. Emang kenapa?"

"Biar di masakin"

"Yaudah. Makasih, Koc"

"Sama-sama"

Telfon diputusnya. Sepertinya ia sedang sibuk. Koci.. Koci.. ngapain lo gangguin dia sih. Mana suaranya jengkel dan seadanya banget. Nyulut api nih gue namanya. Gue menghela napas pendek sebelum kembali masuk ke dapur.

***

Gue dan mbok Sum telah selesai makan malam dan sedang mencuci piring bersama sambil bersenda gurau. Gue lirik jam, 20.00 dan Atha belum juga pulang. Hum.. gue mulai merasa cemas. Kenapa Atha belum juga pulang? Gue hendak menghubungi Atha tapi enggan, nanti Atha malah kesal.

"Loh, den Atha kok belum pulang ya, non?"

"Gatau ya, mbok"

"Kok gatau, non? Non Koci gak nelfon den Atha memang?"

Gue menggeleng, "Hum.. enggak, takut ganggu kalau lagi di jalan"

"Oh iya, bener. Yaudah, non tidur saja biar si mbok yang nungguin den Atha"

"Gak usah, mbok. Udah waktunya mbok tidur kan, biar aku saja yang nungguin Atha di kamar"

Mbok Sum tersenyum, "Yasudah. Mbok masuk dulu"

Gue mengangguk dan tersenyum ketika mbok Sum masuk ke kamarnya. Setelahnya gue melangkah ke ruang makan dan melihat makanan yang masih terhidang di atas meja. Hum.. sudah malam, mungkin Atha sudah makan diluar. Sebaiknya gue simpan saja makanan ini.

Gue mengambil dan menyimpan makanan, bolak-balik. Tinggal satu lagi piring yang hendak gue simpan saat ada suara langkah kaki mendekat. Gue menoleh dan mendapati Atha yang berjalan ke arah gue dengan penampilan yang sangat berbeda dari tadi siang.

Ia menjatuhkan diri di kursi yang paling dekat dengan gue. Gue menatapnya lekat. Ia tidak lagi mengenakan seragam sekolah melainkan pakaian formal kantoran. Ia terlihat lebih dewasa dari anak SMA. Dengan celana bahan, kemeja yang telah di gulung hingga siku, jasnya di peluk di tangan dan dasinya telah di longgarkan seperti ketika ia memakai dasi sekolah.

"Kenapa lo diem dan ngeliatin gua gitu?"

Gue mengerjapkan mata, "Eh.. e-enggak"

"Kenapa lo gak nelfon gua?" Gue mengernyit. "Katanya mau belajar jadi istri yang baik, tapi suami telat pulang gak di cariin" sindirnya

"Eh, habis tadi sore lo pas jawab telfonnya ketus"

"Ya lo nelfon di saat gua lagi makan berkas-berkas penting di depan gua"

"Sorry"

Ia melirik gue sekilas, "Gua laper" lapornya

"Loh, belum makan emang?"

Dia menatap gue jengkel, "Kan tadi gua udah bilang kalau gua bakal makan di rumah"

"Tapi lo kan telat balik. Kirain udah makan di luar"

"Makanya, ditanyain suaminya yang bener. Gatau kan kalau gue berkutat sama kemacetan" jawabnya sengit

"Yaudah, gue ambilin dulu"

Kembali gue letakkan piring yang tadi hendak gue bawa. Dan gue mondar-mandir mengambil makanan yang tadi gue simpan dan meletakkannya di atas meja. Setelah selesai, gue lihat Atha yang menyandarkan diri di kursi dengan mata terpejam. Sepertinya ia lelah dan mengantuk.

Gue membangunkannya pelan, "Tha, nih udah disiapin"

Dia membuka mata dan gue lihat matanya merah, "Gua ngantuk, Koc"

"Jadi gimana? Kan lo belum makan"

Dia menatap gue, "Suapin"

Gue terkaget mendengarnya. Namun Atha telah kembali memejamkan matanya. Gue jadi kasihan padanya. Akhirnya gue sendokkan makanan untuknya dan menyuapinya. Ia mengunyah sambil memejamkan mata, setengah tertidur.

Setelah selesai makan gue kembali membangunkannya, "Tidur gih ke kamar, Tha" suruh gue

Baru saja gue melangkah, dia menahan tangan gue. "Mau kemana?"

"Cuci piring sama beres-beres"

"Kan ada mbok Sum. Biar dia saja yang beresin"

"Mbok Sum itu pembantu dan tugasnya hanya membantu. Dia bukan pesuruh"

Atha terdiam kemudian berdecak kesal, "Sini" dia merebut paksa piring di tangan gue. "Gua yang cuci, lo beres-beres"

"Kan lo ngantuk, gak usah, Tha"

Dia segera melangkah ke dapur, "Udah buru, gak usah bawel"

Gue tersenyum tipis melihat kelakuan Atha dan melangkah membawa makanan yang ada di meja untuk di simpan kembali. Setelahnya, Atha menarik gue untuk ikut naik ke kamar bersamanya. Ternyata Atha baik juga ya. Gue tersenyum tipis di belakangnya.

Atha langsung melemparkan diri ke tempat tidur setelah melempar jas ke kursi dan melepas sepatu. Gue hendak membangunkannya untuk bersih-bersih diri terlebih dulu namun karena ia terlihat sangat lelah gue membiarkannya dan mematikan lampu lalu ikut tidur di sampingnya.

***

"Non, buruan! Pak Jaja sudah nunggu nih" teriak mbok Sum

Glek..! Gue mengernyit dan segera turun setelah selesai berkaca. Atha yang berjalan di samping gue melirik dengan sinis. Gue segera menghampiri mbok Sum yang telah memegang kotak bekal.

"Mbok, kok aku sama pak Jaja?" protes gue

"Loh emang non mau pergi sekolah sama siapa lagi?" tanyanya polos

"Sama saya, mbok"

Mbok Sum menoleh ke sebelahku dan tersenyum malu, "Duh, maaf, den, si mbok lupa kalau non Koci sudah bersuami"

"Gapapa, mbok. Asal mbok gak lupa saja siapin sarapan buat Atha"

Mbok Sum menepuk keningnya keras, "Walah-dalah, si mbok lupa non"

Gue dan Atha melotot kaget lalu gue menggeleng, "Yaudah-yaudah. Atha biar makan sarapan aku saja"

"Non gimana?"

Gue lihat Atha menatap gue tanpa ekspresi, "Gampang. Yaudah kita berangkat ya, mbok"

"Hati-hati, non, den"

Gue melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil Atha. Atha memanaskan mobil sebentar lalu melajukan mobil ke sekolah. Di jalan, gue membuka bekal dari mbok Sum. Gue membuka botol minumnya dan menenggak susunya lalu beralih membuka kotak makanan dan memandang Atha yang sedang fokus menyetir.

"Tha, nih sandwichnya gimana?"

"Suapin" jawabnya santai

Gue melongo sejenak lalu mengambil sandwichnya dan menyuapi Atha. Ia mengunyah makanan sambil terus memperhatikan jalanan. Saat sedang lampu merah, ia menoleh menatap gue.

"Gua gak di bagi susunya?"

"Oh, mau? Nih" gue sodorkan susu milik gue padanya dan ia tenggak langsung

"Makasih" ucapnya

Gue menatap tak percaya isi botol minuman yang baru saja di kembalikannya. Isinya tidak sampai seperempatnya. Astaga.. kalau begini gimana caranya gue kenyang? Gue melirik Atha dengan kesal.

"Kenapa?" tanyanya. Gue menggeleng. "Kalau laper, makan saja sandwichnya. Bagi dua"

"Hah?"

"Makan saja"

Dia kembali melajukan mobil ketika lampu hijau dan kembali fokus pada jalanan. Menguikuti perkataannya, gue memakan sandwichnya. Lalu gue suapi lagi Atha. Dan begitu seterusnya sampai makanan habis dan kami tiba di sekolah.

Sepertinya Atha memiliki lahan parkir khusus untuk mobilnya sendiri, karena gue lihat dia memarkir mobil hari ini di tempat yang sama seperti kemarin. Dan tempat ini kosong padahal ini posisinya ditengah, sedangkan hingga ke ujung sana telah penuh. Aneh bukan?

Gue letakkan kotak bekal di kursi belakang dan setelahnya gue turun. Gue berjalan duluan setelah pamit dengan Atha. Sepertinya gue telat, ya? Tapi kenapa Atha jalannya santai banget? Gue berjalan dengan langkah yang cukup cepat menuju kelas. Sebelum berbelok ke kelas, gue lihat Atha berada tak jauh di belakang gue.

Pelajaran ke empat telah berlangsung hampir selesai dan ketika bel berbunyi sang guru masih saja berbicara di depan kelas. Gue yang sudah siap berdiri langsung mengernyit. Kenapa tidak ada murid yang protes? Gue menoleh ke kanan-kiri namun semua murid hanya memandang bosan sang guru.

"Lo kenapa? Bingung?" tanya cewek di sebelah gue

Gue menoleh dan mengangguk, "Kok gak ada yang keluar? Udah bel loh"

"Ini guru emang hobinya ngambil jam istirahat sekitar 15 menitan" bisiknya

Haaah... 15 menit? Itu kan setengah dari waktu istirahat. Astaga. Dengan lemas gue berusaha kembali duduk tegak dengan wajah menderita. Cewek di sebelah gue yang tak gue ketahui namanya ini menepuk lengan gue pelan yang gue balas dengan senyuman penuh aura suram.

Lima belas menit kemudian sang guru menyebalkan itu keluar. Haaaah.. lega sekali. Rasanya sulit sekali untuk memperhatikan pelajaran dengan baik saat perut sedang mengocok. Gue lapar sekaliiiii arrrrrggghhhhhhhhh!!

"Kantin?" tanya cewek di sebelah gue

Gue mengangguk dan tersenyum juga mengulurkan tangan, "Koci"

Dia menjabat tangan gue, "Rachel. Well, gue gak pernah denger nama lo. Cukup unik"

Gue terkekeh sambil berjalan di sisinya, "Nama panggilan kok"

Kami berjalan ke kantin yang cukup penuh. Gue menghela napas dan mengantri mengambil makanan. Setelah dapat, kami berjalan menyisiri kantin perlahan, mencari tempat duduk namun semuanya terlihat penuh. Haaaaah.. gimana ini? Kami dilarang makan di kelas, tapi kantin penuh.

"Kita makan dimana, Ci?" tanya Rachel

Gue menatapnya dan mengedikkan bahu. Dia saja gatau, apalagi gue. Krrrwwrrr.. perut gue kembali mengaum. Kalau gue gak makan sekarang, pasti gue tidak akan konsentrasi pada pelajaran. Sepertinya gue nyerah saja kali ya. Hanya ada dua pilihan; cari tempat lain dan melanggar peraturan atau tidak makan dan tidak berkonsentrasi belajar. Dan tentu gue akan memilih pilihan kedua.

Saat itulah tangan gue ditarik untuk duduk.

Gue kaget dan mengerjapkan mata berkali-kali. Setelah sadar, gue lihat Rachel sudah duduk di hadapan gue dan menatap gue bingung. Dia bingung apalagi gue? Gue memperhatikan orang-orang di sebelah Rachel dan tidak mengenali satu pun dari wajah mereka. Ketika melihat siapa sosok di samping gue, kembali gue kaget.

"Loh kenapa pada diem? Lima menit lagi bel masuk. Laper kan? Buruan" ujar seseorang di sebelah Rachel

Gue menunduk dan melahap makanan gue dengan perlahan dan merasa tidak lapar lagi. Gue gak mau mereka tahu perihal hubungan gue dengan Atha dulu apalagi kemarin ada senior yang sepertinya dendam dengan gue.

"Kenapa diem?" tanya suara di sebelah gue

Gue hanya menggeleng dan kembali memakan makanan gue perlahan. Sebuah tangan terulur dan mengambil makanan gue lalu memakannya. Tanpa perlu menoleh gue tahu itu ulah siapa. Gue menarik napas menahan rasa kesal. Gue gak mau ada murid yang tahu tentang hubungan gue dan Atha.

"Kalian kelas berapa?" tanya cowok di sebelah Rachel

"11 IPA A, kak" jawab Rachel

Dia mengangguk, "Lo anak musik ya? Kayak pernah lihat. Siapa nama lo?"

Rachel mengangguk, "Rachel"

"Oh ya, kalau lo gak pernah gua lihat kayaknya"

Gue mendongak menatapnya, "Anak baru doi" jawab suara di sebelah gue

Gue mendelik kesal, "Care banget lo, Ga. Sampai tahu dia anak baru"

Ga? Ga?? Temennya ini manggil dia Aga? Sedangkan cewek pirang kemarin manggil dia lengkap, Agatha. Nyokapnya memanggilnya Atha, so do I. Banyak juga ya nama panggilan Atha, hebat ini orang.

"Lo gak pernah lihat kan mukanya. Jelas anak baru" sahut Atha ngasal

Bagus juga actingnya. "Siapa nama lo?"

"Koci"

Dia tersenyum, "Nama yang unik"

Gue lirik Atha dan melihat wajahnya yang datar sambil terus memakan makanan gue. Kenapa Atha? Mendadak jutek gini. Humm, Atha kan memang rada aneh ya. Yasudahlah.

Kringg..!! Bel tanda masuk sekaligus tanda istirahat selesai berbunyi nyaring. Murid-murid di penjuru kantin berusaha segera menyelesaikan makanan mereka atau berbondong-bondong meninggalkan kantin. Kami pun berdiri bersama.

"Makasih ya kak Michael, kak Agatha, udah kasih kita bangku" ujar Rachel

"Makasih, kak"

Michael tersenyum dan mengangguk namun Atha hanya tersenyum sangat tipis dan melenggang pergi. Dapat gue lihat tatapannya yang tanpa ekspresi pada gue sebelum berbalik.

Atha kenapa? Marah? Salah gue apa?

***

Seperti hari kemarin, gue menunggu sendirian di kelas sampai sekiranya suasana sekolah tidak terlalu ramai. I hate crowded. Rachel sudah mengajak pulang bersama namun gue menolaknya dengan sopan. Setelah beberapa waktu barulah gue keluar kelas menuju parkiran.

Gue lihat mobil Atha terparkir sendirian. Parkiran sudah terlihat sepi. Gue lihat Atha berada di dalamnya. Tumben. Kemarin dia nyamperin gue ke kelas, sekarang kok enggak? Anything wrong?

"Sorry lama"

Gue masuk ke dalam mobil dan melihat Atha yang mengangkat kepalanya dengan tanpa ekspresi yang tadi ia rebahkan di atas kemudi. Tanpa berkata apapun, ia melajukan mobil keluar dari sekolah.

Tak ada pembicaraan apapun diantara kami, suasana hening. Atha tidak menyalakan radio tape dan gue pun enggan, takut mengganggu konsentrasinya. Gue alihkan pandangan ke jalanan di sebelah gue. CKIIIT..!

"Fuck!" umpat Atha kencang

BUKK...! Kepala gue langsung membentur dasbor dengan cukup keras karena diri tidak seimbang. Aw.. kening gue rasanya sakit. Atha mengerem mobil dengan sangat mendadak. Gue meraba kening yang terasa nyeri dan terasa pusing. Gak luka, mungkin bengkak. Tak gue lihat lagi penyebab Atha mengerem mendadak, kepala gue terlalu sakit untuk diabaikan.

Dengan gerakan kasar, Atha mendorong tubuh gue ke kursi dan memakaikan seatbelt untuk gue dengan wajah amat kesal.

"Seatbelt tuh untuk safety kenapa malah gak dipake" gerutunya

Gue memejamkan mata, "Sorry"

Terdengar helaan napas berat, "Sorry, gak sengaja. Sakit?" Gue hanya diam tak menjawab, tapi memijit kening. "Nanti gua obatin ya"

Gue hanya mengangguk dan dia kembali melajukan mobil dengan perlahan. Tangan kiri gue memijat kening perlahan, berusaha meredakan rasa nyeri di kepala dan gue merasakan tangan kanan gue digenggam erat oleh siapa lagi kalau bukan suami gue. Gue tersenyum tipis dibuatnya.

Kami tiba di sebuah gedung megah pencakar langit dan Atha membawa gue langsung menuju lantai 10.

Sepanjang jalan, banyak mata yang memandang kami dengan berbagai macam pandangan. Ada yang menatap kami aneh, tersenyum, sinis, bingung namun Atha tetap berjalan lurus menuju lift tanpa mengacuhkan mereka semua.

Begitu tiba di lantai 10, kami langsung menuju ruangan paling ujung yang bertuliskan RUANG DIREKTUR. Lagi-lagi berbagai macam pandangan mengikuti kami dari lift hingga masuk ruangan. Tapi kali ini lebih banyak pandangan dengan hormat dan penuh senyum. Tapi lagi-lagi Atha tak mengacuhkan mereka dan langsung masuk ke dalam ruangan.

Begitu masuk, Atha langsung mengobati luka gue hingga sudah terasa membaik lalu memberikan sebuah gaun pada gue. Gaun hitam formal beserta heelsnya. Dengan tatapan bingung gue menatapnya namun dia meminta gue segera memakainya maka gue melangkah ke toilet yang ada di dalam ruangan tersebut.

Gue telah berganti pakaian dan gue berkaca diri. Betapa sangat berbedanya gue kini. Lebih terlihat dewasa dan elegan. Hebat sekali Atha bisa memberikan pakaian ini untuk gue pakai sekarang. Untuk lebih match, gue tata rambut gue dengan jepitan dan.. marveleous!

Setelah selesai berhias diri pun gue keluar dan menemukan sesosok yang tampak gagah sedang mengenakan dasinya sambil menelfon dengan gerakan kesal. Gue menghampirinya dan membantunya mengenakan dasi. Seperti semalam, ia tampak luar biasa dewasa. Gue tersenyum dan melangkah mundur sedikit begitu selesai membantunya mengenakan dasi. Pakaiannya kini lebih rapi.

Dia mematikan telfon dan menatap lekat gue dari atas sampai bawah dengan tatapan kagum. Dia tersenyum.

"Lo cantik" pujinya

Gue tersenyum tulus padanya, "Makasih. Lo juga"

Dia menaikkan sebelah alisnya, "Cantik?"

Gue terkekeh pelan dan menggeleng, "Tampan dan gagah"

Ia tersenyum dan tiba-tiba menghambur memeluk gue. Gue terkaget dan diam seketika. Terlalu kaget untuk melakukan apapun. Pelukannya terasa erat dan hangat. Pelukannya terasa sarat perasaan yang gue gatau apa artinya.

"Tha.. ?"

"Please, stay for a while" pintanya lirih

Suaranya terdengar sangat membutuhkan yang membuat gue balas memeluknya erat yang membuat pelukannya juga semakin erat. Tuhan, inilah pelukan pertama kami selama menjadi pasangan suami-istri. Bukan disaat hari pernikahan atau disaat malam pertama, tapi sekarang, disini, diruangan direktur di siang hari ini.

Ia menarik wajahnya sedikit dan menatap gue lurus. Gue sendiri tak bisa berbuat apa-apa kecuali ikut menatap wajahnya. Tatapan matanya sangat berbeda dari biasanya. Ia menatap mata gue lekat dan kemudian menatap bibir gue lalu kembali menatap mata gue.

"Koc, may I ask you something?" tanyanya pelan

"What?"

"Your kiss..?"

Gue terdiam sejenak, bukan untuk berpikir, tapi karena merasa kaget. Well, gue ini istrinya, dia bisa langsung mencium gue semaunya bukan? But he did like he is my boyfriend. Asking for everything he gonna do. Gue menatap matanya lekat. Tidak ada sinar nakal dimatanya. Dan gue mengangguk yakin padanya.

"I'm all yours"

Dia menarik sedikit ujung bibirnya dan mulai mendekatkan wajahnya dengan wajah gue. Kebanyakan orang akan menutup wajahnya begitu ia tahu akan dicium, namun gue tidak. Gue ingin melihat wajah Atha dengan jarak dekat dan ekspresinya. Kini gue lihat, mata Atha benar-benar hanya terfokus pada bibir gue hingga dia benar mencium gue, matanya mulai terpejam.

Atha tidak melakukan apapun selain menempelkan bibir kami hingga saling menyentuh. Atha tidak melakukan apapun seperti yang selama ini gue lihat dan gue ketahui di film-film asing. He's quiet. But I like this. Gue dapat mencium aroma napasnya yang segar dan aroma tubuhnya saat gue peluk tadi benar-benar gue suka.

Tuhan, inilah ciuman pertama kami selama menjadi pasangan suami-istri. Kami tidak pernah melakukannya disaat hari pernikahan atau disaat malam pertama. But we do it now, for the first time. And actually, it is my first kiss, only for my husband, Agatha.

Ia menjauhkan wajahnya dan kembali menatap gue dengan alis bertaut dan kembali memeluk gue. Kini ia menyerukkan wajahnya diantara leher dan pundak gue. Benar-benar sensitif. Wajahnya bertemu langsung dengan kulit telanjang gue. Rasanya benar-benar nyaman.

"I'm sorry" ucapnya pelan

Gue mengernyit, "What sorry you say for?"

"That kiss. Was that forbidden?"

Gue menggeleng, "Yang orangtua kita larang adalah.. you know exactly. But, kiss is not include and also hug"

Pelukannya semakin erat, "Gua mau jujur"

"Hm?" gumam gue

"Gua suka sama lo" Gue terdiam, tak menjawabnya. "Agatha mulai suka dan bisa lebih dari suka sama istrinya, Kosyara"

Gue ikut memeluknya, "Gue juga. Kosyara also like Agatha"

"Maaf kalau gua udah nyakitin lo"

Gue menggeleng, "Never mind"

Ia melepas pelukannya dan tersenyum pada gue, "Well, there's something I wanna do" gue mengernyit menatapnya. Ia menggenggam tangan gue erat dan tersenyum jahil. "Follow me"

Dia menarik gue keluar dari ruangan dan tersenyum pada gue sekilas sebelum berseru memanggil seluruh karyawan di lantai tersebut untuk berkumpul di depannya saat itu juga. Gue seketika merasa gugup karena mereka semua menatap gue lekat.

Atha melingkarkan lengannya di seputar pinggang gue yang membuat gue menoleh dan menatapnya sedang tersenyum lebar pada karyawannya, sedang gue menatapnya dengan pandangan bingung. What is going on?

"Good afternoon everyone. I have an announcement. Let's introduce, she is Kosyara. Call her Koci. She's my wife"

Gue melotot menatapnya, kaget, dan juga melihat pandangan kaget dari para karyawannya. Sedangkan ia hanya tersenyum santai dengan sebelah tangan lagi dimasukkan ke kantung celananya.

"Pak Atha, setahu saya masih SMA, kan?" tanya salah satu diantara mereka meragukan

Atha mengangguk tegas, "Ya, saya baru akan selesai sekolah tahun ini"

"Tapi barusan bapak--"

"Salah kalau saya menikah di umur ini? Bukankah dalam agama, seumur saya yang sudah baligh, sudah pantas menikah?" Orang tersebut menundukkan kepalanya, merasa bersalah. "Dan jangan kalian pikir pernikahan kami by accident. Semuanya secara wajar. Kalian bisa lihat sendiri perut istri saya ini masih rata" pamer Atha sambil mengelus perut gue yang langsung menegang

Ia terkekeh geli, "Selamat datang di kantor ini, bu Koci" sambut salah seorang karyawan

"Eh, iya. Terima kasih" jawab gue canggung

"Dia sekertaris gua" gue tersenyum pada wanita yang terlihat masih muda dan cantik itu. "Jangan jealous, Koc" lanjutnya berbisik

Gue menatapnya dengan alis bertaut, "PDsekali"

"Well, get back to work, guys. Thanks"

Atha kembali menggiring gue masuk ke dalam ruangan dan langsung memeluk gue di balik pintu. Gue kembali merasa kaget dan terdiam. Napasnya terasa hangat di leher gue.

"Lo pakai parfum ya tadi di toilet?"

Gue mengernyit dan menggeleng, "Enggak, emang kenapa?"

"Wangi lo bikin gue ketagihan meluk lo"

"Apaan sih, Tha"

"Well, jangan jealous loh sama sekertaris tadi. Tugas dia emang deket-deket gua terus"

Gue menelan ludah perlahan, "Enggak kok"

"Yakin?"

"Asal gak macem-macem saja"

Dia terkekeh dan menarik diri, "Lo gak lihat pakaiannya? Menggoda iman banget loh. Mana dia masih muda dan single"

"Ya, terserah. Gue rasa kak Michael juga baik dan cukup ganteng kok" balas gue

Seketika dia mengernyit dan menatap gue dengan pandangan tak suka, "Apaan sih lo, Koc!"

"Apa?" tanya gue polos

"Jangan ngomongin Michael!" jawabnya dengan nada mengingatkan

Gue menarik sudut bibir sedikit, "Jealous, Tha?"

Dia melengos dan segera duduk dibalik meja kerjanya. "Gua sibuk, lo bisa istirahat di sofa. Kalau laper suruh OB saja" jawabnya asal

"Tha" panggil gue

"Hm?" gumamnya

"Jangan marah dong" Ia diam, menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya. "Kan gue cuma bercanda"

Dia menatap gue dengan maya menyipit, "Gua gak suka lo ngomongin Michael. Lo juga baru kan lihat dia, bahkan belum kenal. Dia respect sama lo dan gua gak suka, bukan jealous!"

Jujur saja kali. "Iya deh, Tha, sorry ya"

Dia kembali sibuk, larut dalam pekerjaannya setelah mengangguk singkat. Gue lebih memilih mengulang kembali pelajaran tadi di sekolah agar lebih paham dan fokus.

Pintu diketuk dari luar dan terbuka, menampakkan sosok wanita muda dengan pakaian formal yang minim dan tersenyum manis menatap bosnya. Sang bos juga membalas senyumannya, bukan sembarang senyum biasa. Hal tersebut membuat gue cukup jengkel.

"Permisi, pak. Berkas kemarin sudah bisa saya ambilkah?" tanyanya lembut dan sopan

Atha mengangguk, "Tapi tolong check dulu"

Atha memberikan sebuah map padanya, "Baik, pak"

Sekretaris itu berdiri tepat di samping bosnya dan membungkukkan badannya untuk memeriksa berkas yang diberikan. Posisi yang benar-benar tidak mengenakkan rupanya. Benar-benar tampak mengganggu dan menggoda iman.

"Gue keluar" pamit gue juga

Baru sampai di belakang pintu, ia menarik tangan gue hingga gue berbalik menghadapnya. Matanya tampak meneliti wajah gue namun gue menatapnya tanpa ekspresi.

"Jangan bilang lo mau ngelabrak sekertaris gua?"

"PD banget" jawab gue sengit

Dia menaikkan satu alisnya dan tersenyum miring, "Atau lo mau ke HRD dan ngelamar jadi sekretaris baru gua?"

Gue mendelik dan melepas tangannya, "Mau cari udara segar, disini panas" jawab gue sinis. "Selamat bekerja"

Gue membuka pintu dan melangkah keluar, keluar dari ruangan yang membuat gue gerah. Keluar dan menjauh darinya jika kedekatan itu yang harus gue lihat sepanjang hari. Panas. Jengkel!

Gue keluar ruangan dan melihat kesibukan kantor Atha ini. Beberapa dari mereka ada yang melihat gue lewat dan tersenyum sopan. Mau tak mau, gue pun membalas senyuman mereka sambil terus berjalan menuju lift.

Tiba didalam lift, masih saja terlihat kesibukan di dalamnya. Gue menghela napas dan menyandarkan tubuh disana. Well, gue belum tahu mau kemana dan gak mungkin gue pulang sedangkan tas gue masih ada di ruangan Atha.

Begitu pintu lift terbuka, gue ikut turun. Sepertinya ini ground floor. Gue melangkah keluar dan menoleh ke kanan-kiri. Gue melihat ada sebuah café di pojok dan gue melangkahkan kaki kesana. Sepertinya lumayan duduk disini daripada kemana-mana.

Gue menyandarkan tubuh di salah satu sofa dan memesan segelas minuman kemudian memasang earphone untuk menenangkan diri. Ya, ritual gue untuk menenangkan diri adalah bersandar diri, mendengarkan musik, dan memejamkan mata juga ditemani minuman dingin.

Sepertinya sudah cukup lama gue tertidur disini. Ya, sejujurnya gue ketiduran disini. Hoaaaam.. pegal sekali tubuh ini, mungkin karena terlalu lama di sofa. Gue memijat sebelah lengan gue dan menggerakkan kepala gue namun gerakan gue seperti dibatasi sesuatu.

"Udah bangun?" tanya sebuah suara

Gue menoleh dan melotot kaget melihat Atha sedang merangkul gue dan sebelah tangannya masih sibuk membolak-balik berkas-berkas di dalam map di pangkuannya. Gue mengerjapkan mata berkali-kali dan baru menyadari bahwa gue tidur dalam dekapannya. Oh no.. gue kan tadi lagi sebel sama dia. Gue melepaskan tangannya di pundak gue dan meraih gelas pesanan gue tadi namun gelas itu kosong.

"Sorry, gua tadi haus. Pesen lagi saja deh"

Gue mendengus kesal dan berdiri, hendak pergi, namun tangan gue ditahannya. Dia menatap gue lama dan menghela napas. Ia letakkan berkas-berkasnya yang berantakan ke meja dan ikut berdiri menyamai gue.

"Kenapa sih?" gue menggeleng malas. "Marah?" gue kembali menggeleng. "Jealous?" gue meliriknya sebentar lalu melepaskan tangannya

"Ruangan lo udah kosong?" ia menatap gue lekat sekilas lalu mengangguk. "Terus kenapa disini?" tanya gue sinis sambil melirik berkas-berkasnya

Atha mengernyit kesal, "Lo lagi pms? Terus jealous jadinya kesel klimaks sama gua?"

"Enggak. Apaan sih!"

"Ya terus lo kenapa sinis banget sama gua? Mana ngacir gitu saja lagi"

"Gue gak harus kan stay di ruangan lo cuma buat ngeliatin lo sama sekertaris lo itu deket-deket, genit-genitan. Gue saja gatau tujuan gue disini ngapain, lo yang ngajak, tapi gue malah dicuekkin"

Dia menghela napas lelah, "Yaudah, gua minta maaf"

"Gak perlu. Lo juga tadi kesel dan diem tiba-tiba, I don't ask anything, right? So why do you care?"

"I do care cause you're my wife" gue terdiam dengan jawabannya. "No matter if you hate me or anything" gue tertunduk dibuatnya. "And your jealousy," dia tersenyum tipis, "make me like you more. Thank you"

Gue mendongak dan menatapnya, "Lo seneng gue jealous?"

"Yap. It means you really like me, huh?"

"Ohya? Kalau gitu tiap hari saja lo deket-deket sama sekertaris lo itu, gue jealous kan terus numpuk rasa kesel gue sama lo terus kita ce--"

"Heh!! Sembarangan banget kalau ngomong"

Gue memanyunkan wajah, "Maaf"

"Udah, ayo balik!" ajaknya

Ia menarik tangan gue dan melangkah keluar. Ia membawa berkas-berkasnya yang menggunung dengan sebelah tangannya. Sepertinya ia kewalahan, gue mengambil sebagian dan gue bantu ia membawanya. Tak ada senyuman sedikitpun diwajahnya. O-ow, am I made a big mistake?

***

Atha duduk bersandar di tempat tidur sambil membuka buku pelajarannya dan tampak berpikir. Sedangkan gue hanya duduk di pinggir tempat tidur sambil menonton tv. Sesekali gue meliriknya. Ia tak sekalipun mengacuhkan gue. Sedari perjalanan pulang tadi, dia benar-benar diam tak mengacuhkan gue hingga saat ini.

Beberapa menit kemudian ia menutup bukunya dan diletakkan di meja di sebelahnya. Kemudian ia mengganti posisi menjadi berbaring dan menutup wajah dengan sebelah lengan yang di lipat di atas wajahnya. Gue duduk gelisah sambil terus meliriknya.

Sudah pukul 11 malam dan gue sudah benar-benar mengantuk. Tapi gue menunggui Atha yang masih mengerjakan tugas rumahnya. Setelah Atha tidur, gue masih enggan tidur. Atha marah pada gue dan kalau gue tidur di sebelahnya, nanti Atha malah akan semakin marah. Tapi kalau enggak, gue tidur dimana? Oh! Di kamar mama!

Gue beranjak berdiri dan mematikan tv dan lampu. Kemudian gue lihat Atha yang sudah tertidur pulas. Gue menghela napas dan melangkah perlahan agar tidak menimbulkan suara menuju pintu. Ceklek! Suara pintu terbuka terdengar sangat nyaring di saat seperti ini.

"Koc?" gue langsung mengkeret dan terpeleset keset dan DUK! "Koc?" aw.. sakit sekali. "Koci?" gue tetap diam tak menjawabnya. Langkah pun kaki terdengar mendekat, "Lo ngapain? Jatoh?"

"Hum.."

"Kok bisa? Emang lo mau kemana?" tanyanya sambil menarik gue berdiri

"Ukhhh.. tadi mau ke kamar mama"

"Ngapain?"

"Mau tidur" jawab gue polos

"Kenapa gak tidur disini? Gak mau tidur sama gua?"

Gue menatapnya, "Bukannya lo yang gak mau tidur sama gue?"

"Siapa yang bilang?"

"Tapi kan tadi lo marah"

Dia menangkup wajah gue dalam genggaman tangannya, "Gua gak marah, Koc. Cuma rada kesel saja. Udah ayo tidur"

Dia menggiring gue ke kasur dan berbaring di sebelah gue, "Tapi daritadi lo diem saja, Tha"

Dia menghela napas pelan, "Denger, Koc. Gua mau jelasin soal tadi siang. Gua gak suka lihat lo deket-deket sama Michael. Why? Karena gua tahu dia cowok ganjen. Dan keramahan lo di sekolah tadi bikin gua cukup kesel. Dan gua gak mau denger kata-kata menyeramkan kayak yang tadi sore lo hampir ucapin di café. Got it?" Gue mengangguk paham. "Your turn"

"Hah?"

"Jelasin soal di kantor tadi"

Gue meliriknya sebentar, "Hum.. cuma gak suka saja kok"

Dia tersenyum tipis, "Yaudah, tidur" gue mengangguk dan baru saja berbaring saat dia kembali bertanya. "Orangtua lo kemana, Koc?"

Gue menoleh dan menatapnya, "Biasa, sibuk dinas"

"Nyokap lo?"

"Ngintil bokap dinas"

"Udah biasa?" gue mengangguk. "Pantas gua disuruh nikah cepet sama lo. Buat jaga lo juga kan"

"Sorry kalau ngerepotin. Tapi gue udah biasa kok cuma sama mbok Sum"

"Well, sekarang lo harus terbiasa ditinggal bukan hanya sama mbok Sum, tapi juga sama gua juga"

Gue tersenyum tipis. "Thanks"

"Ada perbedaan setelah married?"

"Hum.." gue berpikir dulu sebelum menjawab. "Biasa saja sih. Paling kasur berbagi sama lo"

Dia terkekeh, "Tidur lo gak rusuh kok. Tenang, lo gak perlu bangunin gua karena tubuh gua udah set sendiri alarmnya bangun pagi in workday but don't ever disturb my sleep in weekend"

"Whatever you want, Sir"

Dia merangkul gue dan merapatkan kepala gue di dadanya, "Udah ah, tidur. Besok masih sekolah"

***

No comments:

Post a Comment