Sunday, January 18, 2015
The Matchmaking part8
The Matchmaking part7
Gue bangun dan menyadari hari sudah siang, diluar sangat terang. Gue mengedarkan pandangan ke penjuru kamar dan mengernyit. Gue tak menemukan sosok Atha. Kemana dia? Gue pun turun dari kasur dan membersihkan diri di kamar mandi sebelum beranjak keluar kamar.
Gue melihat sosok perempuan yang sedang menata bunga di meja. Kayaknya kenal. "Mama?"
Perempuan itu berbalik dan tersenyum. "Koci sayang! Kamu sudah baikan?" Gue tersenyum melihatnya. "Jangan sedih lagi ya, sayang. Semua orang juga merasa sedih. Mama gak mau kamu sakit, sayang"
Gue merasa tubuh gue dipeluk erat, "Makasih, ma. Mama kok ada disini?"
"Kata Atha, kamu sudah mau makan. Jadi mama kesini untuk masakin kamu. Kamu mau makan apa, sayang?"
"Nanti saja, mah. Atha kemana ya, mah?"
"Atha.. dia lagi pergi. Kamu jangan marah ya, sayang" Gue menatap ibu mertua gue dengan penasaran. "Dia lagi nemenin Mika. Mika lagi sakit"
Gue mengerjap sekali sebelum menjawab, "Kak Mika sakit apa?"
Mama tersenyum. "Hanya flu biasa. Tapi Mika memang manja sama Atha kalau sedang sakit. Ada Mike juga, kok" Gue hanya bisa tersenyum tipis. "Mama sudah bilang Atha kok agar membuat Mika mengerti jarak antara mereka. Sekarang kan Atha punya kamu sebagai tanggung jawabnya"
"Tapi mereka gak tahu status kami sebenarnya, mah. Dan kak Mika juga berharap perjodohan Atha batal"
Mama membelai pipi gue lembut, "That's her problem, dear. Never mind"
Gue mengangguk. "Koci mau mandi dulu ya, ma. Koci mau pergi"
"Kamu mau kemana,sayang?"
Gue tersenyum sendu. "Ke makam"
"Mau mama temani?"
Gue menggeleng, "Biar si mbok temenin, non" ujar mbok Sum yang muncul disamping mama
Gue kembali menggeleng, "Gak perlu. Makasih mah, mbok. Kalau boleh, Koci mau minta tolong anter sama mang Jaja. Mang?"
Mang Jaja muncul dari balik pintu dan menyahuti panggilan gue. "Iya, non"
"Mamang mau temenin Koci ke makam, gak?" tanya gue pelan
Mang Jaja menatap gue dengan tatapan ragu, "Non percaya kalau mamang yang bawa mobilnya?"
Gue tersenyum tulus. "Gimana, mamang mau?" mang Jaja segera mengangguk. "Yaudah, Koci siap-siap dulu, ya"
Gue kembali ke kamar dan segera mandi. Gue memilih untuk mengenakan baju dan celana panjang berwarna hitan serta pasmina sewarna. Setelah siap, gue melangkah keluar kamar dan melihat ruang santai dimana berjejer foto-foto kami sekeluarga. Gue tersenyum sedih melihat foto keluarga yang diambil beberapa hari lalu, sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa mama dan papa. Gue merasa batu rindu menyiksa hati, gue rindu mama dan papa.
Gue kembali dan berpamitan dengan mama dan mbok Sum. Mang Jaja sudah duduk rapi dibalik kemudi mobil di halaman rumah. Gue langung duduk dikursi belakang, tepat dibelakang mang Jaja.
Sepanjang perjalanan, mang Jaja tampaknya khawatir dan cemas, terlihat dari gerakannya yang selalu mengintip ke kursi belakang lewat spion. Gue hanya duduk dalam diam, pandangan lurus pada jalanan yang tak benar-benar gue perhatikan. Pikiran gue berkelana jauh. Tatapan gue mungkin terlihat sendu.
Sesungguhnya gue tahu bahwa mang Jaja masih sedih dan merasa sangat bersalah atas kejadian lalu namun gue berusaha berbesar hati untuk memaafkannya. Gue tahu ini takdir, seperti yang pernah papa katakan. Ini bukan salahnya. Ia hanyalah perantara garisan Tuhan. Gue sudah mengenalnya sejak kecil, kehilangan kedua orangtua sudah sangat menyakitkan, gue gak ingin kehilangan orang lain lagi. Tidak dengan mang Jaja yang mengundurkan diri.
Tiba di pemakaman, gue turun dari mobil, di ikuti mang Jaja.
"Mamang tunggu disini saja, ya. Kalau boleh, Koci butuh waktu sendiri"
"Tapi non--"
"Koci baik-baik saja, kok" potong gue cepat
Mang Jaja akhirnya mengangguk dan membiarkan gue berjalan sendiri ke makam mama dan papa yang masih basah. Sedangkan mang Jaja hanya berdiri disisi mobil, mengamati gue dari jauh.
Gue melangkahkan kaki perlahan diantara banyak gundukan tanah menuju dua gundukan tanah yang masih basah. Tiba ditujuan, gue duduk diantara dua gundukan tanah dimana dua orang yang sangat gue sayang berbaring dalam ketenangan bersama kesepian. Gue menatap dua papan nisan dihadapan gue dan menitikkan air mata. Segera gue hapus air mata yang baru menetes dan menaburi bunga diatas dua makam mereka lalu mendoakan mereka, mama papa yang sangat gue sayangi yang sudah tak lagi mampu menemani gue didunia.
"Assalamualaikum, pah, mah. Maaf Koci baru kesini lagi. Koci hanya masih belum siap melanjutkan hidup tanpa kalian. Tapi Koci sadar, masih banyak orang yang sayang dan support Koci untuk tetap bangkit. Koci juga berterima kasih karena papa dan mama telah mempertemukan Koci dengan Atha yang bisa menjaga Koci. Tapi.. Koci masih butuh kalian"
Gue menangis dengan kepala tertunduk diantara makam papa dan mama. Gue menangis tersedu-sedu, terlalu merasa kehilangan. Gue masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Gue masih butuh limpahan kasih sayang mereka. Gue terlalu menyayangi mereka hingga rasanya hampa hidup tanpa sosok mereka disisi gue. Gue merasa tak sanggup. Gue menangis terus dan terus tanpa kenal waktu.
***
Mang Jaja gelisah saat menyadari majikannya tak kunjung kembali dalam waktu yang cukup lama. Ia takut terjadi sesuatu pada sang majikan. Akhirnya ia menyusul sang majikan ke makam dan kaget ketika menemukan sang majikan telah tersungkur ditanah dalam keadaan pingsan. Ia segera membopong tubuh majikannya ke mobil dan membawanya pulang.
Tiba didepan rumah, mobilnya berpapasan dengan mobil Atha. Tanpa permisi, ia menyerobot masuk ke halaman. Atha memarkirkan mobilnya dibelakang mobil yang dibawa mang Jaja dan bingung melihat mang Jaja yang terlihat terburu-buru turun lalu membuka pintu belakang.
Mata Atha melotot dan segenap perasaan cemas menggerogotinya saat melihat tubuh lunglai istrinya dalam gendongan mang Jaja.
"Koci!" pekiknya. "Koci kenapa, mang?"
Ia segera mengambil alih Koci dalam gendongannya. "Non Koci tadi pingsan di makam, den"
Atha tampak kaget namun segera sadar, berjalan cepat ia membawa istrinya masuk ke dalam rumah.
Atha segera membaringkan tubuh Koci diatas tempat tidur, tak menggubris kecemasan mamanya dan mbok Sum. Segera ia dekatkan minyak angin ke hidung istrinya agar sadar.
"Koci kenapa, Tha?"
Atha menggeleng, "Kata mang Jaja, Koci pingsan di makam"
"Astagfirullah.. pasti Koci masih terlalu sedih"
Atha menatap mamanya dengan menahan emosi. "Kenapa mama gak temenin dia?" tanyanya setengah frustasi
"Dia gak mau, Tha"
Atha menjambak rambutnya, kesal pada diri sendiri. "Kenapa gak hubungi Atha?"
Mamanya membelai punggungnya. "Dia mau sendirian, Tha. Mungkin dia juga lemas karena belum makan"
Atha memandang wajah istrinya yang tampak pucat dan lemah. Ia merasa bahwa Koci terlihat lebih kurus dalam beberapa hari ini. Pasti ia menahan beban batinnya sendiri. Atha menarik nafas perlahan dan menatap mamanya, seolah mengatakan 'apa yang harus ia lakukan?'
TOK.. TOK.. TOK..
Atha dan sang mama menoleh ke pintu. "Masuk" jawab sang mama
Masuk mang Jaja dan mbok Sum yang membawa tiga gelas teh hangat di nampan.
"Kami bawakan teh hangat, den, nyonya"
Mama Atha tersenyum, "Makasih, mbok, mang"
"Non Koci pasti masih sedih, den. Non Koci soalnya ndak pernah sakit begini" ujar mbok Sum
"Non Koci sebenarnya adalah gadis kuat dan ceria" tambah mang Jaja. "Namun ini pasti pukulan yang sangat berat untuknya. Ini semua salah saya"
"Koci bilang ini bukan salah mang Jaja, kan? Kalau gitu mang Jaja jangan menyalahkan diri sendiri lagi" ujar Atha pelan
"Mungkin ini Takdir tuhan" tambah mamanya
"Pukulan terberat juga bagi non Koci, mengingat orangtuanya gak akan menjadi saksinya beranjak dewasa. Terutama saat ia menginjak usianya yang ke-17 besok"
Atha dan mamanya tersentak dan sontak menoleh pada mbok Sum. "Kapan Koci ulang tahun?" tanya Atha cepat
"Hari Rabu. Tepat tanggal 9"
Atha berdecak kesal, "Ulang tahun istri sendiri saja Atha gak tahu. Suami macam apa Atha ini, mah" pekiknya kesal
"Itu dua hari sebelum mama ulang tahun kan, Tha?" Atha mengangguk. "Gimana kalau dirayain bareng mama saja. Hari Sabtu malam dirumah mama?"
Ketiga orang lainnya pun mengangguk setuju dan mempersiapkan diri untuk acara tersebut.
***
Gue terbangun dengan perasaan hampa dan bingung. Mata gue menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Perlahan gue mengenali ruangan tempat gue berada adalah kamar gue yang berada dirumah orangtua gue. Gue menarik nafas pelan dan duduk dengan kepala agak pusing. Ruangan terasa sunyi. Hanya terdengar satu suara, yaitu suara ketikan keyboard komputer. Gue menoleh ke kanan dan melihat sosok Atha yang sedang duduk di sofa dengan memangku laptop dan pandangannya fokus ke arah layar. Apa yang sedang Atha lakukan?
Gue perlahan turun dan menghampiri Atha yang duduk dengan kaki bersila dan kening berkerut. Tangannya menari dengan indah diatas keyboard. Ia mengenakan kaos biru dan jeans selutut, terlihat santai dan maskulin. Gue mengambil duduk disebelah Atha, membuatnya menoleh.
"Koci?" panggilnya dengan mata melebar
Koci tersenyum padanya, "Lagi ngapain, Tha?"
Atha memijat pelipisnya dan memeriksa keadaan gue. "Kerjaan kantor. Lo gapapa? Pusing? Mau makan? Atau minum?"
Gue terkekeh, "Pertanyaan lo banyak banget. Gue bingung" Gue melirik laptopnya. "Lo balik kerja lagi?"
Atha mengangguk. "Well, bokap gak 100% aktif dikantor. Jadi sebisa mungkin gue gantiin tugas dia. Ohya, lo makan ya. Belum makan dari pagi, kan"
Gue tersenyum dan mengangguk. Kami turun untuk makan malam bersama dengan yang lain. Mama belum pulang, bahkan kini ada papa Atha yang ikut bergabung. Gue merasa rumah terasa ramai lagi, senang rasanya melihat semua berkumpul, walau tanpa mama dan papa.
Kami menghabiskan waktu makan malam sambil berbincang ringan seputar kegiatan kami esok hari. Kami juga menceritakan perihal yang kami lalui hari ini. Atha tak banyak membicarakan perihal Mika, kecuali ditanya oleh mama.
"Tidur, Koc"
Atha menutup pintu kamar dan mematikan lampu. Kami bergiliran ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur. Setelah selesai, Atha kembali duduk disofa dan berkutat dengan laptopnya. Gue mengernyit menatapnya.
"Gak tidur, Tha?"
Atha mendongak dan menatap gue. "Nanti. Duluan saja"
"Kenapa lagi? Lanjutin besok saja"
"Lo tidur duluan saja, Koc. Gua selesein ini dulu buat meeting besok siang, jadi gak bisa ditunda"
Gue turun dari tempat tidur dan menghampirinya--duduk disebelahnya. Atha terlihar gusar melihat keberadaan gue.
"Gue bantu?"
Atha menaikkan sebelah alisnya, "Emang bisa?"
"Dicoba. Tapi tidur dulu, besok pagi-pagi gue bantuin"
Atha menatap gue dengan sorot tak tega. Please deh, Tha! Gue cuma cemas saja kalau dia harus begadang demi tugas kantornya dan jadi kurang sehat nantinya. Wajar kan gue khawatir sebagai istri? Ya, karena gue sayang dan peduli padanya. Atha menyerah. Dimatikannya laptop dan ia membimbing gue kembali ke kasur untuk tidur. Well, sleep tight, dear.
***
The Matchmaking part6
Gue sudah siap mendorong koper gue menuju taksi yang sudah menunggu didepan. Hari ini gue akan pergi vacation bersama Rachel dan sesuai janji, gue harus menemuinya langsung di bandara. Atha masih belum pulang dari vacationnya bersama para sahabatnya, jadi gue harus berangkat sendiri ke bandara hari ini. Lagipula mang Jaja sedang libur hari ini dan papa sedang sibuk bekerja. No driver.
Saat berpamitan dengan mama, ada suatu emosi aneh diwajahnya yang membuat gue resah meninggalkannya. Ada apa? Dengan membaca doa, gue tetap berangkat.
None know how's the destiny, what will happen.
Lampu lalu lintas berubah hijau, taksi gue yang berada di line terdepan segera maju dengan kecepatan sedang namun dari sisi kanan ada mobil yang melaju kencang, mengabaikan lampu lalu lintas dijalannya yang sudah berubah merah. Gue sedang memegang telfon yang tersambung dengan Atha saat mobil tersebut menghantam taksi ini dan terlempar hingga taksi terbalik. Bagian kanan mobil hancur. Gue yang duduk di sisi kiri mobil mendapati kepala membentur kaca yang pecah dan terhimpit, juga tangan dan kaki. Gue lihat sang supir sudah tidak bergerak. Mata gue perlahan tertutup sambil meringis menahan rasa sakit saat orang-orang mulai berkerumun.
Seminggu sudah berlalu sejak hari dimana gue kecelakaan lalu lintas. Gue sudah diperbolehkan pulang. Hanya memar-memar yang masih tersisa di tubuh gue. Saat malam hari gue terbangun di rumah sakit, gue melihat Atha selalu tidur di sofa, menemani gue. Kadang kala bersama mama. Atha sempat marah atas kejadian ini. Ia berubah menjadi sangat protektif sekarang. Saat kejadian, Atha langsung terbang pulang, demi gue.
"Tidur, Koc"
"I'm feeling better, Tha"
"Tapi lo masih harus istirahat"
Gue menatapnya sebal, "Gue bosen, Tha, tiduran terus. Gue gak lumpuh!"
Dia menatap gue gusar, "Gua hampir mati membayangkan hal-hal sangat buruk saat itu, Koc! Enough!" jeritnya sambil menjambak rambut, frustasi.
Gue terdiam. Mungkin Atha memang sangat khawatir.
"Koci, mama bawain makanan nih"
Gue menoleh dan melihat mama di pintu. Entah apa, ada yang berbeda dari mama. Gue jadi merasa khawatir padanya. Gue bangkit dan berlari ke pelukannya dengan kaki ngilu karena memar. Gue merasa sangat merindukan mama. What's wrong? Mama melepas pelukan kami dan membimbing gue untuk duduk di kasur bersamanya. Atha sudah tidak ada, keluar entah kapan.
"How are you feeling, dear?"
"Fine. Mama sakit, ya?" tanya gue menelusuri wajahnya
Mama menggeleng dan wajahnya tampak berbeda. "Mama dan papa sedih banget saat kamu sakit kemarin. Kami takut"
"I'm okay, ma" kata gue meyakinkan
"Jaga kesehatan kamu, sayang. Jaga diri. Kami sangat sedih kalau kamu sakit"
Gue menatap wajah mama, meneliti setiap incinya. Mama masih tampak muda diumurnya yang sudah beranjak tua. Tak ada kerutan di wajahnya yang terlihat, tapi gue tahu bahwa ada kerutan samar disekitarnya. Matanya yang menatap gue sedih dan hidung mancungnya.
Kenapa gue merasa ada suatu unsur aneh dibalik kata-kata mama barusan? Astaga, Koci, jangan berpikiran jelek deh. Tapi memang ada aura yang berbeda dari mama, tak seperti biasanya. Gue kembali memeluk mama erat. Gue terlalu merasa nyaman dalam pelukan ini hingga enggan melepasnya. Tuhan, ada apakah ini?
"Papa pulang.." Papa muncul di ruang keluarga dengan jas ditangan dan tas kerjanya. Masih tampak gagah dan tampan. "Loh ada Atha sama Koci. Tumben"
Gue berlari ke pelukan papa--masih dengan kaki ngilu--dan mengeratkan pelukannya. Gue memaksakan berlari dengan kaki yang masih memar hingga hampir terjatuh, Atha sudah bersiap namun gue sudah menahannya. Papa juga memeluk gue dan membelai rambut gue seperti biasa in our quality time. Entah kenapa, gue merasa rindu sekali dengan papa. Kenapa?
"Wow, kamu kenapa, sayang? Kangen papa?" goda papa
"Banget!"
"Manja banget sih anak papa ini" dan papa mencubit hidung gue. "Malu ah sama suaminya. Masa sudah bersuami, tapi masih manjanya sama papa"
Gue mencibir namun tak rela melepas pelukan papa. Kami beranjak duduk dan gue tak lepas dari pelukannya.
"Ganti baju dulu gih" ujar mama
Gue menggeleng tegas. "Duh, ada apa sih? Kamu pakai lari segala untuk meluk papa padahal masih sakit, sekarang malah gak izinin papa ganti baju"
"I'm better, pa"
"Iya, papa percaya. Maafin papa, ya. Kalau waktu itu papa menyempatkan waktu mengantar kamu--"
"Bukan salah papa, kok. Papa bilang semua ini kuasa Tuhan, kan?"
Papa mengecup rambut gue, "Papa gak boleh ganti baju dulu nih?" Gue kembali menggeleng tegas. "Emang papa gak bau?" Gue mengendusnya dan kembali menggeleng. Papa tertawa melihat tingkah gue, begitupun kedua orang didekat kami. "Kapan ya, mah, terakhir kali Koci manja seperti ini sama papa?"
Mama tampak berusaha mengingat sebelum menjawab, "Waktu baru masuk SMP, kalau gak salah, pa"
Mama dan papa tertawa lagi, Atha pun ikut serta. Gue mengamati wajah kedua orang tua gue yang tampak berbeda kali ini. Wajah mereka tampak lebih bersinar atau.. hanya perasaan gue saja? Kenapa gue merasa ada yang aneh? Gue merasa ada suatu perasaan yang membuat gue ingin berada didekat mereka selalu dan enggan menjauh.
"Sepertinya kita harus foto keluarga, ya" usul papa
Gue menatap papa kaget. There's something wrong.
"Betul tuh, pa. Kan sudah lama sejak kita terakhir kali foto. Lagipula kini kita punya anggota keluarga baru. Mumpung masih pasangan baru"
Atha hanya tersenyum tipis. "Hubungi fotografernya, mah. Besok pagi kita foto. Ditaman rumah saja, jadi gak repot"
"Papa besok gak kerja?" tanya gue heran dan menatapnya
"Enggak. Papa ada dinas di Jogja. Oh ya, mama ikut ya"
Kening gue berkerut, "Kok tumben ngajak mama? Biasanya tunggu mama mengajukan diri dulu, pah"
Papa mencubit hidung gue lagi. "Ada acara yang harus dihadiri disana, sayang. Tega kamu kalau papa datang sendiri? Lagian nanti mama gak eksis lagi di grup sosialitanya" papa terkikik sendiri. "Kamu kok jadi kayak detektif gini ya, nanya terus"
"Kapan, pah?" tanya mama
"Lusa berangkat"
Mbok Sum datang dan membungkukkan sedikit tubuhnya--hormat. "Maaf tuan, nyonya, den, non, makan malamnya sudah siap"
Mama berterima kasih dan tersenyum. "Ayo kita makan. Dan papa ganti baju dulu"
Kami berdiri, pelukan papa akhirnya lepas. Papa beranjak ke kamar untuk berganti pakaian. Mama sudah menghilang duluan menyusul mbok Sum ke meja makan. Atha mendekati gue dan kami berjalan bersama menuju meja makan dengan lengannya melingkari pinggang gue, membantu gue berjalan. Protektif, huh?
Setelah makan malam, kami berkumpul diruang keluarga dan gue sengaja duduk diantara kedua orangtua gue. Bukan bermaksud menghindari atau menjauhi suami gue, tapi gue merasa sedang membutuhkan kedua orangtua gue sekarang. Papa dan mama jadi terus-menerus mengolok-olok sikap manja gue hari ini hingga gue meminta untuk menginap. Ya, gue sudah lama sekali gak bermanja ria dengan mereka. Wajar sekali jika mereka merasa heran.
"Tha, gue ikut mama papa ke Jogja, ya?" izin gue
Atha yang baru keluar dari kamar mandi pun menoleh, "Bukan kenapa, Koc, tapi lo masih sakit"
"Gue udah baikan, kok"
"Dokter minta lo istirahat" gue menatapnya bete. "Emang kenapa sih? Tumben banget"
Gue menggeleng, "Pengen ikut saja"
"Mereka cuma 5 hari, kok" gue tak menanggapinya. "Gini deh, kalau 2 hari lagi lo udah gua lihat bener jauh lebih sehat, kita nyusul"
Gue menatapnya dengan sumringah, "Beneran?" Atha mengangguk tegas dan tersenyum. Kegirangan, gue menghambur memeluknya. "Makasih banget, Tha!"
"Manja banget sih!" ledeknya
Gue meringis karena kaki gue terasa keram. Atha dengan sigap langsung mengurai pelukan dan memeriksa kaki gue dengan wajah cemas. Gue langsung dibaringkan di tempat tidur dan ia memijat pelan kaki gue. Terima kasih Tuhan karena telah memberikan suami yang baik untukku.
Paginya, kami sudah siap ditaman dan sang fotografer sedang mempersiapkan lokasi dibantu asistennya. Gue, mama, dan mama mertua gue mengenakan kebaya senada dan kain. Rambut mereka disanggul dan rambut gue hanya dijepit. Papa, Atha, dan papa mertua gue mengenakan jas hitam dan kemeja putih seragam. Tak lupa mbok Sum dan mang Jaja ikut serta dengan kami.
First shoot; kami berdelapan, sekeluarga besar. Second shoot; kami berenam, tanpa mbok Sum dan mang Jaja. Gue duduk diantara kedua mama dan Atha berdiri diantara kedua papa, tepat dibelakang gue. Third shoot; hanya kami berempat tanpa keluarga Atha. Lagi-lagi gue ditengah. Berikutnya hanya para orangtua, selanjutnya kami--pasangan muda, masing-masing pasangan, keluarga inti, gue dan mertua berserta Atha begitupun sebaliknya. Lagi, lagi, lagi dan lagi. Kami terus berfoto dengan pose absurd selanjutnya as this time is our last time.
Selanjutnya kami bercengkrama bersama setelah berganti pakaian--sang fotografer masih kami sewa untuk mengambil foto kegiatan kami seharian ini. Gue masih saja berada disisi orangtua gue.
"Duh, Koci manja banget sekarang, ya. Tumben" ledek mama mertua gue
"Gak betah ya tinggal sama Atha?" sahut papa mertua
"Pah!" tegur Atha yang membuat kami semua tertawa
Papa membelai rambut gue, "Gak tau nih. Koci manja sekali dari kemarin"
"Sejak pulang dari rumah sakit, tepatnya" sahut mama, menambahkan ucapan papa
"Mungkin pas kecelakaan ada sarafnya yang belok" timpal Atha asal yang mengundang tawa semua orang kecuali gue
Kami menghabiskan hari bersama. Makan siang, mengobrol, bermain, diskusi, menonton film dan lain halnya. As today is our last day.
Setelah makan malam, mertua gue pulang. Mama dan papa hendak tidur agar besok tidak telat bangun, dan mereka harus packing.
"Mah, pah, Koci tidur sama kalian ya malam ini?" pinta gue manja
Papa dan mama tertawa. "Malu dong sama suami"
"Tau nih. Lagian kasur mama nanti sempit"
"Maaah.. jangan pelit dong. Sekali doang kan" rengek gue manja
Mama dan papa berpandangan sejenak, "Gini deh, papa sama mama temenin kamu sampai kamu tidur saja, ya"
Gue sudah bersiap menjawab saat papa menatap gue sambil menggeleng. "No argue, dear"
Gue hanya mengangguk dan berjalan ke kamar gue bersama papa dan mama. Mereka permisi pada Atha atas hal yang memang memalukan ini untuk gadis yang hampir berumur 17 tahun ini. Atha mengerti dan keluar dulu. Gue tidur diapit kedua orangtua gue tersayang dan menggenggam tangan mereka.
***
Gue memeluk mereka satu persatu saat mereka masuk ke mobil.
"Hati-hati bawa mobilnya, mang"
Akhirnya mereka pun pergi. Gue berbalik dengan wajah sendu dan melihat Atha yang memberi senyum keyakinan pada gue.
***
Hal yang paling Atha tak suka adalah melihat Koci menangis. Sudah sejak 2 hari lalu ia menangis dan tak kunjung berhenti hingga hari ini, ia pun masih menangis dalam tidurnya. Sejak mendengar kabar orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil yang terjadi di Jogja saat dinas. Di makam, setelah mengubur jenazah kedua orangtuanya pun ia tak beranjak hingga sore hari. Itupun karena Koci pingsan. Koci tak pernah berbicara sejak saat itu, ia hanya menangis dan memanggil nama orangtuanya. Ia tak mau makan apapun, minum pun harus dipaksa. Atha takut Koci akan sakit.
Koci sedang menangis dalam pelukan Atha malam itu diruang keluarga rumah orangtuanya.
"Koc, kalau lo nangis terus, kasihan mereka gak tenang disana"
Koci berusaha menahan tangisnya dan menatap Atha dengan air mata yang terus mengalir. Atha tak letih menghapus air matanya dan memeluknya, berusaha memberinya kekuatan.
"Tha.."
Itu kata pertama yang diucapkan Koci dalam 3 hari ini. "Iya, Koc, lo mau apa? Makan, ya?"
Koci menggeleng, "Fira..sat gue.. be..ner.." ucapnya di sela isaknya
Atha mengernyit, berusaha memahami kalimat terbata yang diucapkan istrinya dan matanya melebar saat ia akhirnya paham. Ingatannya kembali ke beberapa hari lalu dimana hari-hari sebelum keberangkatan orangtuanya untuk perjalanan dinas, Koci menjelma menjadi sosok gadis yang sangat manja. Atha paham, sepertinya Koci sudah memiliki firasat hingga ia tak membiarkan waktu sedikit pun terbuang tanpa keberadaan orangtua disisinya.
"Fee..ling gue.. gak.. enak saat.. itu.."
Atha mengeratkan pelukannya. "Ikhlaskan mereka, Koc. Biar mereka tenang dan bahagia disana. Mereka butuh doa lo. Mereka pasti sedih lihat lo seperti sekarang ini. Mereka pasti gak ingin lihat lo sakit. Lagipula mereka tetap ada di hati lo, selalu ada buat lo"
Koci mengentikan tangisnya dan berusaha mengatur napas agar isakannya berhenti. Matanya sudah bengkak, kepalanya pusing, hidungnya merah dan tubuhnya lemas, Koci membiarkan Atha membelainya. Atha benar. Lagipula masih ada Atha, kedua mertuanya, mbok Sum dan mang Jaja untuknya. Hidupnya masih harus dilanjutkan.
"Misi den, non" mang Jaja sudah berlutut dihadapan mereka dengan berlinang air mata. "Maafin mang Jaja, non. Ini sepenuhnya salah mamang yang lalai dan gak hati-hati saat berkendara. Mang Jaja mohon ampun, non"
Koci melepas pelukan Atha dan tak tega melihat supirnya yang sudah menemaninya sejak kecil itu kini bersikap demikian. Koci menatap Atha yang mengangguk. Ia duduk dihadapan mang Jaja dan memegang lengannya.
"Udah, mang. Ini bukan salah mang Jaja, kok" ujar Koci pelan
Mang Jaja melihat wajah pucat majikannya yang ada dihadapannya, "Maaf, mang Jaja udah buat non jadi kayak gini"
Koci menggeleng dan berusaha tersenyum, "Enggak kok, mang. Kalau kata papa, ini takdir Tuhan. Ini bukan salah mang Jaja. Mungkin ini takdir terbaik Tuhan untuk mereka, tapi dengan mang Jaja sebagai saksi" Koci menarik napas panjang. "Koci gapapa, kok. Koci hanya belum bisa menerima semuanya kemarin. Tapi Koci akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Bantu Koci ya, mang"
Mang Jaja menghapus air matanya, "Mang Jaja sedih lihat keadaan non Koci yang kayak gini. Mang Jaja juga mohon izin mau pamit mengundurkan diri, non. Pasti non benci kan sama mamang"
Koci menggeleng cepat, "Enggak. Koci gak benci sama mamang. Koci sayang sama mamang. Mamang keluarga Koci juga, jangan tinggalin Koci ya, mang"
Mang Jaja segera memeluk majikannya dan menangis, "Maafin mamang, non. Mamang janji akan nemenin non Koci terus"
Koci pun membalas pelukannya. Akhirnya mang Jaja pamit kembali ke belakang dan datang mbok Sum yang membawa nampan berisi makanan, minuman, dan obat. Koci kembali duduk disofa dan bersandar pada Atha.
"Makan, non. Si mbok sedih lihat non kurus dan pucat begini"
Koci tersenyum dan mengangguk, "Biar Atha yang suapin, mbok"
Mbok Sum tersenyum dan mengangguk. "Si mbok permisi dulu, mau ke belakang"
Atha menyuapi Koci dengan bubur perlahan dan dengan sabar. Koci masih bersandar di satu lengannya. Koci diminta menghabiskan jusnya. Setelahnya, Koci memilih tidur daripada meminum obat. Rasa pusingnya pasti akan hilang jika dibawa tidur. Atha selalu mendampinginya hingga ia hampir tertidur.
"Tha.."
"Hm?"
"Tidurnya geser gih"
Atha menatap Koci yang tidur dalam pelukannya. "Kenapa emang?" tanyanya bingung
"Gue pasti bau. Gue kan belum mandi"
Atha mengendus leher Koci dan cemberut, "Iya, bau banget"
Koci mencubit pinggangnya sebal, "Atha!"
Atha tertawa dan seketika mimik wajahnya berubah serius. "Gua akan selalu ada buat lo, nyemangatin lo. Lo gak sendiri, Koc. Masih banyak orang yang akan ada buat lo. Gua akan selalu berusaha apa pun buat lo. Gua gak suka lihat lo nangis, sedih, apalagi samapi terpuruk kayak gini. Bukan cuma gua yang gak suka, yang lain juga, apalagi orangtua lo" Koci kembali menitikkan air matanya. "Koc, kenapa?" Dengan sigap, Atha menghapus air matanya
Koci tersenyum, "Makasih, Tha. Lo selalu ada buat gue. Gue sangat bersyukur karena gua adalah istri lo. Gue sangat berterima kasih pada papa dan mama. Mungkin mereka udah firasat akan ninggalin gue secepat ini makanya mereka menikahkan kita diusia muda"
Atha memeluk istrinya erat, "Mereka pasti bahagia punya anak yang sayang banget sama mereka"
Koci menatap Atha dan bertanya, "Apa lo juga merasa kehilangan?"
Atha menatap Koci lurus dan menghembuskan napas pelan. "Jelas gua juga kehilangan. Mereka adalah mertua gue dan orangtua yang baik. Gua udah sayang mereka"
"Tapi gue gak lihat lo sedih"
Atha tersenyum tipis, "Taraf kesedihan pasti berbeda tiap orangnya. Lagipula bukan karena gua gak kelihatan sedih artinya gua bener gak sedih. I'm not show it. Kalau gua sedih, gimana cara gua nyemangatin dan nolong lo?"
Koci memeluk perut Atha erat, "Makasih, Tha. Thanks for always there for me"
Koci dan Atha tertidur dengan berpelukan. Hati Koci terasa lebih lega setelah percakapannya dengan sang suami malam itu. Kehilangan kedua orangtua yang disayanginya dalam kecelakaan lalu lintas memang menjadi pukulan berat bagi Koci. Namun keberadaan orang-orang disekitarnya yang mendukung dan menyayangi, membantunya bangkit. Jalan hidupnya masih berjalan. She has to face the world without her beloved parents but with her beloved husband. Semoga ini menjadi garis indah dalam hidupnya.
***
Thursday, January 15, 2015
The Matchmaking part5
"Gua ada rencana liburan sama Mike dan Mika. Mau ikut?"
Gue menatapnya yang sedang berbaring di pangkuan gue, "No"
"Mereka tahu status kita sebagai sepupu. Why not?"
Gue menggeleng, "Gapapa. Gue ada rencana juga travelling sama nyokap"
"Dan gua gak diajak?"
Gue terkekeh, "Kan lo mau pergi sama temen-temen lo"
Dia menahan tangan gue di pipinya, "Gua udah kirim pengajuan study disana dan udah dikonfirmasi. As you wish, Maret gua ujian, disana"
Gue tersenyum kecil, "Good luck!"
Dia mencium tangan gue, "Gua sayang sama lo"
Mata gue seketika panas dan air mata haru menetes. Ini romantis, kan? Alhamdulillah, betapa indah karunia-Mu, ya Allah. Sebuah perjodohan tanpa dasar perasaan apapun dan tanpa mengenal baik satu sama lain, kini mulai menumbuhkan perasaan yang kuat di diri kami masing-masing untuk yang lainnya.
Ujian akhir semester telah selesai dan libur telah tiba. Malam ini, kami packing bersama. Sebuah tas besar milik Atha dan koper sedang milik gue. Rumah telah rapi dan bersih, siap untuk ditinggal. Besok pagi-pagi sekali Atha akan mengantar gue ke rumah mamanya. Dari sana ia akan dijemput kak Mike dan gue melanjutkan menyetir sendiri mobilnya ke rumah mama bersama mertua.
"I'll gonna miss you" bisiknya
***
The day comes. Gue gak tahu kalau ternyata tujuan wisata kami adalah ke pulau Belitung. Dasar mama, suka yang aneh-aneh. Kami duduk di waiting room dan menunggu pesawat kami. Kami terlibat perbincangan menarik. Ternyata luar biasa rasanya holiday sama para ibu-ibu ini ya.
Tiba di lokasi, kami langsung menuju pantai yang cukup eksis hingga diangkat ke sebuah novel dan film. Subhanallah, indahnya alam ini, betapa besar kuasa-Mu, ya Tuhan. Gue menghirup aroma asin laut dan menikmati pantainya yang indah. Gue menatap kedua nyokap yang sibuk berfoto ria. Gue sendiri memilih mengabadikan pemandangan, dalam hati berharap bisa berada disini bersama Atha.
Dari siang hingga sore kami menghabiskan waktu untuk berbelanja, biasalah perempuan. Gue hanya membeli beberapa barang mengingat rumah bersama Atha menganut sistem simple yang tak sebebas dirumah mama yang diletakkan disembarang tempat. Saat sedang memilih barang-barang, gue teringat Atha. Apakah gue harus membeli sesuatu untuknya?
Setelah makan malam, kedua nyokap gue bergosip ria sambil menonton acara di televisi. Gue merasa gak cocok berada diantara mereka, merasa tua banget kalau ikutan. Akhirnya gue pamit ke pantai. Mumpung disini, memanfaatkan pantai untuk berbagi penat dan menikmati keindahan, apa salahnya, di Jakarta kan pantainya jauh.
Gue membawa serta kamera untuk mengabadikan keindahan pulau Belitung ini. Siapa tahu gue bisa berbagi pengalaman dengan Atha nanti. Haaah.. berjalan ke pinggir pantai, gue menikmati gelapnya pantai. Agak takut, gue memeriksa apakah sosok tersebut benar manusia atau bukan.
Dibalik batu, gue menemukan kebenarannya. Dua manusia duduk dan sedang mengobrol.
"Dia manis, cantik" ujar suara perempuan. "Gue gak tau lo punya sepupu perempuan"
"Dia baru tiba dari luar Jakarta"
Kening gue mengernyit. Gue kenal suara ini. Suara dingin dan ringan ini sangat familiar di telinga gue. Ini mirip suara Atha, tapi kan Atha sedang di Lombok, gak mungkin dia ada disini. Rasa penasaran mengusik gue untuk mengintip, tapi gue takut mereka terganggu dan bukankah ini tindakan yang tidak sopan? Gue bergeming, mendengarkan mereka dengan setia.
"Siapa pacar lo sekarang?"
"Emang kenapa?"
"Cuma nanya, kok. Well, lo jadi pergi?" Sang cowok menjawab dengan gumaman saja yang tak dapat gue dengar jelas. "Well, lo tahu gue punya rasa sama lo, Ga. Sampai sekarang"
Ga? Apa yang dimaksud perempuan itu adalah Aga--Agatha--Atha? Aliran panas mengalir di pipi gue. Apa benar itu Atha? Dan kalau itu atha berarti Mika disampingnya? Benarkah Mika yang mengatakan memiliki perasaan pada Atha hingga saat ini?
"Nyokap lo pernah bilang kalau lo juga pernah suka gue wakti SMP, bener? Tapi kenapa lo gak pernah bilang?"
"It's too late, Mik" suaranya terdengar sedih
Mik? He means Mika? So, it is true. They're Mika and Atha. Air mata mengalir semakin deras di pipi tak tertahankan. Gue hanya mampu menahan diri agar isakan gue tak terdengar. Gue harus kembali ke penginapan. I don't care about them. Masalahnya, apakah gue masih sanggup berjalan dengan kaki lemas ini?
"Too late? Jadi lo bener udah punya pacar? Lo sekarang jadi lebih tertutup, Ga"
"Ada waktunya nanti"
"Gue kangen Aga-gue"
"Gua masih disini, Mik. Gua masih sahabat lo. Dan gua sayang sama lo"
Gue jatuh terduduk dibalik batu. It's so painful. Atha sayang Mika. That's the point. Kenapa gue harus hadir diantara mereka? Kenapa harus seperti ini?
***
Agatha ▶ Gue gak jadi ke Lombok, lagi di Belitung nih. Gimana liburan sama mertua?
Gue membaca pesan dari Atha pagi ini tanpa ada niat membalasnya. Gue masih bergelung diri dalam selimut, enggan beranjak. Gue takut akan bertemu Atha, tapi kalau gue hanya diam, pasti kedua nyokap gue akan curiga dan khawatir. Dan well, ini liburan, gue harus have fun dong.
"Sudah bangun, Koci?" tanya mertua gue
Gue keluar dari selimut dan tersenyum, "Udah kok, mah"
"Mama kamu sedang mengambil sarapan kesini" Gue hanya mengangguk. "Tadi malam Atha telfon waktu kamu di kamar mandi"
Gue mengernyit. Apa mama juga tahu kalau Atha juga ada disini? Bisa gawat. Kalau mama tahu pasti kami akan liburan bersama. Sedangkan gue belum sanggup melihat Atha bersama Mika, yang jelas-jelas mereka memiliki perasaan satu sama lain.
"Atha nanyain kamu karena ponsel kamu mati katanya. Mama rasa dia sudah kangen sama kamu"
Gue tersenyum tipis sekali. "Atha sudah sampai, mah?"
Mama mengangguk, "Iya. Pasti Lombok terlalu menyenangkan ya"
Lombok? Mama belum tahu kalau Atha ada disini? Apa mama sudah bilang kami juga disini? Gue merasa pusing memikirkan hal ini. It hurts me so deep.
"Atha punya sahabat dekat ya, mah?"
"Ya. Atha punya dua sahabat baik yang sangat dekat dengannya. Mike, yang dikenalnya sejak SMP dan Mika yang adalah teman sejak SD. Mike satu sekolah dengan kalian, kamu kenal dia, kan?" Gue mengangguk mengiyakan. "Ya, mereka bersahabat dan memang dengan Mika, Atha lebih dari sekedar dekat"
Gue telan bongkahan pahit yang terasa ditenggorokan, "Deket banget, mah?"
"Ya. Bahkan Mika cerita kalau dia memang punya rasa dulu. Atha pun sempat memiliki rasa dulu sama Mika. Mereka gak pernah pacaran, tapi mereka protect satu sama lain setiap yang lain punya pacar. Tapi itu dulu kok, sayang"
Gue berikan senyum tipis padanya, "Oh ya, mah, Atha punya banyak nama panggilan, ya?"
"Maksud kamu?"
"Kita manggil dia Atha. Disekolah dia dipanggil Agatha dan sama sahabatnya dia dipanggil Aga"
Mama terkekeh geli, "Kamu pasti bingung, ya" Mama menyelesaikan tawanya dan mengatur napas. "Dari kecil dia selalu memanggil dirinya dengan nama Atha. Kata dia, manggil Agatha susah, kepanjangan. Jadilah nama Atha. Dan sejak sekolah teman-temannya lebih suka manggil nama depannya, Aga dan sebagian lagi Agatha. Jadi teman-temannya dipersilahkan memanggil namanya Aga atau Agatha, asal jangan Atha" jelas mama panjang lebar
Gue mengernyit, "Kenapa?"
"Karena Atha adalah nama kecilnya dan hanya keluarga yang boleh"
Gue menunduk, "Berarti Koci lancang ya, mah"
Mama menggeleng tegas, "Enggak dong, sayang. Kamu kan juga kini keluarga kami juga"
Gue tersenyum, "Tapi mah, Mika cantik, kan. Kenapa Atha gak dijodohin sama dia saja? Pasti cocok"
Mama menggenggam bahu gue, pandangannya lembut, "Kami memilih kamu, sayang. Kami tahu kamu yang terbaik buat Atha, insyaAllah"
Rasanya mata gue panas mendengar jawaban mama barusan. They choose me. Gue tersenyum dan memeluk mama erat. Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau biarkan mereka memilih hamba-Mu ini. Berkahilah kami selalu.
***
Sore hari hujan turun namun gue masih berada disekitar pantai. Terpaksa gue harus berteduh hingga hujan reda, gue tak membawa ponsel karena sengaja gue matikan demi menghindari Atha, dan sekarang gue menyesal karena tidak bisa mengabarkan nyokap.
Hujan masih deras dan gue semakin merasa dingin. Gue memeluk tubuh gue yang hanya memakai kaos dan celana pendek. Sebagian tubuh gue sudah basah. Gue menahan gertakan gigi yang menggigil. Disaat tak tepat inilah takdir memilih gue untuk dibuat kaget. Didepan gue berlari tiga orang. Satu laki-laki menutupi kepalanya dengan jaket sendiri dan dijaket satunya digunakan oleh sepasang anak manusia yang jelas gue kenal siapa.
Dingin semakin menggigit kulit gue, dingin menjalar semakin luas ke dalam hati dan pikiran. Astaga.. gue benar-benar kedinginan melihat mereka. Kenapa Atha harus berbagi jaketnya dengan Mika? Kenapa bukan kak Mike saja?
Gue tak lagi mempedulikan hujan deras yang mengguyur, gue melangkahkan kaki kembali menuju hotel, menghindari pemandangan yang meremukkan hati. Ini liburan gue, bukan kesedihan yang ingin gue rasakan. Gue harus menghindari mereka demi liburan gue yang seharusnya menyenangkan ini.
Gue melihat Atha merangkul pinggang Mika mesra dan berjalan ke arah gue dengan tawa yang lepas. Mereka terlihat sangat bahagia. Dan Mika mencium pipi Atha. Gue menangis berlinang air mata dan terisak sendirian di tengah pantai.
***
"Koci.. bangun, Koc"
Ada yang memanggil nama gue. Suaranya familiar, nada suaranya cemas dan takut. Ada apa? Gue membuka mata yang terasa berat dan merasa silau melihat cahaya. Seseorang duduk disebelah gue. Pandangan gue kabur karena kepala gue yang pusing, hal tersebut yang membuat gue tak mengenali siapa dia.
"Pusing, Koc?"
Dia menggenggam tangan gue setelah mengganti kain kompres di kening. Rasanya damai sekali. Pasti nyokap gue. Maafin Koci karena Koci sakit disaat liburan gini.
Gue kembali bangun dan sudah merasa lebih baik, tapi ruangan tampak gelap, sepertinya hari sudah malam. Gue duduk dan menyadari tangan gue masih digenggam. Gue menoleh ke si pemilik tangan dan menemukan sosok Atha yang sedang tidur disamping gue, ditempat tidur yang sama dengan gue, dikamar yang sama, dikasur sempit ini. Gue terbatuk karena kaget dan suara batuk gue membangunkan Atha.
"Koc, udah sadar?" tanyanya cemas
"Gue tadi tidur kok, bukan pingsan"
"Syukurlah" dia tersenyum dan memeluk gue. "Jangan hujan-hujanan lagi, Koc. Gua khawatir lo sakit"
Tubuh gue membeku dalam pelukannya, "Lo kenapa disini?"
Dia mengurai pelukannya dan menatap gue, "Mama nelfon"
"Bukannya lo di Lombok?" tanya gue innocent
Dia mengedikkan bahunya, "Tau tuh Mike, mindahin lokasi tanpa konfirmasi"
Gue mengangguk. "Lo bisa balik ke penginapan lo. Sana"
"Ngusir nih? Selow, temen-temen gue tahu kok gua disini"
Gue menatap dia kaget, "What?! Jadi mereka udah--"
"Ssttt.." Dia menginterupsi dengan jari telunjuknya di bibir gue. "Ya, gua bilang ke mereka kalau gua mau nemenin sepupu manja gua ini"
Kepanikan gue berubah menjadi kesedihan. Sepupu. Kenapa Atha gak bisa jujur pada sahabatnya? Mereka orang terdekatnya, kan? Kenapa?
"Kenapa, Koc? Masih pusing?"
Gue menggeleng, "I'm feeling better"
"Sorry karena gua belum bisa nunjukkin lo sebagai istri gue, Koc. Terlalu beresiko karena Mike satu sekolah dengan kita"
"Karena lo gak mudah percaya sama orang lain" koreksi gue
Dia menunduk, "Hanya orangtua gua yang gua percaya" dan kembali ia menatap gue. "Dan lo"
"Kenapa? Apa lo pernah dikecewain sama orang lain?"
"Ya"
"Would you mind to tell me?"
Dia mengangguk, "Not now. It's time to sleep"
Gue menoleh ke tempat tidur sebelah dan melihat kedua nyokap gue telah tidur lelap. Atha membaringkan gue dan memakaikan selimut.
"Lo balik saja, Tha. Lagian disini kan sempit"
"Penginapan gua jauh, Koc. Lo tega?" Gue terdiam. "Lagian juga, kayaknya lo yang keberatan berbagi tempat tidur sama gua?" Dia berdiri. "Gua bisa tidur dikursi atau dilantai--"
"Enggak!" Gue menahannya. "I don't mind. Gue juga gak tega. Udah tidur disini saja sama gue. Tapi maaf sempit dan jangan macem-macem!"
Atha tersenyum dan naik ke tempat tidur, berbaring disamping gue. "Loh, lo kan istri sah gua, salahnya apa macem-macem? Udah halal, kok"
Gue memasang wajah horror dan dia terkekeh. Dia mencium kening gue--kebiasaan sebelum tidur--dan tidur menghadap gue dengan tangannya melingkar di badan gue--posisi memeluk--dan memejamkan matanya. Kepalanya diatas kepala gue, wajah gue di dadanya. Hangat. Kami berbagi selimut dan bantal, juga asur kecil ini. Indahnya:)
Paginya gue bangun dengan batuk yang tertahan. Tak ingin membangunkan Atha atau nyokap, gue beranjak keluar kamar dan melihat langit masih gelap. Dengan memakai jaket dan celana tidur--tak lupa mengambil kamera--gue berjalan ke pantai, mengejar sun rises yang pasti akan indah, walau sambil terbatuk.
Saat matahari terbit, gue abadikan moment yang ada sambil memanjatkan doa pada Tuhan.
Ya Tuhan, betapa indah alam dan karunia-Mu. Betapa kuasa-Mu atas alam nan indah ini. Hamba panjatkan doa semoga manusia sadar akan keindahan alam-Mu dan menjaganya. Saat ini, kupinta juga keridhaan-Mu atas rumah tangga kami, berkahi kami. Aamiin.
Setelah memanjatkan doa, gue pejamkan mata, berusaha meresapi hangat mentari yang berpadu dengan laut. Sebuah tangan melingkari bahu gue, memeluk erat. Kepalanya dileher gue. Dapat gue rasa napasnya yang tersenggal-senggal.
"Kenapa pergi sendiri, Koc?"
Gue membelai rambutnya dan tersenyum, "Tadi kebangun duluan"
"Kenapa gak bangunin gua?"
"Kenapa harus?"
"Gua khawatir" jawabnya pelan
"Sorry, I don't mean that" dan gue kembali kembali terbatuk
Dia melepas pelukannya dan menatap gue cemas, "Koc, kenapa?"
Gue sudahi dengan paksa batuk ini, "Kehujanan semalem kayaknya"
Dia menggertakkan giginya, terlihat kesal. "Gerak-gerik lo harus sepengetahuan gua. Ngerti?"
Gue hanya mengangguk dan kembali merasa pusing setelah batuk. Sial! Masa di liburan gini gue harus sakit. Gue duduk diatas pasir sebelum jatuh, Atha ikut duduk disamping gue dan tangannya merangkul gue. Dari tangannya, gue dapat merasakan suhu tubuhnya.
Gue menatapnya, "Lo demam, Tha"
Dia mengedikkan bahu tak acuh, "Gua juga kehujanan kemarin"
I know. "Kita selalu sakit bareng ya"
Dia menggeleng, "Gua selalu setelah lo"
"Jangan sakit, Tha"
"Kalau gitu, lo juga gak boleh sakit"
Gue tersenyum dan memeluk perutnya. Ikut merasakan panas tubuhnya. Kepala gue dibahunya dan kepalanya diatas kepala gue. Gue rasa ini adalah pagi terindah yang pernah gue alami selama liburan ini. Menikmati matahari terbit dipantai, dan berdua dengan suami menyambut hari ini.
"Lo jangan lupa minum obat ya"
"Gua gak akan lupa kalau lo ingetin terus"
"Gue gabisa ngingetin terus"
"Kenapa?"
"Lo liburan sama temen lo, kan"
Diam sejenak sebelum ia menjawab, "Kita belum pernah liburan bareng"
Gue mengernyit dan terbatuk. Uhuuk.. uhuuuk.. batuk ini menyakitkan. Atha melepas pelukannya dan membawa gue kembali ke penginapan. Ia membawakan kamera gue sementara gue masih terbatuk. Rasanya seperti ada yang ingin keluar dari tenggorokan namun tidak bisa dan membuatnya gatal.
Dipenginapan, gue tahan batuk gue yang tak henti sedaritadi tapi malah membuat gue menggonggong seperti anjing. Dan Atha langsung mencari obat batuk. Penginapan sepi, pasti para ibu-ibu sedang jalan-jalan menghabiskan waktu liburan dengan bahagia.
"Shit!" umpatnya. "Gak ada obat batuk"
"Uhuuk.. kayaknya kotak obatnya.. uhuuk.. uhuuk.. dikoper mama" ujar gue dengan terus batu
Dia berdecak kesal, "Udah deh, lo diem!"
Gue malah terus batuk walau sudah ditahan. Akhirnya Atha membuatkan minuman panas karena tidak menemukan obat--koper mama dikunci. Dia membantu gue meminumnya. Jarak tipis diantara kami menyadari gue bahwa wajah Atha pucat. Sial, gue lupa Atha demam! Gue menarik Atha duduk ditempat tidur.
"Apaan sih!" hardiknya
"Tiduran, Tha. Gue ambil kain dulu"
Gue berlari ke kamar mandi untuk membasahi kain sambil terbatuk. Atha sudah berbaring dengan memejamkan mata saat gue kembali. Gue letakkan kain basah dikening Atha dan membelai pipinya. Dia pasti pusing.
"Lo tiduran juga"
"Gue ambilin sarapan ya"
Dia menggeleng, matanya terpejam, tapi tangannya tak melepas tangan gue. "Stay here"
"Lo harus makan, Tha" dia diam tak menjawab. "Gue punya bubur instan, kok"
Dia bergumam dan melepaskan tangan gue. Secepat yang gue bisa, gue seduh bubur instan yang ada dan langsung menyuapi Atha. Pasti dia menahan pusingnya dan memaksakan diri hingga sekarang puncak pertahanannya.
Setelah selesai menyuapi Atha, gue duduk disebelahnya, menemaninya hingga tertidur. Angel's face. Gue pun berberes setelah memastikan Atha telah lelap dengan nyaman. Pintu diketuk dari luar. Pasti ibu-ibu pulang nih. Gue membuka pintu dan kaget melihat sosok yang berdiri didepan gue.
"Hei"
***
Gue duduk diatas pasir, memperhatikannya yang sedang menulis diatas pasir dengan kayu yang ditemukannya. Gue belum tahu apa tujuannya mengajak gue kesini, tapi satu yang gue tahu, dia butuh privasi--tanpa Atha.
Kegiatannya selesai dan dia bersorak senang. Gue menyipitkan mata, memfokuskan pandangan untuk melihat hasilnya. Ia menuliskan sebuah nama dengan ukuran cukup besar dengan simbol love diujungnya. Agatha.
"Lo deket banget ya sama Aga?" tanyanya sembari berjalan mendekat
Gue buang pandangan ke lautan luas, "Bisa dibilang gitu"
"Kelihatannya Aga sayang banget sama lo" gue hanya diam. Berpikir dan enggan menjawab. "Gue suka iri kalau ada orang yang manggil nama kecil dia and I can't" dia menoleh pada gue yang tak melepaskan pandangan dari lautan. "Lo beneran sepupunya?" tanyanya ragu yang membuat gue menoleh menatapnya. "Bukan pacarnya, tunangannya, atau bahkan orang yang dijodohin sama dia?"
Oh God.. she shoots the point! Gue kembali memandang laut, menata pikiran gue yang kacau karena tebakannya. Belum saatnya dia tahu yang sebenarnya. Ini hak Atha. Gue menarik napas dan menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
Dia terkekeh kering, "Gue baru lihat lo kali ini. Selama 12 gue kenal Aga, gue gak pernah tahu kehadiran lo. Gue gak pernah lihat lo diacara perayaan ulang tahun tante Ambar selama 12 tahun ini, dimana seluruh keluarga besar dan kerabat diundang, tapi gak pernah ada lo"
"Perayaan ulang tahun ma--tante Ambar?" tanya gue kaget
Dia mengangguk, "Ya, setiap tahun tante Ambar selalu merayakan ulang tahunnya. Dan sejak kenal Aga, gue selalu diundang"
Sedekat itukah mereka? "Kami gak tinggal disini sebelumnya"
Dia menatap gue terkejut dan mengangguk, "Oh, pantes. Sorry, ya" Gue mengangguk samar. "Gue kenal Aga sejak kita masih sama-sama baru bisa nulis" Dia tersenyum dan matanya menerawang. "Aga emang udah ganteng dari kecil, dan dia baik. Dia tipe yang suka melindungi orang yang disayanginya apapun yang terjadi"
"Lo kenal dia dengan baik"
"Cukup baik sampai bukan hanya sayang rasa gue buat dia, tapi cinta"
Ini dia. Inilah pengakuan yang tepat sasaran. Gue meringis, hati gue menangis, perih seperti disayat. Ada orang lain yang tulus mencintai Atha sejak lama dan mengenalnya cukup baik. Gue? Perasaan gue buat Atha baru tumbuh, gue gak mengenal dia dengan baik. Sedang gadis disebelah gue ini cantik. Wajarkan gue menangisi ini?
"Kenapa lo bisa bilang kalau gue adalah bukan sepupunya?"
"Tante Ambar pernah meminta maaf karena ia telah menjodohkan Aga dengan anak sahabatnya sejak kecil"
"Kenapa lo gak nembak dia?"
"Dia pernah nasihatin gue, sebagai cewek jangan pernah memulai, nembak duluan itu merendahkan harga diri lo" gue menyimak ucapannya. "Lo tahu siapa pacar Aga sekarang?" Gue. Impossible for me to admit it, right? Gue menggeleng. "Dia gak pernah cerita?"
Gue mengedikkan bahu, "Gue gak berani nanya dia. Kalau dia cerita ya fine kalau enggak no problem"
"Gue takut" ucapnya dan menatap gue. "Takut Aga nerima perjodohan itu"
***
Atha baru saja selesai mandi dan membanting dirinya dikasur saat ponselnya bergetar di nakas. Atha langsung meraih ponselnya dengan harapan sang istri yang dirindu yang menelfon, namun harapannya pupus saat melihat nama sang mama. Dengan agak malas ia pun mengangkatnya.
"Halo, mah"
"Tha.." panggil mamanya dengan nada cemas
Atha mengernyit, "Mah?"
"Tha, Koci sakit"
Atha langsung terduduk, kaget. "Sakit apa? Kok bisa?"
"Dia tadi pulang dari pantai dan kehujanan. Sekarang dia demam tinggi setelah mandi tadi"
Atha merasa dadanya sesak. "Atha kesana sekarang. Mama kirimin alamat penginapannya sekarang"
Saat telfon diputus, Atha menarik napas dalam. Ia tak bisa melihat Koci sakit, ia tak suka melihatnya, ia sedih. Ia tak mau Koci sakit, hatinya ikut sakit. Ia sudah benar memiliki rasa sayang pada Koci hingga ia bisa bersikap over protektif padanya, bahkan melebihi papanya.
Atha beranjak memakai celana jeansnya dan jaket lalu memasukkan sebuah kaos dalam sebuah kantong--untuk pakaian ganti. Mike dan Mika yang melihat Atha sudah rapi berpakaian kembali menjadi bingung dan penasaran.
"Rapi banget, bos. Mau kemana?" tanya Mike
"Gua mau ke penginapan nyokap. Gua gak balik"
Mika menghampirinya dengan wajah agak cemas. "Tante Ambar baik-baik saja, kan?" Atha menatap wajah cemas sahabatnya dan mengangguk, "Terus kenapa lo kesana, Ga?"
"Sepupu gua sakit. She needs me"
Kedua sahabatnya memberikan tatapan tak mengerti padanya. "Koci?" Atha tak menjawab pertanyaan Mike. "Dia ada disini? Terus kenapa lo kesana? I mean, kenapa harus?"
"Dia manja sama gua, she really needs me. Sorry, gua duluan"
Atha langsung pergi setelah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan curiga sahabat-sahabatnya itu. Atha berlari dengan payung yang dibawanya dibawah guyuran hujan. Hatinya cemas memikirkan Koci yang sakit. Jarak penginapannya dan penginapan Koci cukup jauh, tapi tak ia pedulikan demi Koci.
Atha tiba dan melihat sosok mamanya yang menunggunya didepan. Meletakkan payungnya dan membuka cepat sepatunya, ia memeluk mamanya. Ia dipersilahkan masuk dan melihat sang mertua duduk disamping sosok istrinya yang terbaring dengan wajah pucat. Wajah Atha sangat cemas, hatinya mencelos. Ia bergerak mendekati tempat tidur, mertuanya tersenyum mempersilahkannya.
"Koci butuh kamu, Tha" dan mertuanya keluar
Atha duduk dan menatapnya sendu, "Koci.. bangun, Koc" ujar Atha pelan, sarat akan kecemasan
Atha meremas telapak tangan istrinya pelan, berusaha mengalirkan kekuatan yang dimilikinya. Perlahan mata Koci terbuka. Gerakannya terlihat sulit. Atha menarik napas--sedikit lega dan mengantisipasi gerakan istrinya. Mata Koci terus menyipit, sepertinya ia merasa silau melihat cahaya lampu ruangan.
"Pusing, Koc?"
Atha menggenggam tangan Koci dan mengganti kain kompres di keningnya. Perlahan mata Koci kembali menutup dan napasnya terdengar mulai teratur, sepertinya ia kembali tidur. Atha membelai pipi istrinya dan menghapus peluh diwajah itu.
Hari semakin malam dan kedua mamanya beranjak ke alam mimpi. Ia meminta izin kepada mereka untuk tetap disini menemani istrinya yang masih demam. Tanpa keberatan, ia langsung mendapat izin dengan gampangnya. Atha terus menunggu, setia duduk disebelah sang istri, berjaga-jaga dengan keadaannya hingga tengah malam. Melihat sepertinya Koci benar tidur lelap dan waktu telah menunjukkan waktunya istirahat, ia menggeser tubuh istrinya dan ikut berbaring disampingnya, diatas kasur ukuran single ini, pasangan muda ini tidur bersama, menikmati alam mimpi dalam kedamaian hati.
***
Atha bangun dengan kepala masih pusing namun merasa tubuhnya baikan. Ia memindai seisi kamar dan tidak menemukan Koci disisinya. Atha melotot panik dan melompat turun dari kasur, keluar kamar dan menemukan kedua mamanya sedang mengobrol ringan.
"Koci dimana, mah?!" tanyanya cemas dan panik
Kedua mamanya menoleh dan tersenyum, "Kamu sudah baikan, Tha?"
"Koci sedang mandi" Atha menghela napas lega mendengar. "Sebaiknya kamu juga mandi" jawab sang mertua dengan senyum
"Iya. Kamu harus segera bersiap, sudah sore"
"Bersiap?" tanyanya bingung
"Ya, malam ini kita akan BBQ-an. Mama sudah hubungi Mika dan Mike juga untuk bergabung bersama"
Atha menggeleng cepat. "Koci lagi batuk, mah, dia masih sakit. Dia gak boleh kena angin malam"
"Koci yang minta, Tha" sahut mertuanya. "Lagipula besok kita sudah harus kembali ke Jakarta. Jadi biarkanlah dia menikmati malam ini"
Atha mengernyit, "Besok?"
"Iya" jawab suara dibelakangnya
Semua menoleh dan menemukan Koci yang sudah berdiri dibelakang mereka. Ia telah siap mandi. Ia menyunggingkan senyumnya, tapi Atha melihat ada kesedihan dibalik senyumnya. Atha menarik Koci dalam pelukannya, melepaskan segala rasa yang ada dihatinya.
"Rachel ngajakin liburan bareng ke Singapore"
Atha yang sedang menyiapkan bara, mengernyit menatapnya. "Kapan?"
"Lusa pagi. Paling cuma 2 hari"
"Gua gak diajak?" godanya iseng
Koci tersenyum, "Rachel tahunya lo itu senior charmingnya"
Atha hanya menanggapinya dengan tersenyum dan melanjutkan tugasnya. Tak lama kemudian, Mika dan Mike datang bergabung bersama mereka. Mika bergabung membantu BBQ dan berbincang dengan para ibu-ibu. Sedangkan Mike bergabung bersama Atha mengurusi bara.
Suasana menjadi riang saat acara BBQ dimulai diiringi suara musik yang diputar dipinggir pantai itu. Mike dan Atha sibuk menjadi kuli kipas dan para perempuan sibuk mengobrol sambil menusukkan bahan-bahan BBQ. Hujan sepertinya enggan turun malam ini. Malam dihiasi bintang yang bertaburan di langit, menghiasi suasana diantara mereka. Ikatan diantara mereka yang terasa akrab.
Selesai membakar, Mika menarik Atha menjauhi lokasi mereka berada dan duduk bersama menikmati hasil BBQ mereka. Tak kalah, Mike membawa Koci juga menjauh dari mereka. Hanya tersisa kedua ibu yang akhirnya menghabisi hasil masakan mereka dengan bahagia.
"Lo sama Aga deket banget, ya?"
Koci menoleh pada orang disebelahnya dan tersenyum tipis. "Begitulah"
"Lo tau sesuatu tentang perjodohan Aga?" Koci menggeleng pelan, menahan hati. "Gua penasaran sama calonnya Aga dan reaksi Mika tentunya"
Koci mendengus, "Kenapa sih calonnya Atha harus menghalangi mereka?"
Mike tiba-tiba menarik Koci dalam pelukannya, "Gua gak peduli tentang Aga sekarang, Ci. Yang gua tau sekarang, gua suka sama lo"
Koci membeku mendengar pengakuan Mike yang tanpa aba-aba. Ia tak dapat berkata atau merespon apapun. Benar apa yang Atha katakan; Mike menyukainya! Koci hanya menunduk--tak membalas pelukan Mike. Tak sengaja ia bertemu pandang dengan Atha yang sedang menatap mereka dengan pandangan tak suka. Ia tahu, ia salah. Ia adalah istri orang namun ia malah ada dalam pelukan cowok lain.
Koci melepas pelukan Mike perlahan dan tersenyum. "Maaf, kak, tapi aku sudah punya pacar"
Mike mendengus, "Gua telat?"
Koci tak menjawabnya.
Atha duduk dengan hati penuh emosi membara. Ia tak suka--sangat--melihat Mike memeluk Koci. Koci itu istrinya! Ia saja sudah tak suka melihat Mike tebar pesona dan berusaha mendekati istrinya, apalagi kini memeluknya. Tangannya tergenggam erat, membuatnya menoleh dan melihat Mika yang tersenyum manis padanya. Mika langsung memeluknya dan menarik napas panjang.
"Gue gak rela dijodohin, Ga. Please, tell me you deny the matchmaking"
Atha merasa semakin terbeban. Ia membalas pelukan sahabat yang amat disayanginya ini. "Mik, itu keputusan yang gak bisa gua tolak, I've said, huh?"
Mike menggeleng tegas, "Gue gak bisa lihat lo bersama orang lain, Ga"
Atha tertawa, "Jangan dramatis deh. Gua tetap Aga-nya Mika sampai kapanpun"
"Tapi--"
"Mik, gua sayang sama lo. Gua akan selalu jadi sahabat yang terbaik buat lo"
Atha mengacak rambut Mika dengan tersenyum dan mengecup puncak kepala sahabat tercintanya itu. Mika tersenyum kecut atas kelakuan sahabat tersayangnya yang merusak rambutnya. Akhirnya ia gantian mengelitiki Atha walau agak sulit. Sejenak, emosinya pudar. Mika selalu bisa menjadi penenangnya.
Koci yang melihat kedekatan mereka hanya mampu meneriaki diri sendiri dalam hati agar dirinya tak bereaksi apapun atas gambaran dua insan yang bahagia dihadapannya.
Dua insan yang dipertemukan dalam suatu keadaan yang tak dimengerti dan menumbuhkan rasa pada masing-masing pribadi. Rasa yang mengikat dan indah, juga pahit dan pedih. Inikah cinta?
***
The Matchmaking part4
Pagi ini gue duduk manis dikursi dan siap menerima soal ujian. Hari ini ada daily test and I'm sleepless for studied. Kini kepala gue seperti tertusuk tepat di ubun-ubunnya, sakit sekali. Keringat dingin mengalir dan tulisan-tulisan ini membuat mata gue sakit. Di pelajaran berikutnya, gue gak terlalu memperhatikan karena sakit di kepala gue tak kunjung membaik. Waktu istirahat pun gue gunakan untuk tiduran. Kepala gue terlalu sakit untuk dapat sampai di kantin. Namun dengan perhatian, Rachel datang membawa dua bungkus roti.
"Koc, bangun!" gue mengangkat kepala menatapnya. "Nih ada roti. Makan diam-diam biar lo baikan"
Gue tersenyum dan mengambil rotinya. Gue robek rotinya di kolong meja dan menelan potongan pertama. Pada potongan kedua yang hampir masuk ke mulut, ada petugas kebersihan yang masuk ke kelas dan menegur gue lalu mengambil roti itu. Malangnya nasib gue. Rachel menatap gue simpati dan gue kembali menunduk. Ponsel di tas gue bergetar, ada pesan masuk.
Agatha ▶ Koc, balik ke rumah nyokap dulu aja, nanti gua jemput. Gua ada PM tapi jangan kemana-mana
Ke rumah mama? Gue ada tugas kali. Gue menghela nafas pendek dan menggeleng lalu membalas pesan untuk Atha.
Agatha (re:) ▶ Gue lgsg plg aja ke rmh, ada tugas. Gampanglah baliknya
Agatha ▶ Yaudah, sip. Take care
Take care? W-O-W!! perhatian banget sih suami gue ini, ya ampun. Gue tersenyum dan kembali meletakkan ponsel ke dalam tas dan kembali merebahkan kepala diatas meja. Take care? I'm headache!
Bel pulang sekolah berbunyi dan seisi kelas langsung menghambur keluar bergabung dengan kepadatan koridor yang berisik dan sesak. Gue masih setia merebahkan kepala diatas meja namun dengan tas yang sudah siap menempel dipunggung. Gue sedang memikirkan akan naik apa untuk pulang kerumah saat ada yang menepuk pundak gue.
Gue mendongak dan melihat Rachel, "Dijemput, Ci?"
Gue menggeleng, "Enggak. Kenapa, Chel?'
"Mau bareng, gak? Sekalian ngerjain tugas bareng. Dirumah lo, boleh?"
Gue menatapnya kaget dan mengerjapkan mata berkali-kali, mencerna. "Ehem, dirumah gue? Hm.. dirumah lo saja deh"
"Yah, rumah gue ramai. Banyak keponakan. Ayolah"
Gue berpikir sejenak. Duh gimana ceritanya ini. Gue kan mau pulang ke rumah gue--dan Atha--dan udah bilang juga sama Atha, tapi Rachel mau kerumah dan kalau gue ajak terus nanti Atha pulang dan mereka ketemu, gimana? Rachel bisa tahu dan semua kebongkar! Tapi kalau gue ajak ke rumah mama dan nanti Atha pulang gue gak ada dirumah? Durhaka banget gue jadi istri. Dari kaca kelas, gue lihat Atha lewat dan dia menoleh ke dalam kelas--kearah gue!
"Koci!" tegur Rachel
Gue menoleh kaget, "Eh, iya"
"Yaudah, yuk!"
Dia menarik gue berdiri dan keluar kelas. Loh-loh-loh, mau kemana? Eh tadi itu gue bilang iya? Astaga, kok misunderstand gini sih, tapi kalau bilang enggak kan gak enak juga sama Rachel. Huuuh.. gue harus kasih kabar Atha deh.
Agatha (re:) ▶ Tha, tmn gue mau kermh, bljr. Kalau mau plg kabarin ya
Agatha ▶ Oke
Tiba dirumah, Rachel tampak menilai rumahku ini. Aku membukakannya pintu dan matanya terus menjelajahi rumah. Gue mempersilahkannya duduk dan gue berganti pakaian sebentar. Setelahnya gue buka pintu belakang agar ada udara segar yang masuk dan membuatkannya minuman serta mengeluarkan snack kecil. Rachel ini kepo sekali ya, untung saja foto gue dan Atha tersimpan hanya dikamar kami.
"Rumah lo pindah lagi, Ci?" tanyanya
Gue mulai membuka buku dan menggeleng, "Enggak, kok. Ini rumah gue"
"Yang kemarin?"
"Itu rumah tante" Dia memberikan gue tatapan bertanya yang mengharuskan gue menjelaskan lebih padanya, "Ya, seperti lo lihat, gue tinggal sendirian. Gue sempat dititipkan dirumah tante, tapi gue gak betah jadi ya.. here I am"
Dia mengangguk puas, "Rumah lo bagus, Koc. Simple. Lo berani tinggal sendiri?" Gue hanya tersenyum kecil dan mulai membaca. Ia duduk disamping gue dan mengeluarkan bukunya. "Kok gak ada foto apapun yang dipajang?"
Gue menatapnya dan ikut memandangi dinding-dinding dirumah. "Eh-hm.. iya, belum sih"
Rachel menarik napas dalam-dalam dan tersenyum, "Bisa nih gue sering-sering kesini"
Gue tersenyum kecut dan mengalihkan perhatian pada tugas-tujuan utama kami berada disini. Haaaah.. lega sekali karena rumah ini benar-benar menunjukkan kepemilikan kami--gue dan Atha--tanpa merusak suasana.
Setelahnya, gue menyiapkan makanan untuk Rachel. Ia makan sambil memandangi kolam di halaman belakang yang berisikan ikan-ikan hias milik Atha. Gue sendiri memilih memberi makan peliharaan Atha ini. Gue sedang malas makan walaupun kepala masih terasa seperti tertekan.
Akhirnya Rachel pulang--hari sudah sore sekali--dan sebelum gue sempat memberi kabar pada Atha bahwa dia sudah aman untuk pulang, mobilnya memasuki halaman. Gue segera menoleh ke persimpangan jalan diujung, memastikan Rachel sudah benar-benar pergi dan tidak berpapasan dengan Atha. Panjang umur sekali suami gue ini, baru dipikirin udah muncul.
"Ngapain, Koc?" tanyanya polos
Gue menatapnya bete, "Kan gue bilang kalau mau pulang kabarin dulu"
Ia memukul keningnya keras, "Astaga, lupa! Temen lo masih ada?' tanyanya dengan berbisik
Gue menggeleng, "Tuh baru balik"
Dia melirik ujung jalan dengan tak acuh dan menggenggam bahu gue, matanya memeriksa wajah gue. "Lo sakit?" tanyanya dengan nada agak cemas
Gue menggeleng, "Cuma sakit kepala"
"Kenapa?" Gue mengedikkan bahu. "Udah makan?" tanyanya lagi. Kali ini dengan nada dingin. Gue menggeleng. "Kenapa?"
"Gue lagi gak pengen makan, Tha"
Dia mendorong gue masuk dan duduk di sofa. "Lo harus makan! Gak ada alasan gak makan"
Gue menarik tangannya, "Lo kan capek. Istirahat saja" Ia menatap gue untuk beberapa saat, kemudian tersenyum. "Lagian gue kalau lagi haid emang gini, kok"
Ekspresi wajahnya berubah kaget dan lucu lalu ia beranjak ke dapur. Huuh.. dasar ya cowok itu emang gak bisa ngertiin cewek banget. Tau gak sih kalau cewek lagi datang tamu bulanan suka gak enak badan gini.
Tercium aroma masakan yang harum sekali dari dapur. Astaga, aromanya sangat menggoda. Gue berdiri dan melihat Atha yang sedang memasak. Seragam sudah tak lagi dikenakannya dan tersampir di kursi makan. Dengan kaos oblong putihnya, ia mengaduk masakannya. Gue berdiri disebelahnya dan mengintip. Cream soup!
Dia menoleh, "Ngapain lo?'
Gue tersenyum lebar, "Harum" puji gue
"Mau?" tanyanya sambil tersenyum
Gue mengangguk cepat. Dia menuangkan supnya ke mangkuk dan meletakkannya diatas meja. Gue mengikutinya duduk dimeja makan dan siap menyantap cream soup buatan Atha. Gue telan suapan pertama dan rasanya.. luar biasa! Ini masakan pertamanya selama menjadi suami gue. Kok jadi kayak unyu gini sih?? Gue melahap habis cream soup buatannya.
"Gak pengen makan, Koc?" tanyanya meledek
Gue menggeleng dengan tersenyum, "Enak sih" Dia ikut tersenyum. "Lo bisa masak, Tha?"
"Ya bisalah"
Gue mengangguk, "Makasih" Ia tersenyum. "Yaudah, mandi sana gih!"
"Malas. Lo saja gih! Lo belum mandi juga kan"
Gue menatapnya sebal, "Bau, Tha, lengket. Sana mandi! Gue setelah lo mandinya"
"Kenapa gak mandi bareng?" tanyanya nakal
"Atha!"
"Ih minus banget nih otaknya. Maksudnya, lo di bathtube gua di shower"
Gue menggeleng tegas, "Enggak! Sana mandi!"
Dia tersenyum dan berdiri. Sebelum beranjak ke kamar, ia membelai kepala gue dan berlalu. Gue terdiam sejenak lalu memandanginya yang berjalan ke kamar. Gue tersenyum tipis dan mengangkat piring kotor untuk dicuci. One another nice evening with my hubby
***
Gue bangun tidur dan melihat Atha sudah tidak ada. Kemana dia? Setelah bersih-bersih diri, gue keluar untuk mencari Atha dan menemukannya sedang belajar di ruang tengah. Hari ini adalah hari Minggu dan Atha masih belajar. Ia benar-benar berniat membuktikan bahwa nilainya akan bagus dan mewujudkan mimpinya melanjutkan study di Amerika.
"Udah sarapan, Tha?"
Dia mendongak, matanya sayu. "Belum"
"Mau sarapan apa?"
"Roti saja"
Gue ke dapur dan membuatkan roti bakar untuk sarapan kami. Setelahnya gue membuatkan satu gelas besar susu. Ini adalah menu sarapan kami sehari-hari. Gue bawakan roti dan susu ini ke Atha yang terlihat capek. Ia langsung menegak susu hangatnya dan melahap satu roti seperti orang kelaparan.
"Bangun jam berapa, Tha?"
"Habis subuh gua gak tidur lagi"
Gue duduk diatas sofa tepat dibelakang Atha dan memijat bahunya, "Jangan terlalu diforsir, Tha. Kalau capek nanti malah gak nangkep"
Ia merebahan kepalanya di kaki gue dan memejamkan mata, "Otak gua gak secerdas lo"
"Tapi ini hari Minggu, Tha, dan masih pagi"
Gue memijat kepalanya, "Justru karena masih pagi. Gua pengen siang ini jalan-jalan, refreshing"
Pasti Atha mau hang-out sama kak Mike dan Mika itu. Atha memejamkan matanya selama gue memijat kepalanya. Sepertinya Atha benar-benar capek. Otot-otot di lehernya sangat tegang. Kasihan Atha. Apa yang bisa gue bantu? Beberapa menit kemudian gue sadari bahwa Atha telah tertidur. Gue belai wajahnya dan tersenyum. Suami gue ini ganteng ya:)
***
Gue sedang bersih-bersih rumah saat Atha selesai mandi dan mengambil dengan tiba-tiba gagang pel dari tangan gue. Atha sudah berpakaian rapi, pasti siap pergi.
"Mandi sana! Udah siang gini belum mandi, jorok banget sih!"
Gue menatapnya bete, "Biarin sih, gue ini. Nanggung ngepelnya"
"Gua saja yang lanjutin. Sana mandi! Gua gak suka istri gua jorok"
Dengan didorongnya, gue masuk ke kamar untuk mandi. Baru jam setengah 12 dan Atha sudah rapi. Pasti dia udah janjian. Well, gue kemana ya enaknya selagi dia pergi? Malas deh dirumah sendirian nungguin dia. Akhirnya gue masuk ke kamar mandi sambil terus berpikir rencana hari ini.
Ada ketukan di pintu, "Koc, buka"
"Apaan?! Enggak!"
"Gua mau kasih baju"
Baju? "Gak usah. Gue bawa baju, kok"
"Baju apa?"
Kepo banget sih! "Ya baju. Udah deh keluar, lanjutin pelnya"
"Baju rumah, kan? Udah buka bentar sih, ambil doang. Gua gak ngintip kok"
Gue berpikir dan mencerna ucapannya. Gue buka pintu dan hanya memunculkan kepala. Atha berdiri membelakangi pintu dengan memegang baju yang ia maksud tadi. Gue mencolek punggungnya. Ia mengulurkan pakaian tersebut tanpa berbalik dan gue menutup pintu dengan senyuman. Suami gue sopan ya.
Gue keluar dan berkaca. Atha yang milih nih? Pintar juga. Jeans dongker dan kaos pendek yang feminim. Saat keluar kamar, gue lihat rumah sudah rapat sekali, dikunci. Gue mendengar suara mesin mobil. Naah.. Atha udah siap mau pergi dan mau drop gue dirumah nyokap kan, tapi gue yakin rumah kosong. Bokap kan lagi dinas, so pasti nyokap ngintil.
Gue hampiri Atha yang sedang merokok didepan, "Mau pergi, Tha?"
Dia menoleh dan mematikan rokoknya. "Iya. Yuk!"
Gue menatapnya yang telah berdiri, "Lo pergi saja gapapa, kok. Gua lagi gak pengen ke rumah nyokap"
Ia memandang gue bingung. "Siapa yang mau ke rumah nyokap?"
"Gue dirumah saja, gapapa kok. Lo hang-out saja sama temen lo, gapapa"
Tatapannya semakin menunjukkan kebingungannya, "Lo ngomong apa sih? Kita mau jalan-jalan"
"Kita?"
"Iyalah. Lo pikir gua sendiri? Tega banget kali gua ninggalin lo" Dia memberikan tas tangan gue. "Lagian kita gak pernah quality time as a husband and a wife"
Speechless.. kenapa Atha tiba-tiba jadi romantis gini? Gue tersenyum dan dia membawa gue ke pintu penumpang dan ia mengeluarkan mobil dari halaman--setelah mengunci pintu.
Kami makan siang disebuah café di sebuah mall, katanya sih ini café favorit dia. It means dia sering nongkrong disini bareng temen-temennya dong? Atau malah jangan-jangan dia berniat namun gue dengan sahabatnya? Oh no.. please jangan Tha.
"Lo kenapa?"
Gue menatapnya dan menggeleng. Gue kembali melahap makanan gue dengan selera yang buruk. Mata gue menjelajah cafe berkali-kali dan ketakutan gue memuncak saat melihat sosok kak Mike memasuki café. Oh no! Gue menunduk sambil terus mengintip kearahnya yang duduk tak jauh dari meja kami bersama seorang cewek. Itukah Mika? itukah dia?
"Koc?" panggil Atha
Gue tak menanggapi pertanyaannya yang membuatnya menoleh, memandang ke arah yang sama dan melihat teman-temannya. Segera ia berbalik menghadap gue, wajahnya kaget. Saat gue kembali menatap meja itu. Pandangan gue bertemu dengan pandangan kak Mike.
"Koci!" sapanya
Sial! Atha terdiam. What? Sepertinya Atha tak tahu keberadaan teman-temannya? Oh! Mereka berjalan menghampiri. Bukankah belum ada yang tahu bahwa status kami menikah, termasuk kak Mike? Duuh Koci, mata lo iseng sih ngintipin orang mulu. Sekarang rasa kan lo ketangkep basah gini.
"Hei! Koci, disini juga?"
Gue mendongak dan tersenyum kecut, "Eh, kak Mike. I-iya"
"Sama siap--" ia menoleh ke Atha dan.."--Aga! What a surprise!" Ketahuan!
Atha memasang ekspresi datar, "Aga? Kok disini gak bilang? Mike, kita gabung disini saja" ujar sang perempuan
Atha menatap gue, meneliti, "Kok kalian bisa bareng? Jangan bilang kalian lagi deket, ya?" tanya Mike
"Enggak!" jawab gue dan Atha bersamaan. Bedanya suara gue panik dan Atha dingin
"Kita sepupu" tambahnya
Jika ada yang tahu status kami sesungguhnya memang fatal, itu perjanjian kami. Tapi mereka sahabat Atha, kan, kenapa Atha gak jujur? Gue sedikit merasa kecewa mendengar ucapan Atha namun lega juga.
"Kenapa gak pernah bilang, Ga? Lagian kalau disekolah kayak orang gak kenal sih"
Sebuah tangan lentik terulur didepan gue, "Hei, gue Mikaila, sahabat Aga sejak SD. Salam kenal"
Gue menjabat tangannya dan tersenyum tipis, "Koci"
Dia tersenyum, membuatnya semakin cantik. "Nama yang lucu"
Akhirnya kami duduk bersama disatu meja, dengan posisi; Atha, gue, kak Mike dan Mika. Kami makan bersama namun nafsu makan gue turun drastis dan makanan gue jadi tak tersentuh. Atha menatap gue, bertanya namun gue hanya menggeleng pelan dan ia yang menghabiskan makanan milik gue.
"Kalian ini deket banget ya sampai Aga yang ngabisin makanan Koci?"
Gue melirik Atha yang menatap lurus piringnya, "Ohya, ini dia Ci, Mika yang lengket banget sama Atha. Cocok, kan?"
Gue menatap mereka saksama. Ya, cocok. Gue tersenyum dan mengangguk, walau hati gue menangis. Atha menatap gue lurus, pandangan matanya mengirimkan keyakinan. Sepertinya sudah terbangun ikatan batin diantara kami?
"Lo Mike, bisa saja. Lihat tuh Aga jadi diem kayak patung"
"Selow, Ga"
"Sejujurnya sih gue pernah suka sama Aga. Sayangnya Aga gitu sih, makanya gue penasaran cewek Aga sekarang gimana"
Gue tersenyum mendengar, "Kita duluan ya, ada urusan"
Atha berdiri dan menarik gue tanpa lagi menunggu jawaban teman-temannya. Ia membayar di kasir dan meninggalkan teman-temannya kebingungan. Gue hanya diam, diam karena berpikir, bahkan terlalu banyak berpikir.
Kami berhenti disebuah tempat bermain. Ia menatap gue dengan penuh arti.
"Sorry. Don't think too much about that"
"Never mind" sahut gue bohong
Akhirnya Atha mencairkan suasana dengan mengajak gue bermain dan suasana benar-benar cair. Kami bersenang-senang bersama, melupakan hal lain selain bermain--untuk sementara.
***
The Matchmaking part3
"Gua balik ya"
"Apaan? Baru jam segini, Ga" sahut Mika
Atha melirik ponselnya yang sunyi, "Besok masih sekolah"
"Yaelah, Ga. Sejak kapan sih lo peduli banget sama sekolah" ledek Mika
Mike terkekeh, "Aga yang sekarang tuh rajin bener, Mik. Cuma hari ini saja dia apes kena hukum sama kepala sekolah"
Mika memeluk Atha erat, "Gue masih kangen sama lo, Ga"
"Kita masih bisa ketemu lagi, Mik. Lo kayak mau gua tinggal ke Zimbabwe saja"
Mika memukulnya sebal, "Iyadeh. Sana pergi"
Atha berdiri dan bersalaman dengan kedua sahabatnya dan pergi dari sana untuk pulang. Sesungguhnya Atha khawatir akan Koci yang tak memberi kabar sejak ia mengirim pesan siang tadi.
Atha melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya dan mendapati rumah yang masih gelap dan terkunci. Ponsel Koci mati dan tidak dapat dihubungi, membuat Atha semakin khawatir juga kesal. Langkah berikutnya, Atha melajukan mobilnya menuju rumah mertuanya.
"Loh, Atha ngapain kesini?" tanya papa mertuanya yang membuka pintu.
Atha mengernyit, "Mau jemput Koci, pah"
"Koci? Koci gak ada, Tha"
Keduanya sama bingung. Muncul mbok Sum mendekati mereka, "Maaf, tuan, den. Si mbok tahu non Koci dimana"
"Dimana, mbok?"
"Tadi sore, non Koci memang muleh kesini. Tapi tadi pergi lagi sami temene sebelum tuan muleh" jelasnya
"Pergi kemana dia, Tha?"
Atha menggeleng, "Koci gak ngabarin, pah. Dihubungi juga gak bisa"
Mertuanya melempar korannya dengan keras ke lantai, marah. "Kemana anak itu?!" geramnya
"Mohon maaf tuan, den. Tadi non Koci pamit sami si mbok mo pergi ke party temene" tambah si mbok
Atha merasa amat kesal. Bisa-bisanya dia pergi tanpa ijin pada suaminya. Istri macam apa itu? Apalagi pergi party. Atha menghembuskan napas, mengatur emosi dan ikut duduk menemani mertuanya di ruang keluarga, menonton televisi sambil menunggu Koci pulang.
Waktu makan malam mama mertuanya pulang dan ikut tersulut emosi mendengar perilaku anak tunggalnya. Mereka makan malam bersama dengan diwarnai dengan gelora emosi kedua mertuanya. Pukul 10 malam, mama mertuanya memilih tidur daripada menunggu anaknya yang tak kunjung pulang dan membuatnya semakin emosi.
Tepat pukul 12 kurang 10 menit, Koci pulang dengan wajah agak pucat. Atha hanya mengawasi istrinya tanpa bersuara. Koci mengenakan dress pendek, cukup simple untuk party. Ia melangkah tanpa lagi menoleh dengan langkah lelah namun langkahnya terhenti dengan panggilan sang papa.
Setelah diceramahi cukup lama, Koci diminta untuk segera naik ke kamarnya dan mereka menginap. Koci naik duluan ke atas dan meninggalkan Atha yang masih bergeming ditempatnya. Atha menggertakkan gigi, menahan emosi.
"Istirahatlah, Tha. Besok kalian masih harus sekolah. Dan maafkan Koci"
Atha bangkit dari duduk dan tersenyum tipis, "Atha naik dulu, pah. Maaf udah bikin repot"
Mertuanya menepuk bahunya pelan dan Atha beranjak naik ke kamarnya, meninggalkan mertuanya sendirian, menyusul sang istri.
Pintu kamar dibuka, terlihat Koci yang sedang tidur. Atha meletakkan tasnya dikursi dan beranjak membuka lemari, mencari kaos untuk berganti pakaian. Sayang, hanya celana olahraga milik Koci yang ditemukannya yang dapat dipakainya--karena seluruh pakaiannya sudah diangkut ke rumah baru. Pakaian Koci masih tersisa karena ini rumah orangtuanya--untung saja ia memakai kaos oblong dibalik seragam sekolahnya. Mulai menjadi kebiasaannya--sesuai pesan istrinya--ia mencuci muka dan sikat gigi sebelum tidur.
Sebelum tidur, Atha menatap istrinya dan berusaha mengendapkan rasa kecewa dan amarahnya. Ia menatap wajah istrinya yang sedang tidur dan menjadi bingung. Ia usap pipi sang istri dan malah mendapati istrinya demam. Atha dengan sigap langsung mencari kain dan membasahinya dengan air yang kemudian diletakkan dikening Koci. Setelahnya, ia berlari turun ke dapur mencari obat.
"Kamu cari apa, Tha?" tanya mama mertuanya yang sedang mengambil minum
Atha menoleh dan wajahnya agak panik, "Paracetamol, mah"
"Ada di kulkas. Kamu demam, Tha?"
Atha beranjak ke kulkas dan menggeleng, "Koci, mah"
"Koci demam?" Atha mengangguk. Wajah mertuanya sekejap cemas. "Koci jarang sekali sakit. Pasti dia kecapekan"
Mereka segera naik ke atas untuk melihat keadaan Koci. Dengan gesit dan sigap, Atha merawat Koci. Dibangunkannya Koci untuk meminum obat. Atha terus mengganti kain kompres Koci, sedangkan mama mertuanya membelai wajah anaknya dengan wajah cemas.
Atha melihat jam dinding. 03.00. "Mah, tidur saja gih. Udah hampir pagi. Biar Koci, Atha yang jagain"
"Sepertinya demam Koci sudah turun. Kamu tidur juga ya, Tha"
Atha mengangguk dan mertuanya pun keluar, kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur. Atha menutup pintu dan menatap wajah pucat istrinya. Ia menguap, ia juga harus istirahat karena besok sekolah. Ia matikan lampu dan berbaring disebelah Koci, menemani sang istrinya.
***
Gue membuka mata perlahan dan mulai terjaga. Kepala gue terasa dikocok, pusing sekali. Gue ubah posisi tidur dan mendapati wajah Atha dihadapan gue. Wajahnya terlihat sangat letih. Atha pasti capek dan kesal nungguin gue semalam. Gue merasa bersalah dan mengulurkan tangan untuk membelai pipinya saat pintu kamar terbuka.
"Koci!"
Gue menoleh dan mendapati mama beranjak masuk, "Mamah! Ketuk pintu dulu dong!" tegur gue
Mama meraba wajah gue dengan wajah cemas, "Sudah gak panas. Kamu sudah merasa baikan, sayang?"
Gue menatap mama bingung, "Cuma pusing dikit. Mama kenapa sih?"
Kini wajah mama menunjukkan kelegaan, "Kamu semalam demam, sayang. Mama khawatir sekali, mengingat sejarah kesehatan kamu"
Gue segera menoleh panik pada Atha yang untungnya masih tidur, "Mah, jangan bahas sekarang. Aku baik-baik saja, kok" Aku menatap mama dengan mantap
"Semalaman Atha terjaga. Dia yang merawat kamu" Speechless. Gue menatap Atha lagi. "Bangunkan dia, sayang. Kalian harus sekolah, kan" dan mama beranjak
Gue mengangguk dan membangunkan Atha, tapi Atha hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Gue rasakan leher Atha yang panas. Astaga.. Atha demam? Atha sakit? Tepat saat mama keluar, Atha batuk dengan keras dan terdengar menyakitkan. Pasti batuk kering. Gue melihat kain diatas nakas dan membasahinya lalu mengompres Atha. Setelahnya, gue melompat turun ke dapur, mencari obat batuk dan paracetamol. Di ruang makan, mbok Sum, mama dan papa keheranan melihat gerakan gue yang terburu-buru dan panik.
"Aduh, non Koci, jangan gerasak-gerusuk. Ono opo, non?" tanya mbok Sum
"Obat batuk kering dan paracetamol mana ya, mbok?"
"Di kulkas, non" Gue berlari ke kulkas dan mencarinya. "Buat opo, non? Non sakit?"
Gue raih obat batuk. "Buat Atha. Paracetamolnya gak ada, mbok"
"Atha sakit, sayang?" tanya papa
"Iya, pah. Dia demam dan batuk. Duh, mbok, mana nih?"
Mama merangkul gue dan tersenyum, "Paracetamol ada dikamar kamu. Semalam Atha bawa buat kamu. Kalian ini jodoh sekali, ya. Habis kamu yang sakit malah sekarang Atha"
Gue tersenyum tipis, "Makasih, mah. Koci ke atas dulu"
"Biar mama hubungi mertuamu ya"
Tanpa gue sahuti, mama bertindak. Gue berlari kembali ke kamar dan mengganti kompres Atha lagi. Saat hendak memberi Atha obat, gue lupa membawa minum. Kembali gue berlari ke bawah mengambil minum dan kembali lagi ke kamar. Kegaduhan gue ini diprotes dengan teriakan papa. Setelah memberi Atha obat, gue mulai bernapas normal namun perut gue terasa perih. Pasti karena berlarian tadi. Tak sampai setengah jam kemudian, mertua gue datang.
"Koci, ikut mama sebentar. Biar Atha ditemani mamanya dulu"
Gue mengangguk dan mengikuti mama yang berjalan ke balkon dengan menahan perut yang masih perih. Diatas meja balkon sudah ada susu dan roti. Pasti mama yang menyiapkan. Dari sini, terlihat mobil papa yang baru saja keluar dari halaman rumah menuju kantor.
"Tolong jaga kesehatan kamu, sayang" Gue menatap mama yang juga menatap gue. "Ingat riwayat kesehatan kamu. Dan hari ini kamu gak perlu ke sekolah, pasti kamu capek"
"Koci gapapa, mah. Mama tenang saja. Lagian Koci emang gak sekolah hari ini, kan Atha sakit, Koci harus rawat dia"
"Tapi perhatikan kesehatan kamu juga. Kita belum tahu kapan tepatnya kamu akan 'benar-benar sakit'. Tapi itu adalah suatu kepastian"
Gue menunduk. Mama dan papa memang gak mau memanjakan gue sedari kecil, tapi mereka selalu khawatir dengan kesehatan gue terutama sejak 3 tahun lalu. Tepatnya sejak operasi yang gue jalani. Saat itu, papa mengalami gagal ginjal dan setelah setahun hidup hanya dengan satu ginjal, papa drop, ginjalnya tak mampu bertahan sendiri. Satu ginjal ini tak mampu lagi berfungsi dengan baik. Kami menyayangi papa dan gak ingin papa pergi. Maka dengan penuh pertimbangan dan melewati test, gue menyumbangkan satu ginjal gue untuk kesembuhan papa.
Beruntung ginjal kami cocok dan papa selalu berusaha menjaga kesehatannya. Namun, dua tahun setelah operasi, gue mulai sering merasakan perih di perut, tepatnya dimana letak satu-satunya ginjal gue berada. Memang sejak awal dokter telah memperingatkan; cepat atau lebih cepat, gue akan mengalami gagal ginjal juga. Dan selama setahun ini, rasa perih ini tak pernah gue keluhkan pada siapapun kecuali Tuhan.
"Papa sungguh amat menyesal telah menjalani transpaltasi itu"
Gue memeluk mama erat, "Aku gapapa, mah. Ini semua demi kesehatan papa, kan"
"Tapi jadi mengorbankan kamu. Kami gak mau kehilangan kamu, sayang"
Gue menggeleng, "Enggak, mah"
Mama menangkup wajah gue. Gue usap air mata mama yang menetes, "Janji, kamu akan bilang jika merasa sakit sekecil apapun?" Gue mengangguk. "Mama sayang sekali sama kamu"
Mama memeluk gue dan gue balas memeluknya. Gue terlalu sayang sama mereka, gue gak tega mengeluh dan membuat mereka khawatir. Gue gak mau jadi penyebab kesedihan mereka, gue pengen jadi kebahagiaan mereka. They may not shed their tears, but they have to share their smile.
"Koci?"
Gue menoleh, mendapati mertua gue berdiri, menunggu. Pelukan kami pun terurai. "Ya, mah?"
"Maaf mama mengganggu. Atha nyariin kamu"
Gue menoleh pada mama yang mengangguk. "Sana, temani Atha"
Gue beranjak ke kamar dan meninggalkan kedua ibu gue, menemui Atha. Gue buka pintu dan melihat Atha yang sedang menatap ke luar jendela. Gue menutup pintu dan melangkah masuk. Atha menoleh dan melompat memeluk gue. Gue merasa kaget dan speechless. What is going on with him?
"Lo kemana saja?"
"Hm.. didepan sama nyokap"
Pelukan Atha semakin erat, "How do you do?"
"Fine. You?"
"Better when you're here"
Gue tersenyum tipis dan mencubit perutnya pelan, "Udah makan?"
Pelukan diurainya dan ia menggeleng, "Suapin"
Gue menatapnya kesal, "Tha, lo bukan anak-anak lagi!"
"Udah deh suapin saja. Sekalian lo makan juga"
Gue ambil mangkuk bubur di nakas dan duduk disebelahnya, "Gue udah makan, Tha" jawab gue bohong
Suapan pertama ditelannya. "I've got a nightmare" Gue menatapnya, menunggu. "Lo sakit, Koc. Sakit parah"
Gue menatapnya kaget dan menahan diri. Atha bermimpi seperti itu? Apakah Atha dapat merasakan yang sebenarnya? Apakah sudah ada ikatan batin diantara kami? Gue suapi ia lagi dan tersenyum padanya. Tuhan, Atha termasuk salah satu orang yang hamba sayangi. Ia tak boleh merasakan kekhawatiran atas hamba-Mu ini.
"Istigfar, Tha"
"Jujur, gua takut"
Gue menatap matanya yang amat cemas, "It's fine, Tha. Nothing happened. Kita doa saja ya"
Tuhan, tolong bahagiakan mereka. Bahagiakan orang-orang yang hamba sayang. Jangan biarkan setetes air mata kesedihan keluar dari mata mereka. I love them. I'll do anything for them, don't let them sad.
***
"Kalian masih bisa kok bermalam lagi disini. Biar mama yang ambil pakaian kalian dirumah"
"Gak usah, mah--"
"Udah, Koci, gapapa. Atha kan juga masih sakit, masa mau bawa mobil"
"Iya. Lagipula kalau kalian masih gak enak badan, besok kalian bisa izin lagi" sahut mama mertua gue
"Atha lagi intensif, mah. Kalau bolos terus gimana Atha mau sekolah di Amerika" jawab Atha yang membuat gue terdiam seketika
Gue melirik Atha yang seperti terkesiap atas ucapannya barusan. Gue menunduk dan mama mencoba melanjutkan obrolan--mencairkan suasana.
Atha mau melanjutkan study di Amerika dan gue gak tau? Astagfirullah, istri macam apa gue ini? Suami gue punya rencana besar dan gue gak tau apa-apa? Betapa terlihatnya keterbukaan kami yang sangat minim. Gue merasa tak becus. Selama pernikahan ini, apa saja yang telah kami share? Nothing. Gue pun tak tahu siapa saja sahabat Atha, termasuk Mikaila itu.
Kedua ibu kami akhirnya pamit sore ini untuk mengambil keperluan dirumah kami. Gue berikan kunci rumah dan pergilah mereka. Gue tak kembali ke ruang keluarga setelahnya, melainkan memilih membantu mbok Sum didapur. Gue butuh teman curhat.
"Sini Koci bantu, mbok" kata gue dan mengambil jagung dari meja
Mbok Sum segera mengambil kembali jagungnya dan menatap gue. "Ono opo toh, non?"
I give up! "Koci bukan istri yang baik ya, mbok?"
"Ndak kok. Non Koci kan masih belajar"
"Tapi Koci buat banyak banget kesalahan, mbok. Koci gak tau mama mertua Koci pemilik sekolah dimana Koci sekolah sekarang. Koci gak tau siapa saja sahabat Atha dan apa saja yang disuka atau dibencinya. Kemarin Koci pergi gak izin dia. Sekarang dia mau lanjutin study di Amerika pun Koci gak tau"
Mbok Sum berdiri dari kursinya dan merangkul gue, "Wajar toh, non. Non kan masih baru belajar lagipula memang butuh banyak komunikasi dalam rumah tangga"
Gue menutupi wajah dengan tangan. I'm going mad!
"Koc?"
Gue mendongak dan melihat Atha berdiri dihadapan gue. Sejak kapan?
"Gua mau ngomong"
Gue melirik mbok Sum yang mengangguk, yang ternyata sudah kembali duduk. Atha sudah melangkah duluan dan gue pun mengikutinya. Atha duduk diruang keluarga dan menunggu. Gue berjalan perlahan dan ikut duduk disampingnya. Untuk beberapa saat, suasana terasa sunyi dan menit berikutnya, Atha merubah posisi duduknya menghadap gue. Tatapannya serius.
"Sorry, Koc, gua gak bilang sebelumnya. Gua belum sempat bilang" ujarnya pelan
Gue menunduk menatap lantai, "Don't say sorry. Gue yang harus minta maaf" Ia menatap gue bingung. "Gue gak bisa jadi istri yang baik buat lo. Gue pergi tanpa izin, gue gak peduli sama lo, gue gak tau apa-apa tentang lo, gue gak tau lo suka dan benci apa, lo rencana study di Amerika, dan tentang sahabat lo.." gue menatap lekat matanya dengan sendu, "..Mikaila"
Dia menatap gue kaget, "How did you know?" Gue menutup mata dan menunduk. "Bilang, Koc!" bentaknya
Tuhan, ia membentakku. Gue menarik napas dan menjawab pelan, "Kak Michael"
"Shit!" umpatnya keras. "Gua udah bilang buat lo jauhin Mike, kan! Dia suka sama lo! Kenapa lo gak bisa lihat sikapnya, sih! Gua gak suka lo deket-deket sama Mike. Dan jangan dengerin kata-katanya!" jelasnya penuh emosi
"Udah, Tha, mending lo belajar. Gue doain lo dapet sekolah disana"
Gue hendak berdiri, tapi ia menarik pergelangan tangan gue, "Sorry, Koc. Gua kebawa emosi" Gue sunggingkan senyuman kecil padanya. "Gua berniat kasih tau lo nanti, saat gua ujian disana. Gua akan ajak lo kesana dan cari sekolah buat lo"
Gue mengernyitkan dahi, "Sekolah?"
"Yap! Lo gak mikir kalau gua bakal ninggalin lo disini, kan?"
Gue terkekeh kering padanya, "Jadi rutinitas tahunan gue-kah pindah sekolah?"
"Gua gak mau ningg--"
"I'll stay, Tha. Go on"
Gue lepas tangannya dan gue beranjak naik ke atas. Gue butuh waktu sendiri. Di tangga, gue mulai berlari untuk segera sampai dikamar. Segera gue meringkuk disudut tempat tidur dan mulai meneteskan air mata.
Sial! Kenapa gue nangis? Kenapa gue harus nangisin dia? Kenapa harus dia? Air panas dari mata gue mengalir menuruni pipi. Mika. Mikaila. Mikailagatha. Mikaga. Mikatha. Setiap nama Atha selalu sangat pas bergabung dengan nama Mika.
"..sampai ada yang mengira mereka pacaran. Walau gua berdoa gitu.." Mungkin memang benar apa yang dikatakan kak Mike. Mereka cocok?" "..Mika itu cantik!.."
Atha yang ganteng dan Mika yang cantik, cocok, kan? Mereka lengket seperti getah? Sedekat itukah mereka? Apa mereka saling menyimpan perasaan untuk satu sama lain? Atau salah satu diantara mereka?
Air mata mengalir deras di pipi. Tuhan, hamba benar-benar menyayanginya. Hamba menyayangi suami hamba. Apakah hamba harus melepaskannya? Tolonglah hamba, ya Tuhan. Engkau-lah penolong hamba. Bolehkah hamba meminta cintanya hanya untuk hamba, Engkau, dan orangtuanya, serta iman dan Rasul-nya?
Sebuah tangan memeluk gue erat, seperti takut akan kehilangan gue dan mencium ubun-ubun kepala gue dengan sayang, kemudian menghapus air mata gue dengan jarinya. Matanya menyinarkan rasa cemas, takut, dan rasa bersalah. Kembali ia memeluk gue erat.
"Don't ever shed your tears, Koc. I'm so sorry. Just forget it for a while, okay?" tanyanya dengan menatap gue yang mengangguk pelan. "Lemme think"
"Sure"
"Dan perlu lo tau, Koc. Lo udah berhasil menjarain perasaan gua dihati lo. You're the best. Dan Mika, dia sahabat terbaik gua yang pernah ada. Jangan mikir yang aneh-aneh. She more like sister for me. Only you, my wife"
Gue kembali menangis--terharu--dan memeluknya erat. I keep his words. Keep as promises. Although I hate promises, but I start to believing him. Tuhan, semoga pemuda yang kupeluk ini akan selalu berada disampingku, selamanya. Aamiin.
***